Shafira masih sibuk menutupi bagian tubuhnya yang dapat ia tutupi dengan selimut tebal, sementara Huria mendekatinya dan meletakkan sebuah nampan yang berisikan sarapan pagi untuk Shafira.
"Nona jangan takut, saya tidak akan menyakiti nona." ucap Huria pada Shafira.
"Maaf, bibi... apa aku boleh meminjam kamar mandinya? Aku ingin mandi," pinta Shafira bertutur kata dengan sopan kepada Huria yang hanyalah sebagai pelayan di kediaman Leo.
"Tentu saja boleh! Kamar mandinya ada di sebelah sana." kata Huria.
Shafira lantas turun dari ranjang berukuran king size itu dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia cepat-cepat menutup pintu kamar mandi dan menatap ke segala ruangan tersebut, melihat semua barang-barang yang pastinya milik seorang pria yang telah merenggut kehormatannya secara paksa semalam.
"Apa salahku? Kenapa aku harus mengalami begitu banyak cobaan di hidupku? Aku tidak mendapatkan kasih sayang dari keluargaku walaupun aku sudah bersusah payah melakukan yang terbaik, dan semalam aku harus kehilangan masa depanku... pria itu, bahkan aku tidak mengenalnya! hiks... hiks... hiks...." ucap Shafira menangisi dirinya sendiri yang begitu malang.
Gadis belia itu terus saja meneteskan air matanya ketika ia berada di bawah shower yang sedang mengalirkan air untuk membasahi dirinya. Pikirannya melayang seakan tak ingin lagi hidup lantaran telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Shafira melirik sebuah lemari kecil yang menempel di dinding ruangan. Ia mendekatinya dan membuka pintu lemari itu. Ia melihat ada beberapa pisau cukur baru milik Leo.
"Lebih baik aku mati saja... tidak akan ada satupun orang yang akan mencariku," gumam Shafira dalam hatinya merasa putus asa.
Shafira meraih pisau cukur tersebut dan dengan tangannya yang sedikit gemetaran ia mendekatkan pisau itu ke pergelangan tangannya.
"Ibu, sebenarnya aku sangat menyayangimu... tapi kau tidak pernah membiarkan aku mendekatimu, kau selalu saja menyayangi dan memanjakan kak Vani. Jika aku sama sekali tidak berguna, lebih baik aku pergi dari kehidupan ini." ucap Shafira dalam hatinya.
Shafira meneteskan air mata kesedihannya, lalu ia menyayat kulit pergelangan tangannya sehingga darah pun mulai menetes jatuh ke lantai kamar mandi. Shafira masih menangis merasakan pedihnya luka sayatan yang ia perbuat di pergelangan tangannya, namun pedih luka tersebut tidak begitu pedih bagaimana ia merasakan kehidupannya selama ini. Shafira terduduk di lantai dengan tubuhnya yang masih telanjang bulat. Ia bersandar pada dinding dan kian lama pandangannya mulai buram. Shafira memejamkan kedua matanya, sementara darah dari pergelangan tangannya terus menetes dan bercampur dengan air yang mengalir.
Huria masih menunggu Shafira di dalam kamar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka. Huria kembali melirik jam dinding yang berputar seolah menghitung waktu yang telah lama dihabiskan oleh seorang gadis belia yang berlama-lama di dalam kamar mandi itu.
"Kenapa gadis itu lama sekali? Tidak mungkin dia akan mandi selama ini... sudah hampir sejam dia di dalam sana." gumam Huria mulai merasakan kejanggalan.
Akhirnya, Huria memutuskan untuk
Tok... Tok... Tok....
"Nona, apa anda baik-baik saja di dalam?" tanya Huria.
Tidak ada jawaban sama sekali dari Shafira yang membuatnya semakin cemas.
"Ya Tuhan, kumohon... jangan sampai terjadi apapun pada gadis itu, tuan Leo pasti akan marah nanti." ucap Huria sedikit panik.
Huria terus saja mengetuk pintu kamar mandi itu sembari memanggil-manggil Shafira, namun tetap saja tidak ada sahutan dari dalam. Huria lantas memanggil beberapa pelayan lainnya untuk mendobrak pintu kamar mandi itu. Mereka pun berusaha untuk mendobraknya, hingga sampai akhirnya mereka berhasil membuka pintu itu lebar-lebar dan melihat Shafira sudah terbaring tak berdaya dengan pergelangan tangannya yang terluka.
"Cepat panggilkan dokter!" seru Huria pada pelayan lainnya.
Huria menepuk-nepuk pipi Shafira perlahan guna menyadarkannya, namun tak ada hasil karena Shafira sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Huria dan pelayan lain yang tinggal membalut tubuh Shafira yang telanjang dengan handuk. Mereka juga membalut luka sayatan di pergelangan tangan Shafira dengan kain tebal untuk menghambat keluarnya darah.
"Huria, kita harus menghubungi tuan muda," kata salah satu pelayan lainnya.
"Ya, kau benar!" sahut Huria.
"Kalian jaga dia... aku akan menghubungi tuan Leo," sambung Huria.
Leo yang berada di ruang kantornya, tampak duduk bersandar sembari menatap keluar jendela kaca. Tatapan matanya menyeluruh ke jalanan raya, namun pikirannya berpusat pada kejadian dimana ia kembali merasakan apa yang sudah terkubur sejak lama.
"Gadis itu... Shafira! Dia membuatku gila semalam!" gumam Leo dalam hatinya.
"Sebelumnya belum ada wanita manapun yang membuat aku merasakan gejolak yang luar biasa seperti semalam! Begitu banyak wanita yang sengaja aku biarkan untuk merayu dan menggodaku diatas ranjang, namun semuanya tak bisa membangkitkan gairahku, tapi gadis kecil itu... hanya dengan sentuhannya saja, aku...."
Kriing... Krriing...
Leo berhenti bergumam dan menoleh pada ponsel miliknya yang berdering.
"Halo?"
"Halo, tuan ...." ucap Huria.
"Ada apa, Huria?" tanya Leo begitu tanda akan suara pelayan setianya.
"Tu-tuan... ga-gadis itu...." Huria berbicara terbata-bata saking gugupnya.
"Ada apa? Katakan Huria!" pinta Leo tak sabaran.
"Gadis itu menyayat pergelangan tangannya sendiri di kamar mandi." ucap Huria.
Leo lantas kaget sekaligus panik mendengar apa yang baru saja Huria katakan mengenai Shafira.
"Apa kau sudah menghubungi dokter?" tanya Leo.
"Sudah, tuan... dokter masih dalam perjalanan menuju kesini," sahut Huria.
Tak ingin berlama-lama lagi, Leo lantas memutuskan sambungan telepon itu dan bergegas kembali kerumah. Setibanya dirumah, Leo berlari menaiki anak tangga menuju ke kamar utama dimana terlihat dokter sedang membalut tangan Shafira yang terluka dengan perban. Satu kantung berisikan darah pun tampak menggantung disisi kanan Shafira, namun saat itu Leo melihat kedua mata Shafira masih tertutup rapat.
"Ini resep obat yang harus diminum pasien." ucap Dokter pada Huria sembari memberikan secarik kertas padanya setelah selesai membalut luka di pergelangan tangan Shafira.
"Baik, dokter," sahut Huria.
"Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Leo.
"Tuan tidak perlu khawatir! Syukurlah luka sayatan di pergelangan tangannya tidak terlalu dalam dan tidak mengenai urat nadinya, dia pingsan karena tubuhnya banyak kehilangan darah, tapi saya sudah memberikan transfusi darah untuknya, saya akan datang lagi nanti untuk mengeceknya," kata Dokter profesional yang selalu menangani anggota keluarga Leo.
Setelah dokter pergi, Leo duduk di samping Shafira dan menatapnya sejenak, lalu ia memanggil asisten priabdinya, Reno.
"Reno, cari segala informasi mengenai Shafira!" perintah Leo pada Reno.
"Baik, tuan," sahut Reno kemudian bergegas melakukan apa yang diperintahkan majikannya.
Leo kembali menatap wajah Shafira yang masih belum sadarkan diri. Perlahan ia meraih wajah Shafira serta mengelusnya dengan lembut.
"Apapun yang kau lakukan, aku tidak akan pernah melepaskanmu!" ucap Leo.