Part 2

1429 Words
Kaivan   Siapa kemarin nama Kakak perempuan Hendra ya? Gendis Wilujeng. Ah iya, itu dia. Nama yang manis semanis wajahnya. Gue tersenyum sendiri mengingat wajah bangun tidurnya dengan muka lecek dan rambut berantakan. Berbeda dengan wanita pada umumnya yang pasti enggan membukakan pintu jika baru saja bangun tidur. Dia justru terkesan cuek pada penampilannya. Setelah mandi pun dia hanya memakai kaos oblong dan celana longgar selutut. Sungguh jika bukan karena Hendra yang memberitahu gue kalau dirinya adalah seorang janda, gue nggak akan percaya. Mengingat sosoknya yang mungil hanya sebatas dagu gue dan wajahnya yang tak sedewasa umurnya. Gue usap wajah kasar karena telah berani-beraninya membayangkan Kakak teman gue sendiri. Bisa dibogem mentah gue sama si Hendra. Sesiangan ini gue habiskan waktu dengan mendesain calon kafe kami yang ketiga. Berbeda dengan desain kafe yang ada di Purwokerto dan Semarang, yang banyak memakai material kayu. Kali ini untuk yang di Jogja gue berencana memadukan unsur industrial dan kayu. Selanjutnya gue akan mendiskusikannya bersama Hendra mengenai ide gue ini. Lelah menatap layar laptop, gue lempar pandangan pada jalanan di depan kafe Warung Gokil. Yang gue suka dari kota ini adalah lalu lintasnya yang nggak begitu ramai. Dan masih banyak tanaman hijau yang tersebar di penjuru kota. Membuat pandangan mata tak sebatas gedung dan kendaraan. Gue alihkan pandangan pada pintu begitu gue dengar seseorangmengetuknya. "Ya, masuk," sahut gue mempersilakan. Seorang pelayan kafe gue memasuki ruangan kerja gue di lantai tiga. "Punten Mas, ada tamu." "Siapa?" Belum sempat karyawan gue menjawab, sosok yang enggan gue temui menerobos masuk. "Mas Kai." Suaranya yang mengalun manja membuat gue mual. Suerr! Tanpa dipinta, karyawan gue meninggalkan kami di ruangan berukuran 3×5 meter ini. "Ngapain ke sini?" tanya gue tanpa melihatnya. Mata gue kembali fokus pada layar laptop yang masih menyala menampilkan gambar desain gue. Pura-pura sibuk. Gadis itu duduk di kursi di hadapan gue. Dari penglihatan singkat gue, bibir bergincu merahnya mengerucut karena gue abaikan. Kalau sudah begini akan keluar semua omongannya yang memuakkan. "Mas Kai, kenapa nggak bales WA aku?" Kan bener dugaan gue. "Sibuk," jawab gue singkat. Gadis di depan gue berdecak kesal. Wajahnya semakin ditekuk dan mulut yang kian mengerucut. Dikira imut kali begitu. "Mas, kita diajakin makan siang bareng sama Kak Re, mumpung dia lagi ada di sini," ujarnya masih dengan suara sok manjanya. Membuat gue semakin mual. "Lo ajalah sana. Bilang aja gue lagi sibuk,” tolak gue. Gadis bernama Widya itu terdiam sementara jarinya justru bergerak di layar ponsel. Dan nggak gue duga dia justru menghubungi Kak Re. s**t! "Ya, Wid." Suara Kak Renata terdengar nyaring di seberang sana. Widya me-loudspeaker teleponnya ternyata. "Kak, Mas Kai-nya nggak mau diajakin makan siang bareng." Widya mengadu pada Kakak kandungku. "Kai, kita makan siang bareng ya ... sama Mas Yudi juga, kok. Mumpung kita lagi di Purwokerto. Ya, please!" Kak Renata memohon. Kalau sudah begini gue cuma bisa pasrah. Gue mendengus kesal namun akhirnya mengiyakan juga permintaan Kak Re. Dan selanjutnya kulihat wajah sumringah Widya yang seperti baru menerima doorprise. Gembira luar biasa.  *** Dengan terpaksa, gue harus berboncengan dengan anak ABG yang super manja ini. Sepanjang jalan, dia berceloteh ria seolah nggak ada habisnya bahan pembicaraan yang dibahas, membuat gue harus berkali-kali mengelus d**a. Gue yang menggunakan CBR 250 dengan tempat duduk bagian belakang yang lebih tinggi, membuatnya justru menempelkan tubuh depannya ke punggung gue. Sebagai lelaki normal, gue nggak nyaman dengan posisi ini karena bisa menimbulkan bencana di bawah sana. Jika yang saat ini yang gue bonceng adalah gebetan gue, jelas ... gue akan merasa senang. Tapi, ini ... Widya gaes. ABG tanggung yang ngomong aja masih belum lempeng. Usianya baru delapan belas tahun. Baru saja mau lulusan SMA. Kalau bukan karena Kak Re yang mengenalkan kami, kami nggak mungkin saling kenal. Dan sialnya gue nggak bisa menghindarinya karena dia yang hobi mengadu pada Kak Re. Akhirnya setelah lima belas menit perjalanan, kami sampai di tempat yang sudah ditentukan oleh Kak Re. Sebuah restoran yang menyediakan menu Jepang, yang terletak di pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Tak perlu waktu lama mencari sosok Kak Re dan kekasihnya, karena pengunjung restoran siang ini nggak terlalu ramai. "Hai, Mas," sapa gue pada calon Kakak Ipar sambil mendaratkan b****g gue pada kursi. Pria yang kata Kak Re bekerja di Industri Kereta Api dan punya beberapa usaha bengkel ini, mengangguk dan tersenyum ringan. Pandangan gue beralih pada Kak Re yang tengah fokus memilih makanan. "Langsung pesan aja, Kai," katanya seolah tahu gue sedang menatapnya. Akhirnya gue buka buku menu yang ada di atas meja. Dan pilihan gue jatuh pada sushi tuna. Sementara Kak Re dan Bang Yudi memesan suki. Lalu si manja Widya memesan sate ala Jepang yang nggak gue ketahui namanya. Kami makan diselingi obrolan ringan. Kak Re dengan Widya membahas fashion terkini. Sementara gue dan Bang Yudi membahas apa pun yang berhubungan dengan kelangsungan bisnis kami. Gue yang duduk menghadap ke arah pintu masuk restoran menangkap siluet wanita yang gue kenali. Mbak Lujeng. Iya, setelah gue pastikan lagi, itu memang Mbak Lujeng. Dia sejenak menatap ke dalam restoran lalu entah kenapa matanya seperti melihat hantu. Wajahnya memucat, genggaman tangannya pada tali tasnya mengerat. Lalu dia berbalik dan berlari. Dan nggak tahu kenapa naluri gue mengatakan untuk mengikutinya. Meninggalkan Widya, Kak Re dan Bang Yudi dengan tanda tanya besar di kepala mereka bertiga pastinya, karena melihat gue terburu-buru pergi dari sana. *** Lujeng   Setelah membantu Ibu menyelesaikan pesanan kuenya, kuputuskan siang ini berjalan-jalan di Mal yang letaknya persis di depan alun-alun. Aku menaiki mobil daring menuju ke sini, karena sedang malas mengendarai motor sendiri. Kulangkahkan kaki mengelilingi Mal besar ini seorang diri. Di sebuah toko pakaian, aku tertarik dengan gaun simple berbahan sifon berfuring dan kuputuskan membelinya, meski harganya akan membuat Ibu geleng kepala jika mengetahuinya. Mendekati makan siang, perutku sudah membunyikan alarmnya untuk segera diisi. Kulangkahkan kaki menuju restoran yang menyediakan menu Jepang di gedung ini. Sudah terbayang enaknya irisan daging yang dicelupkan pada kuah panas membuat perutku kian terasa lapar. Di pintu masuk restoran, langkahku terhenti. Mataku memanas melihat dua sosok yang saat ini paling kubenci di dunia ini. Meski keduanya duduk memunggungiku namun aku bisa memastikan jika itu mereka. Dua orang yang telah mematahkan hatiku. Mas Bekti dan wanita itu. Aku berbalik, sedikit berlari mencari toilet terdekat. Karena setelah melihat kebersamaan mereka, pasti batinku akan menjerit disertai air mata yang menganak sungai. Ah, aku memang secengeng ini. Aku menangis di lorong, di antara toilet pria dan wanita. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatapku aneh. Hatiku masih ngilu mengingat mereka yang justru hidup bahagia, makan dengan enak di atas kesedihanku. "Mbak, Lujeng." Suara berat laki-laki yang cukup familier menyapaku. Aku mengangkat kepala, lalu pandangan kami bertemu. Dia, yang memperkenalkan diri sebagai Kaivan dengan tubuh menjulang berdiri tak jauh dariku. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Ka—kamu?” kataku terbata.Terkejut. Tentu saja. Segera kuhapus sisa-sisa cairan bening yang sempat membasahi pipi. "Mbak, kenapa nangis di sini? Mau pulang aja?" tanyanya cemas. Aku masih bergeming. Sejujurnya merasa malu karena terpergok sedang menangis olehnya. "Mbak, ayo gue antar pulang,” bujuknya lagi. "Bisa antar ke taman aja?" Kai mengangguk mantap. Dan dia berjalan lebih dulu, diikuti aku di belakangnya meninggalkan toilet yang jadi saksi bisu tangisku. Sebelum menuju ke taman, Kai mengajakku ke minimarket. Aku hanya mengikutinya saat tangannya dengan lincah memasukkan berbagai camilan, cokelat dan es krim ke dalam keranjang belanjaannya. "Itu nggak kebanyakan?" tanyaku memastikan. Takut laki-laki yang terpaut lima tahun dibawahku ini salah beli. "Nggak, Mbak." Setelah membayar seluruh belanjaan kami. Ralat ... dia maksudnya, kami menuju tempat yang kuinginkan. Aku sedikit kesusahan membawa belanjaan cukup banyak dengan menaiki motor besarnya. Suasana taman siang beranjak sore ini masih sepi pengunjung karena matahari yang masih cukup menyengat, begitu kami tiba. Kami memilih duduk di bangku taman di bawah pepohonan rindang. "Makan, Mbak. Cokelat dan es krim bikin mood kita membaik lho." "Masa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Demi menghargai usahanya yang mencoba menghiburku. "Iya dong." Kai membuka salah satu bungkusan cokelat lalu memberikannya padaku. "Nih, Mbak." Aku menerimanya,"thank's." Aku memakan cokelat pemberiannya, sedangkan dia hanya meminum softdrink. "Kamu kok tadi bisa tahu aku lagi di toilet?" tanyaku penasaran. Kai tidak langsung menjawab, laki-laki berpakaian casual dengan setelan celana jeans yang bolong di bagian lututnya, kaos dan jaket bomber itu terlihat berpikir. "Oh itu, gue nggak sengaja lihat Mbak Lujeng terburu-buru. Takut terjadi apa-apa, jadi gue ikutin. Eh nggak tahunya malah lagi nangis," jelasnya yang membuatku tersenyum. "Emang kamu lagi di mana?" "Lagi di ... oh, jalan-jalan aja si Mbak, niatnya mau nyari sepatu." Lalu kami terdiam. Menghabiskan makanan dan minuman kami. Aku sedikit bingung untuk menemukan bahan obrolan dengannya. Lalu dia yang lebih dulu membuka obrolan setelah menenggak habis minumannya. "Habis ini mau ke mana, Mbak?" "Pulang aja, Kai." "Nggak mau jalan-jalan dulu?" Aku berpikir sejenak lalu menggeleng. "Lain kali aja ya. Aku lagi nggak mood." "Oke. Kalau Mbak butuh ojek, gue siap nganterin." "Ntar pacar kamu marah lagi," godaku. Nggak mungkin juga cowok setampan Kai belum memiliki pacar, bukan? Kai tersenyum lebar. "Nggak punya pacar aku tuh, Mbak." "Iya, pacar nggak punya, tapi gebetan banyak. Iya, kan?" tembakku yang membuatnya tergelak.   Bersambung                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD