02 | Pertemuan Pertama

2146 Words
Kesialan Beruntun Dongkol dari pucuk kepala hingga ke ujung kaki. Harus mendorong sepeda motor di pinggir jalan yang ramai dan berdebu, membuatnya berkeringat dan butuh kaca untuk melihat penampilannya. Ditrisya mengkhawatirkan riasan dan bau badannya. Sialan. Ditrisya yakin, beberapa meter ke depan pasti ada tukang tambal ban dengan antrean mengular. Benar tebakan Ditrisya, tak jauh dari sana ada bengkel servis motor. Beberapa motor mengantre untuk ditangani. Ditrisya melirik jam tangan, sudah jam lima sore, Ditrisya sudah terlambat. "Mas, motornya saya tinggal dulu ya, nanti saya ambil," ujar Ditrisya pada montir berbadan kecil dengan rambut kecokelatan akibat kebanyakan terpapar sinar matahari. Bukan hanya harus menyiapkan uang untuk ongkos tambal ban, Ditrisya juga harus mengeluarkan uang lebih untuk membayar tukang ojek. Setelah menawar setengah memaksa, abang tukang ojek akhirnya mau menurunkan tarif dua ribu rupiah saja. Mau tak mau Ditrisya tetap membayarnya. Ditrisya berdiri di depan sebuah kafe berdesain urban. Banyak anak muda di sana. Dari kendaraan di parkiran serta gadget yang mereka pegang, sepertinya kafe ini diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Pasti air putih saja bayar, pasti mahal. Ditrisya menggigit bibir ngeri membayangkan. Kemudian ia mengeluarkan ponsel, ingin mengirim pesan pada Pahala. Menanyakan apakah dia sudah tiba atau belum. Tapi sebelum Ditrisya sempat mengetikkan pesannya, rupanya Pahala sudah mengirimkan pesan lebih dulu. Dan seketika Ditrisya ingin membenturkan kepala setelah membaca pesan itu. Pahala: Sorry, tiba-tiba aku ada jamuan makan malam sama menteri pariwisata. Kita tidak bisa bertemu hari ini. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bahu Ditrisya melemas pasrah. Memangnya lebih menyebalkan apalagi dari sebuah janji yang tiba-tiba dibatalkan di menit-menit terakhir? Bahkan Ditrisya sudah berada di tempat itu setelah menghadapi sederet kesialan dan kerugian-ongkos ojek. Eh, tapi tunggu dulu. Pahala bilang dia ada jamuan dengan menteri pariwisata? Wah, bisnis perhotelannya pasti bukan bisnis kacangan. Tiga puluh persen bagian diri Ditrisya mengatakan agar jangan percaya, namun tujuh puluh persen cengar-cengir membayangkan betapa kaya rayanya dia. Ditrisya kembali lagi ke bengkel. Namun motornya belum juga dikerjakan, katanya ada masalah dengan mesin press tambal ban sehingga akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memperbaikinya. Montir itu memberi pilihan, Ditrisya bisa membawanya ke bengkel lain kalau tidak sabar. Saat Ditrisya tengah menimbang-nimbang keputusan, montir itu menambahkan, "Tapi masih jauh, Mbak. Di daerah sini ngaak ada bengkel lagi. Kalaupun ada, jam segini udah tutup. Rumah Mbak dimana?" Jauh. Dengus Ditrisya dalam hati. Ia teringat rendaman cucian yang harus segera dikucek sebelum membusuk dan pada akhirnya akan boros pewangi. Ditrisya akhirnya memilih meninggalkan motornya dan diambil lagi besok sepulang kerja. *** Dor! Dor! Dor! Suara gedoran pintu membuat sesuatu yang sudah hampir keluar, masuk kembali urung rilis ke lubang bumi. Ahyar mengacak rambut kesal lalu cebok dan menyiram kloset hingga jejaknya menghilang. Ahyar membuka pintu kamar mandi dan langsung berhadapan dengan Bos Bambang. "Enak banget lo nongkrong sendirian, tega biarin si Doni kerja sendirian. Sana bantuin, sebelum itu anak badannya makin mengecil!" seru Bos Bambang, pria tambun dengan kumis tebal di bawah lubang hidung. Perutnya yang buncit tumpah, membuatnya terlihat sedang memakai crop-top ala anak kota gaul. "Dari lahir Doni memang udah kecil." Bos Bambang menendang p****t Ahyar dari belakang. Ahyar mengendus sebal. Bengkel kecil-kecilan itu milik