Chapter 5

2506 Words
 Mikael POV Aku terbangun tepat jam enam pagi, sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Setelah merapikan diri, aku berjalan turun ke bawah. Hanya ada beberapa pelayan dan satpam yang tengah bekerja. Terlalu sepi hingga aku mulai bertanya-tanya, apakah keluarga Vian tidak tinggal di sini? "Selamat pagi, Tuan Muda," sapa pria tua yang kalau nggak salah kepala pelayan di sini. "Pagi Pak, Em ... apa Vian sudah pulang?" "Sir Juan sangat jarang pulang ke sini, Tuan Muda. Apa Anda ingin saya menyiapkan mobil dan mengantarkan Anda pulang?" Kayaknya asyik! Bisa kabur nih, tapi nanti Vian ngamuk lagi, susah juga. Soalnya sejak ancamannya di kantor waktu itu, aku nggak berani lagi membantahnya. Tatapan matanya serius. Aku takut ia melukai keluargaku, jadi ya ginilah ... dengan pasrah aku menjadi pacar yang penurut. "Tidak perlu, Pak. Gua tunggu Vian pulang saja, dia yang suruh gua tunggu dia di sini soalnya," ucapku sambil menghela napas. "Baik, Tuan Muda. Kalau begitu saya akan menyiapkan sarapan untuk Anda, permisi," setelah mengucapkan itu si kepala pelayan menghilang ke arah dapur. Karena ditinggal sendirian, aku memutuskan untuk berjalan ke arah ayunan di kebun belakang, kemarin saat berkeliling rumah ini aku tidak sengaja menemukannya. Pikiranku kembali pada Vian, pria itu sudah bersikap jauh lebih baik padaku sejak aku mulai menurutinya. Sebenarnya aku cukup senang dengan perhatian dan sikap protektifnya, kalau saja tak sampai berlebihan. Sejak kami tinggal bersama, teman-temanku menjauhiku. Mereka takut membuat pria itu marah, hanya geng Alex yang tetap berteman denganku. Jujur, kehidupanku berubah 180° sejak menjadi kekasih pria itu. Padahal tak lebih dari dua bulan sejak kami tinggal bersama. Terlebih, aku masih tidak bisa memahaminya. Ada kalanya aku merasa bahwa ia mencintaiku, tapi di waktu lain, ia terlihat hanya menganggapku mainannya. Rasanya sesak, aku berpacaran dengan orang yang kucintai, tapi kenapa malah terasa menyakitkan. Sampai kapan dia akan memaksaku tinggal bersamanya? Sampai kapan permainan ini akan berakhir? Aku lelah ... aku mencintainya, tapi ia tidak pernah mengatakan kata cinta. Dia hanya seenaknya menjadikanku miliknya. Ia bahkan tidak pernah menyentuhku, kecuali ciuman. Ada apa dengannya? Semakin kupikir semakin tak kupahami. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Sedikit saja, apakah ia mencintaiku? Pada akhirnya aku hanya bisa tertunduk sedih memikirkannya. Sepanjang pagi kuhabiskan hanya untuk mengingatnya. Hingga hari makin siang, kuputuskan untuk pergi sarapan dan menunggu kepulangan Vian dengan patuh. *** Sulvian POV Saat tiba di rumah, aku tidak dapat menemukan bocah itu. Ke mana perginya? Apakah dia kabur dari ku? Dengan panik, aku mengelilingi rumah mencarinya, membuka tiap pintu kamar tamu dan tidak juga kutemukan. "Pak Johan!!" Dengan marah aku berteriak memanggil kepala pelayanku. "Ya, Sir Juan. Ada yang bisa saya bantu?" Pria tua itu segera datang menghampiriku dan bertanya dengan sopan. "Di mana bocah berambut merah yang datang kemarin? Apakah dia sudah pergi dari sini?" "Tuan Muda sedang tidur di kamar Nona Alexandra. Saya sudah menyiapkan kamar tamu, tetapi Tuan muda lebih memilih menggunakan kamar Nona." Usai mendengarkan penjelasan Pak Johan, segera kulangkahkan kaki ke kamar adik kecilku. Apa yang dipikirkannya? Ada puluhan kamar tamu di sini dan ia memilih memakai kamar adik kecilku. Mereka bahkan begitu dekat? Apakah Mikael menyukai adik kecilku? Tidak, tidak mungkin. Apa yang kupikirkan? Dia bahkan tidak pernah berhubungan dengan wanita sebelumnya, tak ada alasan untuk merasa cemas. "Hei, bangun bocah!" Merasa kesal, begitu sampai ke kamar adik kecilku, aku langsung berteriak keras untuk membangunkannya. Akan tetapi, dia masih saja tidur. "Bangun Mikael!" Jadi kucoba mengguncang bahunya, memanggilnya lebih pelan. "Umm ...," ia menggumam sambil membuka mata, tampak sedikit terkejut melihatku, tetapi dengan segera ia tersenyum. "Gua nunggu lu sampai bosan tahu nggak." Kemudian ia mengomel. Yang tentu saja kuabaikan, aku tidak peduli meski membuatnya menungguku berhari-hari. "Kenapa tidur di sini? Ada banyak kamar tamu dan kau memilih tidur di kamar adik perempuanku?" Yang aku butuhkan adalah penjelasan darinya. "Um, gua suka kamar ini. Lagian gua pinjam baju Alex, daripada repot bolak-balik kamar, sekalian tidur di sini saja. Kan lu yang bilang, gua nggak boleh pakai barang cowok lain. Alex kan cewek, adik lu juga. Gitulah ... lu marah?" Ia melirikku takut-takut. "Baiklah, lain kali jangan lakukan lagi. Tidak pantas seorang pria memakai kamar wanita seenaknya." "Eh, memang kenapa? Kan yang punya kamar sudah nggak tinggal di sini juga." Ck! Dasar bocah diberi tahu malah membantah terus. "Etika! Paham! Jangan banyak tanya lagi! Ayo kembali ke apartemen." Kutarik tangannya mengikutiku, menyeretnya pulang tanpa memedulikan apa pun yang ia lontarkan. *** "Hei, Dean," sapaku begitu melihatnya turun dari lift. Saat ini aku sedang berada di Amerika, tepatnya di kota Boston. Wilayah kekuasaan Dean yang juga merupakan kota di mana aku menghabiskan masa remajaku. "Vian? Apa yang kau lakukan di sini?" Ia terkejut dengan kehadiranku, karena seorang kepala keluarga tidak boleh meninggalkan kantor pusat seenaknya tanpa ada alasan bagus dan aku juga tak memberinya kabar saat memutuskan untuk berkunjung. "Mencari adik kecilku, asistenku melaporkan kalau dia pergi ke kota ini tanpa mengabariku. Aku belum bisa memercayainya, kau tahu," jelasku. Sebenarnya aku bukannya berpikir ia akan lari dari ku, hanya berjaga saja apa salahnya. "Kau bisa menyuruh orangmu, bukan?" tanya Dean. Mungkin dalam hati berpikir kalau aku bertindak berlebihan. "Masalahnya perempuan itu membawa suami dan kedua anaknya, mungkin saja ia ingin kabur, bukan?" Padahal kenyataannya tidak, aku punya alasan cukup kuat untuk berada di sini. Dean menghela napasnya, keningnya berkerut tampak sedang berpikir keras. "Kau terlalu curigaan sepupu, dia adikmu. Percayalah padanya, jadi apa hasil penyelidikanmu?" Ia mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengatakan bahwa apa yang aku lakukan terlalu berlebihan "Kau benar Dean. Dia hanya datang untuk mengunjungi sebuah makam dan berlibur." Dan rasanya mengesalkan saat tahu bahwa apa yang dia katakan benar, kurasa aku memang terlalu mencurigai adik kecilku sendiri. Dan ketika melihat Dean mendengus geli dengan sorot mata meledek, aku jadi terpaksa harus mengakuinya, jika tak ingin diledek lebih jauh lagi. "Jadi, kedatanganmu sia-sia." "Baiklah, aku memang terlalu berlebihan, puas?" Melihat aku yang mulai kesal, Dean malah terkekeh. Dia merasa amat puas. Kemudian dia merangkul pundakku, menuntunku ke arah mobilnya. Mencoba bersikap seperti saudara yang baik. Seolah dia tak terlihat bahagia meledekku beberapa saat yang lalu. "Mari kita pergi minum-minum, Vian," ajak Dean. Aku ikut saja, duduk di sampingnya sambil sambil membahas mengenai pekerjaan. Sesampai di bar yang sudah menjadi langganan kami, seperti biasa kami langsung berjalan ke ruang VIP. Jauh dari keramaian dan tentu saja tidak akan ada perempuan jalang yang mendekat. Kami fobia wanita ingat? "Gimana kabarmu, Vian? Kudengar dari sepupu kecil, sekarang kau mengencani teman kuliahnya. Seorang pria huh? Sejak kapan kau menjadi seperti kami?" Uhuk. Ugh, sial! Aku tersendat minumanku karena pertanyaan tiba-tiba dari Dean. "Hei!! Kapan kau bertemu dengannya?" Mengabaikan pertanyaannya, aku kembali bertanya pada Dean. "Kemarin malam. Ia menginap di hotel yang menjadi salah satu asetku, dan jawab pertanyaanku, Vian! Jangan mengelak!" Sial ... Dean mulai terkekeh lagi. Biasanya ia tak pernah peduli dengan urusanku, tapi bila ada hal yang membuatnya penasaran ia akan berubah menjengkelkan, banyak tanya dan terus terkekeh mengejek. Aku benci sifatnya yang satu ini. Terpaksa aku harus bercerita. Jika tidak, dia tak akan pernah membiarkanku pergi sebelum rasa penasarannya terjawab. "Aku hanya bermain-main dengan bocah itu. Dia begitu sering membantahku, membuatku jengkel ingin menaklukkannya, hanya itu!" "Dan sampai sekarang kau belum menaklukkannya? Hampir tiga bulan?" Meskipun ujung-ujungnya, aku sedikit merasa menyesal bercerita padanya. Soalnya, lihatlah sikap Dean. Dia terus terkekeh meledek, memasang wajah jahat yang mengesalkan. Membuatku kehilangan sedikit ketenanganku. "Tidak! Dia sudah jinak! Apa saja yang perempuan kurang ajar itu ceritakan padamu?" Aku semakin terganggu dengan kekehan Dean, dan ia tak peduli sama sekali.  "Terus? Kenapa masih kau pertahankan? Dan adikmu bercerita secara mendetail." Malah mengucapkan kalimat yang menekankan hingga mendetail. "Aku tidak tahu," jawabku, kalau soal ini aku memang tidak tahu. Bocah itu sudah tunduk padaku. Harusnya aku mencampakkannya sekarang. Melanjutkan hidupku dengan tenang, tanpa keberadaannya. "Aku hanya merasa ingin memilikinya, tidak rela membiarkannya pergi. Aku tidak terima harus melepaskannya dan membiarkannya bersama pria lain. Menurutmu apa yang harus aku lakukan, Dean?" Namun, aku malah bimbang seperti ini. Meminta saran pada orang yang kuanggap menjengkelkan saat diajak berbicara. Awalnya Dean serius menanggapiku. Laki-laki cantik itu terdiam sejenak, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Kurasa kau mencintainya, Vian. Selamat! Akhirnya kau menjadi seperti kami, cukup jaga ia di sisimu. Tak perlu memikirkan yang lainnya lagi, mudahkan?" Akan tetapi, kemudian dia tersenyum penuh kemenangan, senyuman busuk yang membuatku ingin memukulnya saat ini juga. "What the hell! Aku tidak mencintainya. Berhentilah berbicara seperti Dr. Henri!!" Di sisi lain, aku seakan paham maksud dari perkataannya. Pemanahan yang tak pernah ingin kuterima. Sampai aku berdiri dan berteriak, menyangkal semua itu. "Lihatlah, bahkan psikologmu juga berpikir demikian. Jangan lari dari kenyataan, sepupu. Terima saja. Lagi pula kita jelas-jelas benci perempuan, jadi mengencani laki-laki bukan masalah bukan?" Sikap serius Dean, justru membuatku merasa tertekan. Ia yang dengan enteng menerima hal tak masuk akal ini, menerima kenyataan bila mencintai seorang laki-laki adalah sesuatu yang sederhana, membuatku merasa seperti kalah darinya. Kenapa semua orang yang kutanya menjawab seperti itu? "Vian, katakanlah sesuatu." Dean mendekat, duduk di sampingku dan menepuk pundakku. Aku melirik padanya, mencoba menebak isi pikirannya. Namun, sayangnya aku tetap tidak paham, "Jangan bahas soal ini lagi!" Yang bisa kupahami hanyalah bahwa saat ini aku malah melarikan diri. "Oke! Tapi ingat ini sepupu, lihatlah ke dalam hatimu untuk