4. Telanjur Basah
Sebenarnya, niat Naren cuma ingin membalas permainan Sashi. Tapi siapa sangka jika Naren malah harus dihadapkan situasi yang pelik?
Ketika ibunda Ajeng mengajaknya bicara, Naren merasa nyaman dan obrolan terasa begitu mengalir, seolah mereka adalah teman lama yang baru bertemu kembali. Dari percakapan mereka juga Naren akhirnya tahu jika ibu Ratu merupakan sosok pemuja budaya jawa yang luar biasa. Itu sebabnya beliau menamakan anak-anaknya dengan gelar Raden Mas dan Raden Ajeng.
Beliau tahu banyak tentang jawa—yang mana mengingatkan Naren pada sosok eyangnya. Padahal Naren sendiri yang masih tergolong bangsawan jawa tidak terlalu paham dengan seluk beluk budaya jawa. Bahkan ketika ada acara di keraton pun, Naren selalu punya cara untuk melarikan diri.
Lalu ketika percakapan mereka menjurus pada mimpi ibu Ratu yang ingin anaknya berjodoh dengan salah satu pangeran jawa yang kerajaannya masih eksis sampai sekarang, membuat Naren nyaris tertawa. Ya Tuhan, Naren bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Ajeng ketika harus meladeni mimpi-mimpi aneh ibunya.
Dari ibu Ratu pula Naren tahu kalau Ajeng baru saja gagal bertunangan dengan Raden Mas Sosroaminoto—orang yang katanya keturunan bagsawan tapi ternyata cuma pembohong ulung yang memanfaatkan posisi Edogawa untuk melancarkan kampanye politiknya.
Rasanya Naren ingin tertawa ngakak saat lagi-lagi mengetahui kisah percintaan Ajeng yang tragis. Mungkin itu merupakan karma karena dulu Ajeng selalu mengganggu Naren semasa SMA.
Sampai akhirnya pertanyaan itu datang, bahwa Ibu Ratu hanya akan membiarkan putrinya menikah dengan bangsawan berdarah biru. Dan Naren, tentu saja. Demi mendukung permainannya yang masih setengah jalan, menceritakan bahwa Naren masih bisa dibilang keturunan Raja Jawa—tepatnya dari kesultanan Surakarta. Ya, meskipun jawa blaster karena ayahnya berdarah Belgia-Jawa.
Hingga Ajeng datang dan mengacaukan semuanya. Membuat Naren tampak seperti tersangka yang sudah diberi vonis hukuman mati, membuat ego Naren terluka parah.
Sudah terlanjur basah, pikir Naren masam. Kenapa tidak sekalian dilanjut dan membuat Sashi semakin murka? Tapi kemudian jawaban tak terduga dari Edogawa membuat wajah Naren berubah pucat pasi,
“Kalau begitu, segera bawa orangtuamu untuk melamar Ajeng.”
Narendra menelan ludah susah payah. Wajah Edogawa terlihat seperti algojo yang siap menjatuhkan hukuman, membuat nyali Naren semakin ciut. Tapi bukan Naren namanya jika mengalah sebelum perang.
Melirik ke arah Sashi yang wajahnya tampak menegang kaku, Naren kemudian berujar lagi dengan nada mantap. “Secepatnya, Om.”
“NGGAK BISA!” Teriakan lantang Sashi memenuhi ruangan. Ia berdiri dengan kedua mata menyorot tajam, bak singa yang hendak memangsa buruan. Mungkin hanya tinggal menghitung detik sampai rambut Sashi berubah merah. “Aku nggak mau nikah sama Naren! Dia itu bukan keturunan bangsawan jawa, Ma. Kenapa enggak ada yang percaya sama aku?”
Raut wajah Sashi berubah frustrasi. Terlihat ingin segera menebas kepala Naren dengan katana paling tajam di dunia. Membuat Naren, tanpa sadar, bergidik ngeri. Bagaimana jadinya hidup Naren kalau Sashi benar-benar jadi istrinya? Bisa-bisa Naren kena serangan jantung sebelum usia tiga puluh. Astaga...
Mencoba tak terpengaruh, Naren menegakkan tubuh, berusaha bersikap sesantai mungkin. Jika Sashi bisa mengerjai Naren sampai ke satpol pp, maka Naren juga harus bisa membalas Sashi. Paling tidak, sampai ke tahap pertunangan. Biar dia tahu kalau berurusan dengan Naren tidak akan berakhir mudah.
“Aku bisa buktiin kalau aku masih keturunan bangsawan,” balas Naren akhirnya. Dengan nada tenang namun menusuk. Matanya berkilat menantang pada Sashi.
Dan, bukannya merasa takut, Sashi justru tertawa sinis. “Bahkan dari segi tampang pun udah bisa menjelaskan semuanya, Narendra. Kalo lo bilang lo keturuan bule nyasar, gue bakal percaya. Tapi berdarah bangsawan jawa? Mungkin itu cuma ada dalam imajinasi lo. Wake up, please!”
Sebelah alis Naren terangkat. “Kamu nggak percaya?”
Sashi bersedekap angkuh. “Yups. Pembohong macam lo mana bisa dipercaya sih.”
“Kalau aku terbukti beneran keturunan Raja, apa yang bakal kamu lakuin?” balas Naren lagi, masih dengan sorot menantang.
“Gue nggak bakal nolak kalo Mama bakal nikahin gue sama lo. Yang sayangnya itu enggak bakalan terjadi!” Sashi tertawa mengejek, tampak seperti pemeran antagonis yang berhasil membuat lawannya bertekuk lutut, begitu pongah.
Sementara Naren cuma bisa tertawa dalam hati. Ia benar-benar tak sabar melihat wajah kalah Sashi saat mengetahui kenyataan bahwa apa yang dikatakan Naren memang sepenuhnya kebenaran. Tidak apa-apa jika Naren harus kalah hari ini. Karena alam semesta pun tahu, jika pemeran protagonis menangnya belakangan.
Memasang wajah menawan, Naren tersenyum dan bangkit berdiri. Langkahnya mantap dan tegap ketika mendekati Edogawa. Tapi sebelum itu ia masih sempat berbisik pada Sashi. “Ready for your lose, Darling? Gue bener-bener nggak sabar liat lo jadi istri gue.”
Yang dibalas Sashi dengan suara mendesis. “Bangsat.”
Naren cuma tersenyum sebagai jawaban. Dan, bak seorang calon mantu yang baik, Naren mencium punggung tangan Edogawa dan berujar, “Kalau begitu, saya pulang dulu Om. Saya akan segera kembali dengan orangtua saya.” lalu beralih pada Ibu Ratu dan melakukan hal yang sama.
Sebelum benar-benar beralih pergi, Naren masih sempat mengedip jahil pada Sashi dan tersenyum miring. Bibirnya berujar tanpa suara: sampai ketemu lagi, Darling.
***
“Kamu beneran mau nikah, Mas? Dapat wangsit dari mana? Kupikir dirimu enggak bakal nikah sampai umur lima puluh.”
Naren masih sibuk mengetik sesuatu di komputer. Rautnya tampak serius, sesekali juga keningnya berkerut dalam. Naren lebih suka bermain dengan barisan kode di komputernya dari pada meladeni ucapan Rasti. Sebab Mario Bross pun tahu kalau sekali saja Naren menanggapi, maka pekerjaan Naren tak akan selesai sampai besok pagi.
Naren sudah bercerita pada ibunya mengenai keinginan Naren untuk menikahi Sashi, yang mendapat tanggapan super heboh dari keluarganya—terutama ibu dan Rasti. Ya, dulu Naren pernah berkata jika ia tak akan menikah sebelum Sang Ayah mengizinkannya untuk hengkang dari Tamawijaya Group dan mendirikan perusahaan game miliknya sendiri. Tapi nyatanya, drama bodoh antara dirinya dengan Sashi membuat Naren mempertaruhkan masa depannya sendiri.
Ah, tidak. Rasanya jika dibilang mempertaruhkan masa depan, itu terlalu berlebihan. Sebab setelah membungkam mulut sombong Sashi dengan kenyataan yang tidak ingin cewek itu dengar, Naren akan segera menyudahi drama ini dan kembali pada kehidupan awalnya yang damai tanpa Sashi.
Naren bahkan sudah tidak sabar membayangkan wajah kalah Sashi!
Sementara itu, Rasti meniup ujung poninya gemas. Jari-jari lentiknya menepuk pundak Naren keras. “Mas Rendra! Lama-lama aing nikahin dirimu sama animasi 3D!”
Mengusap ujung hidungnya lelah, Naren menghentikan gerak jarinya dan menatap Sang Adik. “Mas lagi kerja. Bisa kamu nggak bahas ini lagi?”
“Ya abisnya aku penasaran. Siapa gerangan manusia bernama Sashi ini? Sehebat apa dia sampai bisa melelehkan hati pangeran es aquh yang paling loechoe?” Rasti mengedip-ngedip jahil, senyumnya lebar ketika menatap Sang Kakak.
Naren mengusap wajah, menahan tawanya yang nyaris meledak. “Astaga, punya adek satu kok bisa ajaib banget sih kelakuannya.”
“Ya makanya Mas Naren cerita dong. Biar aing enggak penasaran lagi.”
Dan Naren akhirnya menyerah ketika Rasti mulai melayangkan pukulan-pukulan maut lagi. “Oke. Coba kamu sini deh, Mas liatin sesuatu.” Naren mengambil tabletnya, menggeser-geser layar sejenak dan memperlihatkan sebuah gambar pada Rasti. “Ini yang namanya Sashi.”
Kening Rasti berkerut dalam ketika melihat sketsa dua dimensi yang dibuat Naren. Sesosok wanita bertanduk merah tengah menyeringai sinis dengan gigi-giginya yang runcing. Dari balik punggung, muncul sayap hitam legam dengan rambut merah yang melambai-lambai.
Di mana letak Sashi-nya?
“Ya. Jangan ngibulin aing dong Mas. Ini mah gambar iblis wadon.”
Naren menggedikkan bahu santai, tersenyum saat memandang hasil karyanya. “Ini emang Sashi versi iblis.”
Satu tepukan langsung mendarat di bahu Naren. Ia tertawa melihat wajah Rasti yang mengerucut kesal. Sebnelarnya Naren tidak berbohong mengenai gambar yang ia tunjukkan pada Rasti. Ini memang wujud Sashi di kepala Naren ketika melihat gadis itu marah dan menyeringai sinis. Mata sipit dan alis serupa sinchan di gambar ini sangat menggambarkan garis wajah Sashi, lengkap dengan tanduk merah sebagai lambang keangkuhannya.
Ah, Naren jadi tidak sabar ingin segera menyelesaikan game perdanannya dan menjadikan Sashi versi iblis sebagai monster terkuat. Pasti akan sangat menyenangkan sekali saat game buatan Naren viral, dan wajah Sashi akan muncul di mana-mana. Membayangkan wajah frustrasi Sashi membuat Naren semakin semangat untuk segera merampungkan gamenya.
Ya Tuhan. Lama-lama Naren bisa gila kalau wajah Sashi terus-terusan muncul di kepalanya!
“Pokoknya pas acara lamaran nanti aing ikut ya!” adalah ucapan terakhir Rasti sebelum cewek itu membanting pintu kamar Naren.
“Hm,” Naren menggumam malas, memandangi sketsa iblis Sashi dan memutuskan untuk menyelesaikannya hari ini juga.
Kira-kira, nama apa yang cocok untuk monster baru ini ya?
****