Bos Bambang. Duda beranak perawan baik hati yang sudah dianggap Kakak oleh Ahyar dan Doni, sebab dia enggan dianggap atasan. Tak seperti Bos pada umumnya, Bos Bambang terlalu baik hati. Ahyar dan Doni berdua diizinkan tinggal bersama di rumahnya. Gratis dan bebas melakukan apa saja. Kecuali menggoda anak perawannya. Ahyar tersenyum puas melihat banyaknya motor yang antre. Ia menepuk pundak Doni, sebelum ikut ambil tugas. "Lihat, bisnis itu butuh strategi," bisik Ahyar. Doni tersenyum bocah. "Abang yang terbaik dah. Besok kita beli lagi jeruk tiga kilo langsung." Ahyar beranjak menuju motor bebek yang awalnya pasti warna putih, tapi karena tebalnya debu yang menempel, warnanya kini jadi cenderung kelabu. Kalau bukan milik kuli proyek, ya milik anak sekolahan pemalas. Yang jelas itu bukan milik perempuan lajang yang tengah berkembang. "Don, ini orangnya yang mana?" tanyanya. "Tinggal dulu, Bang. Orangnya baru mau ambil besok." Doni ingat itu milik Mbak berbaju polkadot. Sebelum meninggalkan motor itu, Ahyar sempat melihat stiker lambang dolar di muka motor. Tiba-tiba, Ahyar jadi teringat Money Slave nya. Sejak membalas iya, semoga makam malammu menyenangkan, yang kemudian dibalas Ahyar kamu juga, dia belum membalas apa-apa lagi. Seandainya Bos Bambang tak mengancam mengusir jika Ahyar tetap pergi, saat ini Ahyar pasti sudah bisa melihat si b***k uang itu. *** Ditrisya berlarian keluar dari kantornya, pantofel butut berhak lima centimeter tidak terlalu menghambat langkahnya. Ia sedang dikejar waktu, Ditrisya tak mau terlambat datang menemui Pahala yang konon sibuk luar biasa. Pahala tidak bisa memastikan kapan lagi dia punya waktu luang. Jadi lebih baik mendadak, daripada menunggu lagi tanpa kepastian. Tanpa sempat ganti pakaian, apalagi dandan, Ditrisya harus siap bertemu dengan teman virtualnya itu dengan penampilan apa adanya. Ditrisya kemudian berbelok setelah menemukan tempat tujuannya. Kafe yang sama saat janjian kemarin. Melewati barisan motor yang terparkir, Ditrisya mundur dua langkah ke belakang. "Kayaknya kenal, deh." Gumamnya merasa mengenali motor bebek yang terparkir di parkir ujung. Jangan ingatkan bahwa pabrik memproduksi ratusan ribu unit motor berjenis sama, Ditrisya mengenali stiker lambang dollar yang sengaja ia tempel untuk memotovasi diri sendiri di bagian dashboard. "Ah, pasti cuma kebetulan," gumamnya lalu kembali berlarian masuk mengingat ia sudah terlambat beberapa menit. Ditrisya melihat ke sekeliling kafe yang ramai, mencari-cari pria berkemeja hitam. Ada beberapa pria berpakaian serupa yang ada disana. Namun kesemuanya duduk bersama pasangan atau rekan-rekan, hanya ada satu yang duduk sendirian. Dia tepat berada di sudut ruangan di dekat jendela kaca, kebetulan dalam posisi membelakanginya. Punggung pria itu nampak kokoh dan liat. Rambutnya rapi dan kulit tengkuknya bersih tanpa gurat daki. Ditrisya sengaja merapikan rambut pendeknya, menyelipkan sedikit ke balakang telinga. Ia gugup. Untuk pertama kalinya mereka akan melihat muka asli, meninggalkan nama samaran, dan berinteraksi secara nyata. Dengan hati berdebar, Ditrisya menghampirinya. "Ehm... permisi...," ucap Ditrisya, suaranya dibuat sehalus mungkin. Pria itu berbalik, wajah tampan serupa bintang iklan sabun pria tersuguh tepat di depan mata. Pria itu, Ahyar alias Pahala tersenyum padanya. Ditrisya mengerejap bodoh. "Pa... Pa... ha la?" Ahyar mengedip sekali, kemudian bangkit berdiri. "Money Slave?" Ditrisya malu-malu mengiyakan. Entah kenapa nama Money Slave tiba-tiba terdengar sangat konyol. Ahyar memindai seluruh tubuh Ditrisya. Dalam bayangannya, Money slave yang punya hobi belanja itu bukan seperti ini. Gadis ini pendek, ada sebiji jerawat di pipinya, rambutnya yang pendek hitam menandakan ia tak cukup rajin ke merawat kulit. Dan pakaian kerja yang dipakainya nampak sudah lama dan terlalu standar yakni kemeja dan celana bahan warna gelap. Ugh, gadis ini mengerjainya ternyata. Tapi tidak apa. Tipe gadis seperti ini biasanya punya simpanan banyak uang. Dia lugu dan mudah ditipu, ah maksudnya dipancing membuat kesempatan. Ahyar mengulum senyumnya makin lebar, sembari mengulurkan tangan. "Di dunia nyata kamu bisa memanggil saya Ahyar. Senang bertemu denganmu, Mbak..." "Ditrisya," sambungnya. "Ditrisya...," ulang Ahyar akan mengingat-ingat nama itu. "Nama yang cantik. Secantik orangnya." Ditrisya senyum malu-malu. "Terima kasih." Ahyar orang kedua setelah Ayahnya yang memujinya cantik. Ahyar tertawa pelan. "Mari duduk." Dengan gentle Ahyar menarik kursi untuk Ditrisya dan memastikan gadis itu duduk dengan nyaman. Ditrisya mengucapkan terima kasih, lalu Ahyar memanggil pelayan untuk mencatat pesanan. Ditrisya menelan ludah serat. Semua jenis makanan dan minuman yang ditawarkan tidak ada yang ramah di kantong. Bahkan air putih saja dibandrol rupiah. Ditrisya masih mencari mana yang paling murah, ketika Ahyar bertanya mau pesan apa. Barangkali Ahyar tak sabar lantaran menunggu Ditrisya terlalu lama. "Ehm... Di sini apa ya yang paling enak?" tanyanya jaga gengsi. "Yang akan saya pesan, itu yang paling enak menurutku. Kamu mau coba?" "Ya, boleh boleh." Ditrisya mengangguk canggung. Kemudian Ahyar mengulang pesanannya, setelah dicatat, pelayan itu permisi pergi. Pahala atau Ahyar ternyata lebih tampan dari bayangannya. Kantongnya pun terlihat tebal. Bisa lah buat sandaran hidup di masa depan. Ditrisya mengucap syukur akhirnya dipertemukan dengan pria impian. "Suka belanja dimana?" "Apa?" Ditrisya kehilangan fokus untuk beberapa saat. "Di profil kamu kan tertulis kalau kamu hobi belanja. Jadi, kamu biasa belanja dimana dan apa brand favorit kamu?" Jujur saja belanja adalah hal yang paling Ditrisya hindari. Ditrisya menulisnya hanya untuk menghibur diri sendiri. Tapi, kalau sudah terlanjur begini, mau bagaimana lagi? Lanjutkan saja sandiwaranya. "Oh, tergantung apa yang ingin saya beli. Kalau pakaian, kalau nggak di Paris ya Italy. Untuk kosmetik, aku biasa ke Korea. Tas dan sepatu biasanya di Paris juga. Tapi akhir-akhir ini saya lebih sering ke Hongkong dan London, sih." "Wow, menarik. Tapi sepertinya tidak ada yang kamu pakai hari ini, ya?" Sontak pandangan Ditrisya jatuh memandangi pakaiannya sendiri. Pakaian dari Paris? Hah, yang benar saja. "Iya, saya sengaja nggak memakainya karena kamu tahu kan, orang Indonesia kadang-kadang suka norak. Pakaian yang fashionable menurut mereka malah aneh. Lagipula pakaian-pakaian dari negara bersalju nggak cocok dipakai di Indonesia yang super panas. Bisa cepat rusak nanti. Jadi, yah, menyesuaikan tempat saja." Ahyar mengangguk-angguk berlagak mengerti sekaligus mempercayai. Padahal dalam hati pria itu tertawa terbahak-bahak. Jawaban Ditrisya semakin menunjukkan bahwa gadis itu mengada-ada. "Terus gimana dengan kamu," Ditrisya membalik situasi, agar ia tak dikuliti habis sehingga dosanya semakin banyak, seiring kebohongan yang ia buat. "Kegiatan apa yang sering kamu lakukan?" "Saya sebenarnya jarang punya waktu luang. Yah, seperti yang kamu tahu. Saya sangat sibuk." "Bukankah harusnya memang seperti itu? Laki-laki wajib sibuk. Dia harus banyak bekerja untuk mencari uang. Benar, kan?" Matrealistis. Ahyar langsung tahu gadis macam apa Ditrisya. Pantas saja. Benar-benar b***k uang. Tak lama, makanan yang mereka pesan datang. Ditrisya ternganga melihat sepotong daging bakar, disekitarnya ada segumpal kentang tumbuk dan sayuran rebus. Makanan itu nampak menggiurkan dengan saus kecokelatan yang mengkilat. "Steak wagyu, mereka menamainya itu." Ditrisya mengangkat wajah menatap Ahyar, Ahyar menambahkan kemudian. "Daging sapi terbaik yang diimpor langsung dari Jepang. Sapi ini diternakkan khusus sehingga dagingnya empuk dan nikmat. Percaya deh ini salah satu daging sapi terbaik di dunia." "Ah, begitu ya." Ditrisya kehilangan kata-kata. Daging terbaik di dunia? Mari kita coba, rasa sebanding tidak dengan harganya. "Ayo makan, saya jamin kamu pasti suka." Daging apa ini? Tidak enak. Ini yang dimaksud daging terbaik di seluruh dunia? Lebih enak juga sate kelinci. Batin Ditrisya terus mengoceh selagi gadis itu menyuapkan potongan-potongan daging ke dalam mulutnya. Tanpa terasa makanan tidak enak itu sudah habis. Hanya numpang lewat biar sampai ke lambung. Tidak menyisakan jejak di lidah dan hanya kenyang di perut. Benar, bukan? Ditrisya tidak cocok makan makanan mahal. "Makan malam yang menyenangkan. Tapi sayangnya, saya masih ada janji lain." Ahyar seolah-olah sayang berpisah. "Jadi, pertemuan kita berakhir di sini." "Ah, kebetulan saya juga harus pergi ke suatu tempat." "Kita bisa pergi sama-sama. Saya bisa mengantar, kalau kamu tidak keberatan." Sementara di dalam hatinya Ahyar berani bertaruh Ditrisya pasti menolak tawarannya. "Tidak perlu. Saya nggak mau merepotkan kamu." Mereka berasa basi penuh kebohongan. Sampai Ahyar meminta bill pembayaran dan pria itu berlagak kehilangan sesuatu. "Ada apa?" "Sepertinya dompet saya ketinggalan di kantor." "Keting... ga... lan?" Sudah bisa ditebak bagaimana ujungnya. Ditrisya terpaksa yang harus membayar semua makanan ini. Tidak tanggung-tanggung, kasir menggesek nyaris satu juta dari kartu debit yang hanya dia jaga pemakaiannya untuk keperluan tarik tunai sebulan sekali itu, dia keluarkan hanya untuk dua porsi makanan dan minuman. Astaga, sulit dipercaya. "Sekali lagi saya minta maaf. Nanti kamu kirimkan saja nomor rekening yang bisa saya transfer." "Nggak perlu diganti." Ditrisya berteriak tak rela dalam hati. Tapi bagaimana lagi? Dihadapan pria high class seperti Ahyar ini, menjaga gengsi itu perlu. Ahyar juga harus tahu bahwa dirinya bukan orang miskin. Meski ini mungkin jadi pertemuan terakhir, setidaknya Ditrisnya punya kesan baik di mata Ahyar. "Kamu baik sekali, Ditrisya, kita harus bertemu lain kali. Saya yang traktir." "Ya, itu gampang." Ahyar berlari kecil ke pinggir jalan raya, menghentikan sebuah taksi kosong yang kebetulan melintas. Mau tak mau, Ditrisya masuk lantaran Ahyar sudah terlanjur membukakan pintu untuknya. Menolak pun Ditrisya malu. Ahyar melambai padanya, Ditrisya membalas kaku. Setelah taksi semakin menjauh, Ditrisya menghela nafas panjang. Sial. Ditrisya kapok. Spertinya ini akan membuatnya trauma untuk kopi darat lagi. Ditrisya tidak mengerti kenapa untuk seporsi makanan saja mereka rela mengeluarkan uang banyak, dan jahat sekali pemilik usaha yang menetapkan harga itu. Tidak ada lagi lain kali, cukup ini yang terakhir. Saat matanya tanpa sengaja melirik pada argo yang terus berjalan. Sontak gadis itu panik menyuruh supir berhenti. "Turun di sini saja, Pak." Ditrisya memilih melanjutkan perjalanan dengan moda trasportasi yang lebih bersahabat. "Pak, nggak bisa kurang ya?" Pak supir melirik Ditrisya tajam. "Mbak coba tawar angkot, bisa tidak?" Mungkin bapak itu lelah. Jadi mudah marah. "Kalau nggak punya uang, ya jangan naik taksi. Emang beli kaus kutang bisa ditawar-tawar?" "Iya iya iya, ini saya bayar." Ditrisya segera mengeluarkan uang sambil bersunggut-sunggut sebal. "Kutang istrinya kendor, ya, pak? Astaga, Bapak ini pemarah sekali." Tanpa saling mengucapkan terima kasih, Ditrisya langsung keluar. Ditrisya ingat. Hari ini ia harus mengambil motornya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD