Mikael POV
Sekarang aku sudah duduk di meja kantin fakultas kedokteran bareng Alex. Berdua doang, karena kebetulan cuma kami yang jadwal kelasnya kosong. Ditemani oleh jus jeruk dan beberapa potong kue.
Tanpa basa-basi langsung kuinterogasi. "Maksudnya apa? Tiba-tiba gua sudah mau tunangan aja sama abang lu?"
"Mending tunangan, awalnya bonyok gua siapin resepsi pernikahan buat kalian, eh kalian malah putus. Berhubung sekarang sudah rujuk lagi, tapi udah nggak sempat sebar undangan, Terpaksa deh, kami harus puas dengan pertunangan saja." Alex menjawab dengan enteng, kayak bahas nanti mau makan apa gitu.
Seolah semua ini hal kecil. Padahal ketemu keluarga mereka saja nggak pernah, sudah main bertunangan saja. Gak masuk akal banget kan? Lagi pula orang tua mana sih, yang rela anaknya jadi belok? Apalagi Vian anak tertua, dan yang lebih penting nikah oi! Itu bukan hal ringan, kayak pacaran yang bisa dengan mudahnya putus. Mereka itu terlalu cuek atau terlalu tak peduli sih?
"GILA SAJA, PERTUNANGAN COWOK SAMA COWOK!!! BAYANGIN APA KATA TAMU UNDANGANNYA!? APA KATA KELUARGA KALIAN DAN KELUARGA GUA?" Aku sampai teriak histeris. Sekeras toa, tanpa bisa direm lagi. Sudah nggak peduli sama anak-anak di kantin yang pada kepo.
"Santai Mik, lu duduk dulu. Tenangin diri lu, biar gua jelasin. Nih, minum dulu." Cewek resek satu ini juga kayaknya gak peduli. Dia malah dengan santainya menyodorkan jus jeruk padaku.
Setelah itu, ia menarikku menjauh dari massal yang kepok. Kayak aku peduli saja. Lalu membawa aku ke salah satu ruang kelas yang kosong. Ia pun mulai menjelaskan sedetail mungkin apa pun yang kutanyakan padanya. Bahkan ternyata papa dan mamaku sudah tahu dan setuju. Kenyataan ini benar-benar membuatku terkejut, terlebih mengetahui mengenai kenyataan tentang Dean dan Marvis yang disebut-sebut oleh Rei tadi pagi. Ternyata mereka sepupu Vian. Dan yang lebih penting, mereka sama kayak aku dan Vian. Belum lagi, mereka bakal nikah bareng cowok. DOUBLE WEDDING COWOK SAMA COWOK. PLUS PERTUNANGANKU YANG JUGA COWOK SAMA COWOK! Aku sampai tak bisa menahan diri buat teriak kencang-kencang dalam kepalaku. Tak habis pikir dengan keajaiban pola pikir keluarga Alex.
"Mustahil ... keluarga lu kok oke-oke aja sih? Kalau keluarga gua sih jelas terpaksa karena diancam. Nah, keluarga lu, kan sudah jelas-jelas kayak mafia gitu. Kok bisa dengan santainya nikahin ketiga anak cowoknya sama cowok gitu sih. Mereka fujo ya?" Kakiku udah lemas, jatuh terduduk di lantai karena saking banyaknya 'kejutan' di hari ini.
"Kami pengusaha bukan mafia, Mikael. Duh, calon kakak ipar gua nih ... gemas deh. Terima sajalah. Lu tahu, abang tiran gua yang usulin pertunangan ini sendiri lho! Dan itu artinya, lu nggak bakal dibiarin lepas dari hidupnya. Siap-siaplah bakal nikah bareng dia abis wisuda nanti." Alex bahagia banget kayaknya. Mencubit hidungku gemas, sambil terkekeh. Sedangkan aku hanya bisa pasrah menerima nasibku dengan pasrah. Bahkan Papa dan Mama sudah setuju, kalau begitu aku bisa apa?
***
Saat ini aku tengah berada di dalam sebuah mobil yang melaju pelan memasuki area kompleks perumahan elite Begijnhof. Bisa kulihat dari kaca jendela mobil, bangunan-bangunan tua khas Belanda yang masih terlihat indah dan kokoh. Jelas sekali dirawat dengan sangat baik.
Sekarang aku, Papa, Mama, Kak Hyori, Kak Zeon – abangku, orang tua Fabian, Alex, Fabian dan twins ada di Amsterdam. Kami baru tiba di sini beberapa jam yang lalu. Seorang asisten Vian, bernama Yakub menjemput kami dari bandara dengan menggunakan Limousine yang muat untuk belasan orang. Disertai beberapa orang berpakaian hitam menakutkan.
"Lu tahu, Mikael. Rumah-rumah yang ada di sini tuh sudah ada sejak tahun 1300-an lho! Waktu tahu ada rumah yang mau di jual, nyokap gua langsung ngotot bayar mahal demi mendapatkannya." Alex mulai cerita sendiri, tanpa ada yang bertanya. Kayak penting aja, mau umur berapa juga aku nggak peduli.
"Kok kita ke sini? Bukanya nginap di hotel?" Aku lebih peduli kita mau tidur di mana, sudah ngantuk.
"Kan gua udah bilang. Rumah nyokap ada di sini. Ini tempat bersejarah tahu! Dan karena nikahnya bakal diadain di taman kompleks ini, jadi daripada nginap di hotel, mending di rumah Nyokap. Lu tenang aja, rumahnya pas di depan taman kok. Jadi dekat. Nih bakal jadi garden wedding party yang megah dan berkesan. Harusnya ini juga jadi hari nikahan lu. Sayangnya lu sama abang tiran gua nggak jelas sih, jadi cuma tunangan deh."
Malas juga, aku dengarin ocehan panjang lebar Alex. Cewek ini masih sangat bersemangat setelah naik pesawat belasan jam. Padahal yang lainnya sudah pada ketiduran di mobil karena kelelahan.
Aku hanya bisa pasrah melihat tingkahnya. "Gua heran, cuma karena nyokap lu punya rumah di sini sampai harus nikah di sini. Kenapa nggak di Jakarta saja? Toh, rumah utama kalian di sana." Ikutan tanya yang gak penting, tapi karena terlintas di pikiranku begitu aja, ya sekalian tanya.
"Lu nggak tahu? Di negara ini pernikahan sejenis tuh sah secara hukum, makanya di adakan di sini. Keluarga gua menganut prinsip pernikahan sekali seumur hidup. Jadi ya ... kalau nikah harus disahkan secara hukum sekalian."
Aku terkejut mendengar perkataannya. Bukan karena kenyataan hukum pernikahan sejenis, tapi soal prinsip hidup keluarga mereka. Kalau mereka menganggap pernikahan sesakral itu, lalu kenapa setuju saja anak-anaknya pada belok? Dan lagi Vian, kenapa pria itu justru ingin menikahiku? Dia sungguh ingin menghabiskan hidupnya bersama denganku? Apa ia mencintaiku? Bolehkah aku berharap seperti itu?
Pikiranku langsung hanyut seketika. Aku tak lagi meladeni ocehan cewek resek yang duduk di sampingku itu. Tanpa kusadari, Limousine yang kami naiki sudah berhenti di sebuah rumah tua yang begitu besar dan terawat.
Setelah itu, Yakub membangunkan keluargaku tengah tertidur dan menuntun kami masuk ke dalam rumah. Ia menunjukkan kamar masing-masing, agar kami semua bisa langsung beristirahat. Sedangkan anak buahnya tengah sibuk membawakan koper-koper kami.
Karena rumah ini hanya ada pelayan, maka aku pun memutuskan untuk bertanya. "Yakub, Vian dan keluarganya di mana?" Berusaha menyembunyikan rasa takutku. Soalnya aku masih belum terbiasa dengan wajah Yakub yang sangat menakutkan. Pria itu bertubuh tinggi dan besar dengan kulit gelap. Dengan sorot mata seperti seorang pembunuh, ditambah bekas luka di kedua sisi wajah yang membuatnya tampak sangat berbahaya.
"Bekerja, mereka semua akan berkumpul untuk makan malam bersama nanti. Anda bisa beristirahat terlebih dahulu, Tuan Mikael," jawabnya sopan. Sangat tidak cocok dengan mukanya yang sangar.
Mendengar itu, aku pun mengangguk paham dan pergi ke kamar yang disediakan untukku. Lebih baik tidur, pikirku.
***
Sulvian POV
"Yakub, di mana bocah itu?" tanyaku, begitu menginjakkan kaki ke rumah yang akan kami tempati sementara ini.
"Di kamar. Sedang beristirahat, Sir," jawab Yakub.
Aku langsung berjalan memasuki kamar tidurku. Karena aku telah mengatur agar kami tidur sekamar selama di sini. Dengan menggunakan alasan, karena semua keluarga calon pengantin akan menginap di sini, maka lebih baik kami sekamar agar kamarnya cukup. Walau tentu itu cuma alasan, karena ibu memiliki 3 buah rumah di kompleks ini dan masing-masing rumah memiliki lebih dari 10 kamar. Sudah jelas bahwa kami tidak akan kekurangan kamar. Sebenarnya aku hanya ingin dekat dengannya. Padahal kami baru tidak bertemu selama empat hari, tapi aku sudah begitu merindukan Mikael.
Kulihat Mikael tengah tertidur sambil memeluk sebuah bantal di perutnya. Terlihat begitu mengemaskan di mataku. Entah karena dorongan dari mana, aku mendekat dan mencium bibir dengan rakus, tapi ia masih juga tertidur pulas. Tidak terusik sedikit pun. Seperti bukan diriku saja, mencuri ciuman dari seorang bocah yang tengah tidur. Aku tersenyum tipis menyadari tingkah anehku. Lalu kulepas jas dan dasi yang kukenakan, melemparnya ke sembarang tempat. Kemudian menarik bantal yang tengah dipeluk oleh Mikael, naik ke atas tempat tidur. Menariknya ke pelukanku, menghirup aroma dari rambutnya. Dan aku pun ikut tidur sambil memeluk erat bocah kesayanganku ini.
***
Mikael POV
Aku bergerak tidak nyaman dalam tidurku, bisa kurasakan dadaku begitu sesak. Aku pun menyerah untuk terus tidur. Kemudian aku membuka mata, berusaha mencari oksigen. Betapa terkejutnya aku, ada Vian di sampingku.
Deg ... deg ... deg ...
Bunyi detakan jantungku begitu keras dan berisik. Hanya karena dia memelukku seerat ini. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan mencari jam. Kerena tadi tirai jendela tidak kubuka, aku jadi tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Berusaha bangun pun percuma. Semakin aku berusaha melepaskan pelukannya, semakin erat Vian memelukku.
"Cih. lu benaran tidur nih? Lepasin, sesak," umpatku ke Vian yang masih terlelap.
"Berisik sekali bocah!" Vian terbangun, ia menggerutu dengan suara serak khas baru bangun tidur. Matanya tampak sayu. Penampilannya yang selalu rapi, terlihat lebih berantakan. Kunciran rambutnya sudah mengendur, memperlihatkan rambut acak-acakan yang terlihat seksi. Aku hanya bengong dengan mulut ternganga lebar menatapnya. Sungguh tidak adil! Kenapa ia bisa terlihat begitu menarik bahkan saat baru bangun tidur!!
"Hei, aku berbicara denganmu, Mikael. Apakah kau baru saja memperhatikanku?" Vian terkekeh menggoda, menyadari bahwa aku terus menatapnya.
"Nggak kok!" Aku langsung membuang muka, menyembunyikan wajahku yang memerah. Malu ketahuan mengaguminya diam-diam. Dia menciumku sekilas. Tertawa sambil mengacak rambutku. Kemudian bangun, berjalan ke arah kamar mandi, meninggalkanku kesenangan sendiri di sini.
Tak lama, ia keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan bathrobe. Sadar kuperhatikan, ia menaikan alisnya sebelah. Menatapku dengan intens. Sok tebar pesona, kayak aku bakal terpesona saja.
"Kau juga, cepat pergi mandi. Makan malam akan di mulai setengah jam lagi" Ya sudah, aku pergi mandi saja. Sengaja nggak mau menatapnya biar nggak diledek lagi.
***
Jam delapan malam tepat, kami sudah duduk di meja makan panjang bersama seluruh keluargaku, keluarga Vian dan keluarga Wijaya yang berjumlah puluhan orang. Minus Dean, Marvis, Om Albert dan keluarga pasangan mereka. Karena mereka menginap di rumah lain yang disediakan. Suasana makan malam keluarga yang harusnya hangat dan ramai dipenuhi obrolan seputar pernikahan, justru terkesan kaku dan dingin.
Semua ini karena suasana dingin yang menyebar dari seluruh anggota keluarga Angelo, tak terkecuali Vian dan Alex. Mereka mendadak berbicara bahasa super formal dan singkat-singkat gitu. Malah raut muka datar. Aku yang duduk di antara mereka, hanya bisa tersenyum salah tingkah, nggak tahu harus gimana.
Dengan gugup aku ngelirik ke arah Papa dan Mama. Meminta pertolongan dari suasana mencekam kayak kuburan ini, tapi mereka juga gelagapan nggak tahu harus gimana. Lalu aku balik ngelirik ke arah Om dan Tante Wijaya. Mereka pun nggak kalah kikuknya dengan papa dan mamaku. Kenapa? Kenapa orang dewasa di meja ini semua begitu. Hiks ... cepatlah selesai makan malam! Alhasil kami semua makan dalam diam, bahkan aku tidak tahu gimana rasa makanan yang sedang aku kunyah, saking gugupnya dengan suasana aneh ini.
Hingga akhirnya muncul seorang pria tinggi berambut pirang dan bermata biru, memecah keheningan di ruang makan yang kaku ini. "Halooo semua! Kalian sudah selesai makan? Kemarilah! Kumpul bersama kami, kita perlu saling mengenal." Dia berseru dengan suara centil dan energik. Semua mata langsung tertuju padanya, tapi seolah tak terganggu dengan pandangan orang-orang yang menatapnya, dia hanya nyengir kuda dan kembali berceloteh ria. Diam-diam aku menghela napas lega karena kedatangannya.
"Ayolah, kalian semua jangan terlalu kaku. Uncle dan Auntie juga, bukankah kalian bilang ingin keluarga kita berubah lebih hangat? Maka mulailah tersenyum dan mengobrol. Buang jauh-jauh muka datar dan dingin kalian, ini berlaku juga untuk kalian, sepupu." Aaku agak terkejut melihatnya menepuk kepala Vian dan Alex dengan santainya. Keheranan, kenapa mereka gak marah sama sekali.
"Marvis, kau sungguh tidak sopan." Malah ibu Vian yang kelihatan tak senang, dia menegur dengan suara yang halus dan lembut. Sangat bertolak belakang dengan tatapan matanya yang dingin. Sikap yang membuatku mempertanyakan ulang, apakah sikap dingin itu didapatkan dari gen mereka? Soalnya semuanya terlihat seperti itu.
“Santai, Auntie. Kalau terus memikirkan sopan santun dan etika kita tidak akan pernah jadi keluarga normal bukankah begitu, My Queen?" Selanjutnya dia berbicara lagi, sambil mengedipkan mata ke Alex? Jadi yang dipanggil dengan panggilan norak itu Alex? Fix! semua keluarga Vian abnormal. Padahal tadi, aku sudah sempat berpikir kalau Marvis ini lebih welcome dan normal dibandingkan mereka yang duduk di meja makan ini, tapi ternyata aku salah.
Setelah itu, ibu Vian tersenyum tipis nyaris nggak kelihatan. Setuju dengan saran Marvis, seolah dia nggak habis menegur keponakannya itu. "Ya, ucapan Marvis ada benarnya, mari kita berkumpul bersama mereka." Kemudian ia pun berjalan dengan anggun ke arah pintu ruang tamu. Sedangkan ayah Vian hanya menganggukkan kepala kecil dan mengikuti istrinya, membuat kami yang ada di ruangan ini saling tatap dan berakhir mengikuti mereka juga.
***
Sulvian POV
Setelah acara makan malam yang kurang menyenangkan itu usai, kami semua berkumpul di taman kompleks perumahan Begijnhof ini. Mengikuti ajakan Marvis. Lapangan rumput kosong itu, telah disulap oleh Marvis menjadi taman yang nyaman. Meja dan kursi telah tersusun rapi dilengkapi aneka minuman dan makanan kecil.
Suasana di antara kami berubah seketika menjadi lebih hangat. Bahkan Ayah dan Ibu yang kaku itu, sudah mulai bisa berbaur.
Mikael yang tadinya tampak tidak nyaman, kini sudah bisa tertawa lepas bersama Elanor dan Tyler, calon pengantin Dean dan Marvis.
"Hei, Vian! Apakah itu kekasihmu? Dia sangat muda dan imut, uke yang manis~" seru Marvis. Ia duduk di sampingku, diikuti oleh Dean. Sudah cukup lama kami tidak berkumpul bertiga seperti ini.
"Sepertinya kau sudah bisa jujur dengan perasaanmu sendiri, baguslah. Aku turut bahagia untukmu," kali ini Dean yang berbicara.
"Ya, kalian benar. Kelihatannya aku sudah benar-benar mencintai bocah itu," kataku, meneguk vodka yang dari tadi kupegang. Mereka berdua langsung tertawa dan merangkulku. "Selamat sobat, sekarang kita bertiga benar-benar sehati," lanjutku. Membuat tawa mereka makin menjadi-jadi, tapi kami tidak peduli. Menyenangkan memiliki orang yang bisa berbagi segalanya.
"Oh, sayang kita tidak jadi triple wedding. Jadi kapan kau akan menyusul, Vian?"
"Beberapa tahun lagi, kurasa tidak dalam waktu dekat, Marv."
"Kenapa?" tanya Dean.
"Ia sudah kumiliki, kenapa harus terburu-buru? Kalian lihatlah ... Mikael masih tampak seperti bocah," jelasku. Merasa Mikael terlalu muda untuk menikah, mentalnya masih setara mental remaja di mataku.
"Dia tidak semuda itu. Kukira ia seumuran dengan adikmu, dan lihatlah My Queen-ku tercinta. Dia sudah menjadi seorang ibu sekarang. Kamu yang terlalu serius memikirkannya." Marvis sok serius menasihatiku. Padahal dia saja tidak pernah berpikir serius seumur hidupnya.
"Marv benar, lamarlah dia. Kalian bisa menikah musim dingin nanti. Pesta pernikahan disertai salju sangat romantis. Mungkin kalian bisa menikah di Amerika," timbal Dean. Mulai lagi dengan ide gilanya, berbicara dengan dasar hati. Terlalu peduli dengan hal-hal konyol yang disebut dengan keromantisan.
"No! No!!" Kugelengkan kepalaku, menolak usul dari mereka. Kurasa Mikael belum siap untuk menikah secepat ini, atau mungkin akulah yang tidak siap. Entahlah, yang jelas ... sebuah pernikahan bukanlah apa yang kuinginkan saat ini.
***
Mikael POV
"Benarkah!?" Elanor tidak percaya setelah kukatakan pada mereka, bahwa Vian tidak pernah melamarku.
"Oh ... sungguh kasihan nasibmu, Mikael. Dapat calon suami sedingin Sulvian. Dean memang kejam dan licik, tapi di saat tertentu ia bisa jadi sangat romantis." Tyler mengelus kepalaku, bersikap begitu manis padaku.
Begitu aku datang ke taman ini, Elanor dan Tyler langsung menyeretku berkumpul bersama mereka. Obrolan pria tentang kekasih mereka, kata Elanor. Padahal yang kulihat, ini seperti girls talk.
Bayangkan saja ... kami semua cowok. Lalu kenapa harus begitu bersemangat membicarakan tentang lamaran dan pamer cincin? Aku tidak senang dilamar, bukankah lebih baik bila cowok yang melamar? Perilaku mereka seperti remaja cewek yang baru pertama kali jatuh cinta. Bikin geli-geli gimana gitu. Apalagi pasangan kami semua sama-sama cowok, gimana bisa terlihat wajar?
"Haha ... gua sungguh gak butuh lamaran. Apalagi dari orang kayak Vian." Tahu-tahu saja, aku jadi tertawa sendiri memikirkannya. Berasa aneh banget.
"Memangnya kenapa? Vian itu sangat memesona, dan bisa di andalkan," ucap Elanor, setengah berbisik. Memutar arah pandanganku ke arah Vian. Aku jadi sedikit salah tingkah, "Dia dingin dan errr ... kejam?" berkata dengan tidak yakin.
"Aku mengerti perasaanmu, Mikael" Tyler merangkul pundakku. Kemudian melanjutkan perkataannya, "Mereka, kekasih kita dan keluarganya punya kecenderungan berperilaku abnormal dan kejam, tapi itu bukan berarti kita harus menjauh dari mereka. Justru sebaliknya, kita harus membantu mereka keluar dari sisi gelap mereka, seperti pasangan itu."
Refleks mataku mengikuti arah jari telunjuk Tyler, diarahkan kepada Alex dan Fabian. Merasa bingung, aku kembali bertanya, "Maksud lu? Apa hubungannya?"
"Lihatlah mereka, Mikael. Bukankah mereka terlihat bahagia dan normal? Tersenyum tulus dan memiliki tatapan yang hangat." Jawaban Tyler masih membuatku bertanya-tanya, sebab Alex dan Fabian yang kukenal memang normal.
Kemudian Elanor berdiri di hadapanku. Ia ikut menimpali, "Kau tahu, gadis itu dulunya tidak selembut itu. Aku sudah berpacaran dengan Marvis selama 10 tahun. Dulu, beberapa kali kami pergi mengunjunginya saat dia masih kuliah di Boston. Gadis kecil itu terlihat tidak jauh lebih baik dibanding dengan abangnya. Dingin, angkuh, tidak dapat menghargai orang lain. Bahkan dia tidak tahu caranya tersenyum dan lihat sekarang. Aku yakin lelaki itulah yang membuatnya berubah. Membahagiakan dan mengenalkan cinta padanya." Ceritanya membuatku jadi sedikit paham maksud mereka.
"Benar kata Elanor, tugas kita adalah membuat pria kita berubah menjadi lebih baik. Hilangkan sisi tak manusiawinya, setidaknya saat mereka berada bersama dengan kita." Aku lalu terdiam mendengar kata-kata mereka. Mereka sungguh dewasa dan tulus. Padahal aku juga tak kalah dalam mencintai dibandingkan dengan mereka, tapi nggak sedikit pun aku berpikir untuk mencoba membuat Vian bahagia. Aku selalu berpikir Vian kejam dan dingin seperti mafia, psikopat dan lain-lain. Tanpa mencoba mencari sisi baiknya. Tak seperti mereka yang bisa melihat sisi baik dari pasangannya. Mendadak hatiku terasa sesak, keinginan untuk memahami Vian muncul begitu saja.
"Apa kalian yakin, Vian bisa berubah jika aku berusaha?" tanyaku ragu-ragu, mencari dukungan.
"Tentu saja!" Mereka menjawab bersama. Disertai senyuman penyemangat. Rasanya nyaman bersama mereka, seperti bersama seorang sahabat. Mungkin karena mereka sama seperti ku, makanya aku merasa mereka bisa memahami perasaanku.
"Kenapa kalian bisa begitu yakin?" Jadinya, aku sama sekali tak sungkan untuk bertanya lagi. Malah, aku ingin sekali mendengar cerita mereka.
"Karena Marvis dulu lebih parah dari pacarmu. Aku bahkan berkali-kali melihatnya tertawa riang saat memotong jari orang yang masih hidup," cerita Elanor kemudian, membuat mataku melotot seketika. Terkejut bukan main.
"Ah ... Dean juga dulu seperti itu. 4 tahun lalu, waktu kami pertama kali bertemu ia sedang memukuli beberapa orang hingga tewas dengan sikap kalem dan muka polos." Ditambah lagi, dengan cerita Tyler yang tak kalah mengejutkan.
"M-mereka hobi membunuh?" tanyaku takut-takut, “dan kalian kenapa bisa mencintai psikopat seperti mereka?" Entah kenapa, mulutku tidak bisa berhenti bicara. Entah terlalu takut, atau terlalu kepo.
Mereka menatapku sebentar, lalu Elanor menjawab. "Bukan hobi, tapi trauma masa kecil mereka yang membuat mereka jadi sedikit 'berbeda' atau mungkin karena tekanan terlahir sebagai seorang Angelo. Aku tidak tahu pasti, yang jelas itu tidak membuat cintaku pada Marvis menghilang. Bukankah kau juga begitu, Mikael?" Ia memberikan tanda kutip dengan jari di kata 'berbeda'.
Aku mengangguk kecil, pertanyaan bodoh! Walaupun tahu Vian seorang psikopat, aku tetap saja mencintainya. Bukankah sudah jelas? Elanor dan Tyler sama seperti ku, bahkan nasib kami sama. Jatuh cinta pada pria psikopat yang berhati dingin.
"Apa menurut kalian, semua anggota keluarga mereka pernah membunuh? Termasuk –" Entah keberanian atau kebodohan, aku kembali bertanya sambil melirik ke arah cewek resek yang tengah tertawa sambil menimang bayinya itu. Semua ini karena tiba-tiba aku teringat akan perilaku mengerikan Alex yang ditunjukkannya ke Niko dan teman-temannya dulu.
"Ya, mereka semua pernah membunuh dengan tangan mereka sendiri. Kecuali Mrs. Angelo, beliau tidak mau mengotori tangannya. Calon ibu mertua kita, selalu menyuruh orang lain mengurus pekerjaan kotornya." Elanor memberi penekanan pada kata 'pekerjaan kotornya'. Sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kehidupan berbahaya.
"Kenapa?" Kali ini aku bertanya dengan suara yang sangat lirih. Aku tidak percaya, bagaimana bisa mereka menjalani hidup seperti itu? Apa nyawa manusia tidak ada harganya bagi mereka?
"Itu bukan karena kemauan mereka sendiri. Dengar Mikael, banyak orang yang iri dan benci kepada keluarga mereka. Tidak sedikit yang membayar seorang profesional untuk membunuh mereka, bahkan sejak mereka masih bayi. Itulah kenapa, mereka tidak bisa lepas dari situasi di mana mereka harus membunuh atau terbunuh. Mereka tidak menunjukkannya, tapi itulah hidup yang mereka jalani," jelas Tyler panjang lebar, dengan lembut sambil memegangi kedua pundakku.
Perlakuan baiknya itu, kembali membuatku merasa tidak enak dengan pertanyaanku, tapi aku ingin tahu seperti apa kehidupan Vian dan jelas pria itu tidak akan memberitahukannya padaku. "Bukankah mereka punya bodyguard? Kenapa nggak serahkan ke bodyguard mereka?" Aku merutuki mulutku yang tidak henti-hentinya menanyakan pertanyaan yang tidak mengenakan ini, tapi di sisi lain ... aku sangat ingin tahu.
"Bodyguard mereka bisa saja sudah terbunuh atau malah berkhianat, berbalik mencoba membunuh mereka. Ini bukan hanya dugaan, tapi sungguh pernah terjadi." Elanor memberitahukan pengalaman hidup mereka, apa yang terjadi di masa lalu.
"Itu benar, Mikael. Itulah sebabnya, mereka harus bisa menjaga diri mereka sendiri. Tidak mudah hidup di antara orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Maka kitalah yang harus menjadi orang yang bisa dipercayai oleh kekasih kita. Setidaknya itu bisa membuat mereka bersantai dan melepas lelahnya." Tyler tersenyum amat hangat menatapku. Memberi kelegaan tersendiri, di antara segala rasa kejutku.
"Terima kasih. Maaf, gua banyak tanya hal-hal yang sensitif." Kurasa itu sudah cukup untuk saat ini. Sebab aku tak yakin apa aku masih bisa bersikap biasa saja, bila tahu lebih banyak lagi.
"Anytime, Mikael. Lagi pula nanti juga kita akan jadi kakak-adik."
"Ya, lupakan pembicaraan menyebalkan ini. Ayo bergabung dengan para orang tua." Setelah itu kami ikut bergabung dengan pembicaraan para Ibu, yang errr ... membuatku terjebak dalam nasihat panjang lebar menjadi istri yang baik. Padahal kami ini cowok. Cowok! Masa bodoh soal peran jadi istri, itu urusan cewek!
***
Sulvian POV
Hari ini adalah hari yang di tunggu-tunggu. Bisa kulihat gelagat panik Marvis, Berlarian ke sana-sini mencari dasinya. Sedangkan Dean terus saja berdebat dengan perias yang disiapkan oleh Ibu. Perias pria itu ingin memberi sentuhan feminis pada wajah manis baby face milik Dean, sedangkan Dean ingin dirias hingga terlihat lebih macho dan manly. Jadinya, itulah yang terjadi, perdebatan yang tak kunjung usai. Berhubung ia ada di posisi dominan, sungguh tidak cocok mengingat Tyler bertubuh tinggi besar dan berotot. Berbanding terbalik dengan Dean yang bertubuh kecil dan tak berotot sama sekali. Ditambah lagi dengan wajah manisnya.
Kalau aku hanya terkekeh melihat begitu kacaunya mereka. Lucu sekali para sepupuku yang begitu dingin mendadak berubah menjadi begitu berbeda di hari pernikahan mereka.
"Ayolah Marv, Dean, berhentilah panik seperti itu, kalian akan terlambat ke altar bila masih terus ribut." Aku sengaja menggoda mereka. Dean hanya mendengus tak suka, sedangkan Marvis mulai protes. "Sialan kau, Vian! Bantu aku mencari dasiku!" Ia mengumpat padaku, masih dengan muka paniknya.
"Di atas meja rias, Marv. Ke mana matamu?" ejekku lagi, sambil tertawa kecil. Marvis langsung bergegas memakai dasinya, protes padaku lagi. "Sialan kau, Vian. Bagaimana mungkin kau bisa begitu tenang?"
"Ini pernikahan kalian, bukan pernikahanku, kenapa aku harus ikut panik?" Kuangkat bahuku acuh tak acuh, membuat Marvis mencemooh tidak suka.
"Ini hari juga pertunanganmu, bila kau lupa!" sindir Marvis.
"Cuma diumumkan saja, bukan sesuatu yang spesial." Aku mengelak.
"Kasihan Mikael, dapat pria b******k seperti mu. Ayo keluar sudah, waktunya." Dan Dean menimpali. Sekarang dia telah siap, aku hanya memutar mataku malas dan berjalan beriringan dengan mereka berdua.
***
Halaman hijau kosong itu telah berubah menjadi taman yang begitu indah. Altar putih berhiaskan bunga mawar telah terletak dengan sangat rapi dan indah di sudut tepi taman. Di depannya, tersusun dengan apik kursi-kursi panjang berwarna putih untuk para keluarga yang menyaksi pemberkatan. Sedangkan di sudut lain sudah ada panggung besar yang disiapkan untuk berbagai acara dan musik pengiring pesta. Meja-meja bundar dengan buket bunga anggrek diletakkan mengelilingi taman, menyisakan halaman tengah untuk digunakan sebagai dance floor.
Para tamu undangan telah hadir dan pemberkatan pun dimulai. Dean dan Marvis berdiri di altar menunggu Tyler dan Elanor yang berjalan di dampingi sang Ayah, datang menghampiri mereka.
Bisa kulihat raut wajah terkejut para tamu undangan ketika melihat pasangan kedua mempelai. Sebagian bisa mengerti dan sebagian lagi, tampak memandang jijik dan mencemooh. Hal yang wajar dalam pernikahan sejenis. Walaupun Elanor mengenakan gaun pengantin yang cantik, tapi wajahnya sudah sangat dikenali oleh rekan-rekan bisnis kami, sehingga mereka tahu kalau dia seorang pria. Tidakkah mereka melihat nama yang tertera di undangan terlebih dahulu? Bukannya langsung datang dan mencemooh, bila tidak ingin memberi selamat kepada mempelai harusnya mereka tidak perlu datang saja.
Tanganku mengepal erat menahan amarah, mendengar bisik-bisik yang menghina para sepupuku saat mereka tengah mengucap sumpah. Mikael mengelus tanganku yang terkepal. Ia berbisik menenangkan, membuatku sedikit rileks dan melupakan segala kemarahanku. "Tenanglah Vian, ini pernikahan sepupu lu. Jangan buat onar!"
"Thanks, sudah mengingatkanku, Baby." Kucium pelipisnya sekilas. Berterima kasih, karena mengingatkan padaku apa yang lebih penting saat ini.
"Iya." Mikael menjawab dengan muka cemberut, kelihatannya dia tidak suka kupanggil baby. Membuatku terkekeh geli, mulai menggodanya. Hingga aku tidak sadar bahwa para sepupuku telah selesai bertukar cincin. Bahkan aku sudah melewatkan ciuman mereka. Ini salahmu Mikael Roug, membuatku mengalihkan perhatianku seluruhnya padamu!
"Apa?" protes Mikael, ketika aku terus menatapnya. Terlihat mengemaskan, membuatku ingin menggodanya sedikit lagi. Kubungkam mulut manisnya ketika para tamu undangan telah beranjak pergi ke meja makan, meninggalkan kami yang berjalan di belakang mereka.
"Hmm ... Vian, hem –" Erangan Mikael terputus ketika kutelusuri rongga mulutnya, mencicipi rasa manis khas miliknya. "Stop –" Membuat ia semakin mengeluh, tapi aku tidak peduli. Aku hisap lidahnya, membuat napasnya tersendat dan suara protesnya tidak terdengar lagi. Lama kelamaan Mikael pun terhanyut, bocah itu melingkarkan tangannya ke leherku. Ia membalas ciumanku dengan hisapan di bibir atasku. Aku pun membalasnya dengan mengisap bibir bawahnya. Sesekali menjilat menggodanya.
"Stop!! Hentikan ciuman panas kalian, pasangan di sana!! Naiklah ke atas panggung, giliran kalian bertukar cincin!" Hingga suara MC di atas panggung menarik kami kembali ke kenyataan. Sekaligus membuat semua mata tertuju pada kami. Aku mengeram jengkel karena kesenanganku terganggu. Dengan kesal, aku berjalan menyeret Mikael ke atas panggung.
Bisa kulihat, keluarga kami tertawa keras. Begitu juga dengan sebagian dari tamu undangan. Mereka tersenyum geli melihat kelakuan kami, sedangkan sebagian tamu undangan lain yang mencemooh tadi kelihatan shock dan jijik melihat keintiman kami. Kupelototi mereka dengan tatapan mengancam, membungkam mereka dengan rasa takut.
Setelah sampai ke atas panggung, MC itu kembali berceloteh. "Tamu-tamu yang terhormat, kali ini saya akan menyampaikan kabar bahagia lain yang datang dari keluarga mempelai. Langsung saja!! Ucapkan selamat atas pertunangan Tuan Sulvian Juan Angelo dan Tuan Mikael Roug!! Silakan bertukar cincin dan lanjutkan ciuman panas kalian tadi!!"
Tepuk tangan dan kata-kata selamat mulai berdatangan, setelah mendengar suara teriakan MC yang kelewatan bersemangat. Kami pun bertukar cincin dan berciuman singkat, aku tidak suka kedekatanku dengan Mikael menjadi bahan tontonan.
Begitu kami turun dari panggung, MC itu kembali sibuk memamerkan senyumannya dan ocehannya. "Luar biasa sekali hari ini tuan-tuan dan nyonya-nyonya, saya tidak menyangka akan menyaksikan tiga pasangan sejenis yang mengikat janji cinta setianya. Apalagi ketiga pasang ini adalah kakak beradik. Sekali lagi saya ucapkan selamat untuk keluarga Angelo yang tengah berbahagia menyambut tiga orang pria menjadi anggota keluarga baru mereka."
Tepuk tangan pun kembali terdengar, kami berjalan ke arah keluarga kami berkumpul. Elanor dengan semangat langsung memelukku dan Mikael bergantian, senyuman mengambang tercetak jelas di wajah peranakan Perancis miliknya.
Selanjutnya acara dilanjutkan dengan dansa dan segala hiburan lainnya. Wartawan dan reporter dari majalah bisnis mulai sibuk mengejar berita dari kami. Mereka tampak seperti hiena liar yang kelaparan. Lapar akan gosip seputar keluarga kami yang sudah tidak lagi terdengar sejak puluhan tahun silam.
Bahkan adik kecilku tidak dapat lari dari mereka. Seorang wartawan dari majalah bisnis di Amerika, sampai-sampai merampas Lexie – keponakanku dari gendongan adik kecilku, cuma demi bisa mewawancarainya. Ia terlihat sangat murka, aku tertawa geli melihat kekesalan terlihat jelas di wajahnya.
"Kenapa lu malah tertawa-tawa, Vian?" tanya Mikael, dari tadi ia duduk di sampingku. Kuelus puncak kepalanya gemas, sementara ia terus memajukan bibirnya sewot.
"Lihatlah adikku itu, dia terlihat menyedihkan menghadapi wartawan di sana. Dan satu lagi, Mikael. Jangan memajukan bibirmu seperti itu bocah, kalau tidak ingin kucium di sini." Aku terkekeh, sengaja menggoda Mikael hingga ia gelagapan salah tingkah. Wajahnya sampai merona, amat imut.
"Dasar bodoh! Lu juga dikelilingi wartawan tahu!" Mikael lantas protes. Ia memukul lenganku, membuang muka, menyembunyikan wajah memerahnya. Dan yang benar saja, Mikael benar. Wartawan-wartawan itu tengah berdiri mengelilingiku dan Mikael. Kenapa aku bisa tidak sadar dengan kehadiran mereka? Apakah Mikael telah membuatku buta akan sekeliling?
Para pencari berita yang tengah kelaparan itu tampak gugup, tidak seorang pun dari mereka yang berani bertanya padaku. Keringat dingin bercucuran dari wajah beberapa dari mereka, tapi anehnya mereka juga tidak kunjung angkat kaki dari hadapanku. Tingkah yang sungguh menjengkelkan!!
"Cepat bertanya dan pergi dari sini!" ucapku sinis. Berusaha untuk tidak membentak maupun mengamuk.
Setelah itu satu persatu dari mereka mulai melontarkan pertanyaan padaku dan Mikael, tapi bocah itu hanya diam dan menyembunyikan mukanya di balik bahuku. Membuatku merasakan sensasi aneh yang menyenangkan. Dengan singkat dan jelas kujawab semua pertanyaan mereka, bahkan pertanyaan untuk Mikael juga kujawab seenaknya, hingga kesabaranku habis dan kuusir para hiena kelaparan itu.