Sang Raja masih terdiam memandangi lukisan yang ada di ujung ruangan singgasananya, yang entah sudah berapa puluh tahun lukisan itu selesai dibuat. Setiap kali ia memandangi lukisan itu, dadanya terasa disayat oleh pisau kecil.
Di dalam lukisan tersebut, tergambar seorang lelaki kecil dengan umur sekitar sepuluh tahun, dengan mata cerah berwarna biru langit, senyuman kecil yang hangat, dan wajah polos yang masih belum mengetahui seberapa busuknya dunia yang ia tinggali.
Di sisi kanannya, ada seorang pria dengan kumis dan janggut yang sebagian besar menutupi setengah wajahnya, senyumannya tidak pernah terlihat, tetapi jika kau melihat matanya, kau akan tahu seberapa hangat dirinya.
Di samping kirinya ada seorang wanita yang tersenyum dengan lembut, ia memiliki mata yang sama seperti anak kecil yang ada di lukisan itu, rambutnya yang berwarna pirang tergerai bagai air terjun.
Matanya berulang kali membaca nama yang terukir pada bingkai lukisan tersebut. Ingatan Raja kembali melayang pada saat hari di mana lukisan itu sedang dibuat.
Saat itu, ia sedang mengeluh karena lelahan duduk tidak bergerak di depan orang yang sedang melukis mereka. Terdengar suara tawa kecil dari sampingnya, ia melihat ibunya tertawa sambil mengelus kepalanya pelan.
Matanya yang berwarna biru cerah memandangnya dengan lembut, kemudian ia berkata, “Lihat namamu yang terukir di bingkai itu? Namamu memiliki kekuatan yang besar. Kekuatan yang dapat mengubah dunia.”
Sang Raja hanya mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Bagaimana bisa namaku memiliki kekuatan yang besar?”
“Akan tiba saatnya kau akan mengerti. Gunakan namamu dengan baik, karena namamu memiliki kekuatan yang dapat mengabulkan keinginanmu sendiri. Percayalah pada dirimu, dan pilihan yang terbaik menurutmu,” jawab Sang Ratu.
Ketukan pada pintu ruangannya mengembalikan sang Raja dari ingatannya. Seorang Kesatria kembali memasuki ruangannya, sudah hampir satu bulan lebih ia tidak mendapat kabar terbaru mengenai mereka.
Kesatria itu berlutut dengan sebelah kakinya sambil meletakkan salah satu tangannya di d**a, kemudian ia berkata, “Satu dari mereka telah dilenyapkan, Yang Mulia. Saat ini mereka sedang menuju lokasi yang anda perkirakan setelah melewati kota Zoolius.”
“Apa mereka bertemu dengannya?” tanya sang Raja, sambil melepas mahkotanya dan menyimpannya di kursi singgasana.
“Benar, Raja. Tetapi, kemungkinan besar mereka akan tetap melanjutkan perjalanan mereka.”
“Tetap awasi mereka, lalu berikan informasi ketika mereka sudah sampai di desa itu.”
“Baik, Yang Mulia!” Kesatria itu menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan tersebut.
Sang Raja kembali berjalan menuju rak buku yang terlihat sudah sangat tua, mengambil beberapa buku di dalamnya, dan jalan ratusan anak tangga yang menuju bawah tanah kembali terbuka di depannya.
Tanpa jeda, ia berjalan ke sebuah cawan yang berada di ujung ruangan setelah ia membuka pintu yang berlapis emas dengan menggunakan sebuah mantra.
Cairan di dalam cawan itu seketika berubah menjadi bening, memantulkan raut wajah sang Raja yang sedikit mengerutkan keningnya. Kembali sang Raja mendengar bisikan yang terdengar jauh. “Mereka tidak akan bisa menjatuhkanmu, oh Sang Penguasa.”
“Aku tahu,” balas sang Raja. “Tetapi, entah kenapa untuk tahun ini aku merasakan firasat buruk.”
Cairan dalam cawan itu bergerak. “Pengkhianat?”
Sang Raja menggelengkan kepalanya pelan. “Aku belum mengetahuinya dengan pasti …”
“Apa senjatamu melawan balik pada dirimu?”
Kening sang Raja semakin berkerut mendengar pertanyaan itu. “Sudah berpuluh-puluh kali aku menggunakannya, dan makhluk itu masih mengerjakan tugasnya dengan baik.”
Sekali lagi, cairan dalam cawan itu kembali bergerak. “Kau kehilangan kendalinya?”
“Kau meremehkan kemampuanku?” tanya Raja terdengar menusuk.
“Tentu tidak, oh Sang Penguasa. Tetapi … jika hal itu benar-benar terjadi, biarkan aku yang melakukannya.”
Hembusan pelan keluar dari mulut Raja, tanpa membalas pernyataan yang berbisik pelan di kepalanya, ia keluar dari ruangan bawah tanah itu dengan darah yang menetes dari tangannya.
Setelah pintu ruangan itu tertutup, cairan yang berada di dalam cawan kembali bergetar, kemudian cahaya terang menyinari setiap sudut ruangan itu.
Setelah cahayanya memudar, seseorang berdiri di depan cawan itu. Dengan senyuman tipis, ia berjalan mendekati tetesan darah dari tangan sang Raja.
Orang itu tertawa pelan sambil mengusap darah yang ada di atas lantai dengan ibu jarinya. “Sayang sekali,” bisiknya. Kemudian ia memasukkan ibu jarinya ke dalam mulutnya. []