menemukan jawabannya. Jika kau tidak ingin percaya pada perkataanku, percayalah pada hatimu sendiri." Perkataan Dean terdengar cukup bijak, tapi saat ini aku tidak ingin memikirkannya. *** Setibanya aku di Jakarta, aku langsung pergi ke kantor dan bukannya pulang ke apartemen. Bukan karena ada pekerjaan mendesak, hanya saja setelah pembicaraan dengan Dean, aku seolah kehilangan nyaliku untuk menemui Mikael. Membayangkan harus bertatap muka dengannya saja membuatku ngeri. Ini memalukan, menyedihkan. Apakah sekarang aku harus mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Tidak! Tidak! Aku frustrasi. Berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjaku sambil berperang dengan pikiranku sendiri. Ini tidak benar! Aku tidak mau mengakuinya. Aku bukan gay, aku tidak mencintainya! Di saat aku sedang kebingungan, "Lu kenapa?" suara yang tidak asing menyadarkanku dari konflik pikiranku sendiri. Dan dia adalah adik tukang membawa masalah. "Alexandra! Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu!" Perempuan kurang ajar itu, sedang berdiri di depan pintu dengan tangan terlipat di d**a. Memakai setelan jas resmi, tapi tetap saja ... dia berbicara tanpa menggunakan etika. Membuatku kehilangan kesabaran. "Dan satu lagi! ETIKA!" sambungku, dengan nada lebih tinggi dan penekanan penuh saat mengucapkan kata etika. Sudah sewajarnya ia bersikap sopan di kantor bukan? "Baiklah, Sir Juan. Saya sudah mengetuk pintu dari tadi, tapi Anda terlalu sibuk dengan pikiran Anda sendiri dan satu lagi, kita di tunggu para orang tua di ruang rapat." Adik kecilku mendengus mengejek padaku, sengaja berbicara seperti itu membuatku semakin tersinggung. Aku ingin memakinya, tapi tak jadi. "Maksudmu?" Sebab aku lebih penasaran kenapa para orang tua berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu. "Rapat direksi, sepertinya mereka akan pensiun lebih cepat dari jadwal. Samuel mengabari gua, lu gak tahu?" Aku tidak tahu soal rapat ini, yang benar saja. Tentu aku tahu!! Tapi gara-gara memikirkan Mikael aku lupa! Bahkan tadi pagi, Dean datang bersama denganku dari Boston demi meeting ini. Aku menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya dengan kasar. Kuperbaiki penampilanku, berjalan keluar ruang kerja berdampingan dengan adik kecilku. Sesampai di ruang meeting lantai dasar, semua anggota keluarga sudah lengkap. Beserta tambahan seorang laki-laki, suami adik kecilku dan bayi-bayi itu. Melihat Ayah yang berbicara akrab dengannya, aku memutar kepalaku menatap adik kecilku yang berdiri berdampingan di sampingku. Ia hanya menaikan alisnya sebelah, mengangkat bahu acuh tak acuh. "Perintah ayah, pengenalan anggota keluarga baru." Menjawab pertanyaanku tanpa perlu bersusah-payah kuucapkan. Setidaknya ia sudah memanggil ayah, bukan tuan besar seperti biasanya. Setelah itu briefing dimulai dengan pengenalan dan penjelasan mengenai pernikahan dan kehadiran anak-anak adik kecilku, menyelesaikan beberapa kesalahpahaman yang terjadi dulu. Di luar dugaan, Ayah dan Ibu menerimanya dengan baik. Bahkan ternyata Ayah sudah mengenalnya jauh sebelum adik kecilku keluar dari rumah. Sedikit mengejutkan, tapi terserahlah. Sebenarnya aku juga tidak peduli dengan urusan perempuan itu, selama masalah penerus sudah beres dan pembagian tanggung jawab sudah disetujui. Masing-masing memegang 10 perusahaan induk, dan aku mendapatkan 20. Ayah, Ibu dan Paman Albert resmi mundur dari jabatan mereka mulai besok dan mereka akan tinggal menetap di rumah utama yang sudah lama tidak kami tempati. Aturan yang mengharuskan berbicara terlewat sopan dihapuskan. Sepertinya, umur membuat para orang tua menginginkan kehidupan berkeluarga yang lebih hangat dan akur. Sungguh mengejutkan, mengingat bagaimana dingin dan kerasnya mereka memperlakukan kami. Bahkan saat ini, kami sudah pindah dari meeting room ke sebuah restoran cina di pusat kota. Pembicaraan kaku soal pekerjaan tidak lagi diungkit. Aku hanya diam terperangah, masih belum bisa menerima situasi ini. Wajar bila mengingat pertemuan keluarga selama ini, hanya membahas soal pekerjaan saja. Meski ekspresi wajah orang-orang di meja ini masih datar semua, kecuali Marvis yang sudah heboh dari tadi. Mendadak ayahku mulai berbicara serius. "Saya pikir sudah saatnya kalian bertiga menikah, lebih baik hidup berkeluarga daripada melajang seumur hidup." "Pendapat Kakak ada benarnya, sekarang ini sudah banyak negara yang mengesahkan pernikahan sejenis," ditimpali oleh Paman Albert, ia sependapat. Dan sekali lagi, aku terperangah. Mataku melotot mendengar ide gila mereka. "Apa maksud kalian? Apa yang akan dikatakan oleh para relasi kita, jika kami bertiga menikahi pria?" Dengan susah payah pertanyaan itu kulontarkan. "Tidak perlu memedulikan pandangan orang lain. Kehidupan pribadi kalian bukan urusan mereka, selama kalian bisa menjaga nama baik dan kepercayaan perusahaan." Namun, Ayah dengan tegas menjawab yang disetujui oleh Paman Albert dan Ibu. Seolah semua itu bukan perkara besar. Setelah selama ini, mereka selalu meributkan masalah pandangan sosial. Segera aku edarkan pandangan mataku ke semua penghuni meja ini, menilai ekspresi wajah mereka satu per satu, mencoba mencari dukungan. Sialnya, mereka menerima usul itu dengan baik, termasuk adik kecilku. Ia menatapku penuh arti, memamerkan sebuah senyuman licik. Firasatku buruk. Bisa kurasakan, tanganku sedikit berkeringat karena gugup. Curiga ada niat busuk dibalik senyumannya itu. Dan benar saja, firasat burukku tepat. "Kalian semua tahu? Sir Juan sudah punya kekasih lho!" Sambil terkekeh, perempuan kurang ajar itu memamerkan fotoku yang tengah berciuman dengan Mikael. Matilah aku!! Dengan semangat dan seenaknya para orang tua mulai membuat rencana triple wedding! Dean dan Marvis sialan!! Mereka malah setuju saja dengan ide gila orang tua kami. Berkali-kali aku mencoba membantah. Menolak dan mengelak, tapi gagal. Ternyata sikap semena-mena para pimpinan tua itu belum hilang seutuhnya. Ini mimpi buruk, mereka membuat segalanya semakin rumit sekarang. Aku bisa gila karenanya. Setelah itu yang bisa kulakukan hanyalah memanggil pelayan dan memesan arak cina sebanyak-banyaknya. Persetan dengan keadaan, aku perlu menyegarkan pikiranku. Aku terus minum mengabaikan pembicaraan tentang pernikahan itu. Lama kelamaan, mataku mulai berat dan aku pun terlelap. Melupakan segala omong kosong mengerikan ini. Pagi hari, setelah pembicaraan mengerikan itu aku terbangun di rumah utama. Hal pertama yang harus kulakukan adalah menjauhkan Mikael dari hidupku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghubungi Rei. Salah satu asistenku yang bertugas mengawasi bocah itu. Kuperintahkan padanya untuk mengantar bocah itu kembali ke rumah orang tuanya. Sudah jelas tidak ada gunanya melanjutkan hubungan kami. Aku memutuskan untuk membuang bocah itu dan mengakhiri permainan omong kosong ini. Persetan dengan pernikahan! Aku tidak butuh siapa pun di sampingku. Hatiku tidak akan pernah kuberikan pada siapa pun, termasuk kepada bocah itu! Love is bullshit!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD