Part 8

1075 Words
Di dalam kamarnya, Albian menatap ke atas. Matanya tidak bisa terpejam. Luka lama itu menganga kembali. Peristiwa shubuh saat itu. Tanpa bisa dicegah, air matanya mengalir. Albian menumpukan satu tangannya di atas kening. "Kakak merindukanmu, Jihan." Lirih Albian tercekat. "Ayah, aku merasa beban itu semakin berat. Aku merasa hidup ini tidak indah," lanjutnya masih berusaha untuk tidak menangis. Peristiwa enam tahun yang lalu... Terdengar suara batuk Jihan yang tidak berhenti. Cuaca cukup dingin karena hampir seharian hujan. Jadi hawa dingin masih menusuk ke dalam tulang. Albian dengan sabar dan penuh cinta mengusap punggung adiknya yang masih duduk di kelas enam sekolah dasar. "Jihan nafasnya sesak lagi, ayah." Panggil Albian kepada ayahnya yang sedang bersiap siap memakai baju dan akan membawa putrinya ke rumah sakit. "Sebentar, Albian. Ayah pakai baju dulu. Dia harus ke IGD untuk mendapatkan oksigen." Ibu Albian juga sedang memakaikan jaket kepada Jihan. Sedangkan Jehan masih terlelap. Ini masih dini hari jadi belum saatnya mereka bangun. Namun mendengar bunyi batuk Jihan yang tidak berhenti itu membuat satu keluarga sedikit panik. Ibu Albian menghampiri suaminya ke dalam kamar. "Ayah bawa ini, jadikan ini sebagai jaminan agar Jihan mendapatkan oksigen agar sesak nafasnya berhenti." Kata Ibu Abian memberikan cincin pernikahannya kepada suaminya. Hanya itu harta yang tersimpan malam ini. Mereka tidak punya uang tunai. Karena pekerjaan ayah Albian yang seorang tukang bangunan dan ibunya buruh cuci. Hanya mampu mempunyai uang untuk kebutuhan harian mereka saja. Bahkan untuk pengeluaran harian itu masih tergantung kepada ibu Albian. Karena ayahnya hanya menerima upah satu kali seminggu. Saat terima upahpun hutang sudah menunggu untuk dibayarkan. Sambil menghapus air matanya. Ayah Albian menerima cincin tersebut." Maafkan ayah ya, buk. Bahkan sudah belasan tahun kita berumah tangga belum mampu membahagiakan kalian berempat." "Sudah ayah, ayah tidak boleh berkata seperti itu." Kata Ibu Albian. "Ayah takut seandainya ajal menjemput ayah tapi kalian masih dalam keadaan kekurangan seperti ini." "Ayah!" Tegur ibu Albian." Ayah jangan ngomong yang tidak baik." Ayah Albian nampak terdiam sebentar." Jika kematian datang dan digantikan dengan kecukupan dan kelayakan hidup kamu dan anak anak. Ayah rela mengganti nyawa ayah hanya untuk kebahagian kalian." "Ayah apa apan,sih!" Tegas ibu Albian sedikit keras. "Cepat bawa anak kita ke rumah sakit. Nafas jihan semakin sesak." "Baiklah," dengan tergesa ayah Albian membawa Jihan ke rumah sakit di waktu shubuh hanya menggunakan sepeda. "Hati hati ayah, walau jalan cukup lengang di shubuh ini. Tapi penerangan masih minim." Ayah Albian membalikan badan sebentar menatap Albian dan ibunya yang sedang sedang berdiri di ambang pintu. "Jaga Albian dan Jehan ya, buk. Ayah titip mereka." Kata Ayah Albian dengan mata kosong. "Baik ayah," jawab istrinya. "Bian kamu jagain ibu dan Jehan. Ayah titip mereka ya, nak." Dengan mengangguk mantap Albian mengiyakan pesan ayahnya. Dan nyatanya itulah hari terakhir Albian melihat ayah dan adiknya. ** Sudah jam delapan pagi. Albian masih menunggu kepulangan ayah dan adiknya dari rumah sakit. Bahkan Albian sengaja meliburkan diri masuk sekolah karena masih belum dapat kabar apakah Jihan baik baik saja. "Ayah masih lama ya,buk? Biasanya hanya dua jam- an saja untuk pengasapan." Kata Albian sambil menolong ibunya mencuci piring. "Mungkin pasien IGD rame, nak. Kita tunggu sebentar lagi ya. Kalau masih belum pulang, baru kita ke rumah sakit. Tapi ibu pikir mungkin ayah menunggu toko mas buka dulu untuk biaya Jihan." Albian terdiam sedih. Mereka memang dikatakan hidup pas pasan. Untung rumah kecil ini peninggalan dari orangtua ibunya. Hanya saja bangunanya sudah tidak layak lagi. Rumah yang terbuat dari anyaman. Lantainya saja separuh masih pasir. Mereka tidak punya uang untuk merenovasi rumah mereka. Alas tidur saja, hanya Jihan dan Jehan yang tidur di kasur empuk. Itupun bekas dari majikan ibunya yang kasur mereka tidak terpakai lagi. Albian beserta ibu dan ayahnya hanya di tikar untuk tidur. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Ibunya makin bertambah gelisah, setiap lima menit sekali penglihatannya menghadap ke arah luar untuk melihat apakah suami dan anaknya sudah kembali. "Assalammualaikum," terdengar panggilan dari luar rumah. Bergegas Albian dan ibunya menghampiri siapa yang bertamu. Perasaan hati ibu Albian semakin tidak karuan karena yang datang adalah dua orang berpakaian polisi. "Apakah suamiku mencuri sesuatu?" Pikir ibu Albian. "Waalikum salam, kenapa pak?" Tanya Ibu Albian dengan suara kecemasan. "Apakah benar ini alamat bapak Aimul?" Tanya salah sati polisi kepada ibu Albian. "Benar, pak ."jawab ibu Albian cepat. "Apakah suami saya melakukan kesalahan? Apakah dia mencuri?" Tanya ibu Albian sangat cemas. "Ibu, sebaiknya ibuk ikut kami ke rumah sakit." Kata polisi itu. Tanpa pikir panjang Albian, ibu dan adiknya mengikuti apa yang diperintahkan. Dengan menggunakan mobil kepolisian. Mereka pergi ke tempat yang diminta. Makin lama, perasaan cemas ibu Albian yang berfikir suaminya telah melakukan sesuatu kejahatan berubah menjadi cemas saat polisi membawa mereka ke IGD. "Ibuk, kami menemukan jasad bapak dan anak di tempat kejadian kecelakaan." Kata Polisi itu sebelumnya. "Kami menemukan dompet dan KTP bapak di dekat kejadian tersebut. Kami ingin memastikan apakah beliau benar kerabat ibuk atau tidak." Ibu Albian tidak dapat berkata apapun. Seluruh badannya terasa lumpuh. Dia hanya mampu menangis. "Pergilah,Nak. Lihat, apakah itu ayah dan adikmu. Sungguh ibu tidak akan bisa melihat jika itu mereka." Kata Ibu Albian memintanya. Albian juga tidak bisa membendung airmatanya. Dia juga tidak kuat melihat siapa jasad di balik kain putih yang menutupi seluruh tubuh itu. Dengan pelan dan gemetar Albian membuka kain putih tersebut. "Ayahh!!!" Pekik Albian histeris. Yang Albian lihat adalah, kecelakaan tragis itu yang menyebabkan kematian kedua orang yang dicintainya. Ayah dan adiknya meninggal di tempat. Bahkan jasad mereka sangat mengerikan. Ayah Albian terluka dibagian kepala yang terbelah dua. Sehingga isi otaknya berserakan itu yang dikatakan polisi. Sedangkan Jihan yang terseret jauh dari lokasi awal. Membuat separuh wajah Jihan hancur. Bahkan saat Albian melihat jasad adiknya. Dia tidak yakin apakah mata kanan adiknya masih ada atau tidak. "Jihan!!" Teriak Albian memeluk tubuh kaku adik kesayangannya. Albian tidak berhenti menangis keras. Ibunya tidak kala histeris. Karena mendengar tangisan putranya. Maka dari itu, bisa dipastikan. Kedua mayat tersebut memanglah orang tercinta mereka. *** Albian menangis, meringkuk di dalam kamar. Dia tidak menyangka, ayah dan adiknya yang kala itu masih terlihat bugar. Harus menghadap Tuhan dalam keadaan paling mengerikan. "Kau pembunuh!! Aku membencimu Adhiti! Bahkan, sejak dulu aku sudah membencimu. Walau aku tidak pernah melihatmu. Orang yang telah membuat ayah dan adikku pergi. Tidak akan kumaafkan," lirih Albian. Pria itu masih tidak menyangka jika Adhiti lah tersangkanya. Dia juga tidak menyangka, mendekatinya, lalu mencintainya adalah salah satu rencana Adhiti. Karena rasa bersalah itu baru hadir di hatinya setelah enam tahun berlalu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD