23 | Apple and Pear Should Not Be Compare

1944 Words
Ditrisya tidak yakin apa yang ada di pikirannya saat mengatakan satu kalimat provokatif itu, tak heran jika Ahyar menggodanya habis-habisan hingga Ditrisya tersandung saat mau pulang. Ahyar bersikeras ingin mengantarnya pulang, tetapi Ditrisya lebih keras lagi melarang. Gila saja, Ahyar baru saja melewati hari panjang yang melelahkan, mana mungkin Ditrisya tega merampas jam istirahatnya. Jujur saja, mendengar langsung seseorang membentak Ahyar dan menggilnya dengan sebutan berkonotasi buruk membuat Ditrisya cemas, ia pun merasa harus melihat Ahyar hari itu. Ia tidak masalah harus menunggu berjam-jam, sebelum memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Ahyar baik-baik saja. Ditrisya masih mencari hal-hal dari Ahyar yang bisa ia benci. Namun, semakin Ditrisya berusaha mengenali Ahyar, semakin Ditrisya tahu kalau lelaki itu punya jiwa besar dibalik segala keisengan yang mengesankan dia tidak bisa serius. Dan bagaimana Ahyar menceritakan rencana-rencana bisnisnya, dia tampak sangat seksi. "Mau ke mana, sih? Gue males, tahu." Ditrisya menggaruk belakang kepala, berlagak tidak siap diajak pergi oleh Ahyar malam ini. Padahal, ia sudah bersiap-siap dengan dandanan sengaja dibuat asal-asalan sejak sejam lalu. Ditrisya hanya tidak ingin memperlihatkan terang-terangan antusiasmenya diajak pergi oleh Ahyar. Tak sembarang pergi, Ahyar mengajaknya ke pesta penyambutan temannya yang baru kembali dari luar negeri. Ditrisya tidak bisa mencegah diri untuk tidak besar kepala, merasa Ahyar menganggap dirinya spesial. "Rapi amat, bukannya cuma makan-makan biasa?" Ditrisya mengomentasi pakaian Ahyar. Ahyar mengenakan celana panjang warna khaki dan kemeja tanpa kerah yang bagian lengannya digulung sejengkal dibawah siku. Sedangkan Ditrisya, tentu saja setia dengan celana jeans andalan dan kaos polos sedikit lebih besar dari ukuran badannya. "Duh, males banget mesti ganti baju," keluhnya, padahal dalam hati tidak keberatan seandainya Ahyar meminta. "Nggak usah ganti. Aku lebih senang lihat kamu pakai baju kayak gitu daripada dress pink-pink yang kamu pakai waktu mau blind date." "Dress itu mahal, tahu." Gampang sekali Ahyar bilang tidak suka, sedangkan alasan Ditrisya memilihnya sambil memikirkan dirinya. *** Tak sampai setengah jam, mereka telah sampai di tempat tujuan. Di sebuah restoran yang dituju. Melihat bangunan restoran, Ditrisya sedikit ciut. "Ini beneran kita tinggal duduk dan makan, kan? Nggak usah bayar," bisiknya. "Astaga, sadar, nggak? Ini ketiga kalinya kamu tahu itu. "Ya, gue, kan, nggak mau rugi. Udah beli bunga, masa masih harus bayar makanan juga." Ditrisya malu datang bawa tangan kosong, terlebih makan malam ini bertujuan untuk memberi selamat. Buah tangan paling aman dan sopan tentu saja sebuket bunga meski pada awalnya Ahyar kekeh bilang mereka tidak perlu bawa apa-apa. "Siapa suruh beli." Ditrisya mencibikkan bibir sebal. "Hei, Yar, baru sampai juga?" Keduanya menoleh begitu mendengar suara Sisil dari arah belakang, mereka masih di bagian depan restoran. "Oh, hai, ada kamu juga." Ditrisya menjawab sapaan Sisil dengan senyuman. Sisil bercakap-cakap dengan Ahyar sembari berjalan masuk, sementara Ditrisya mengikuti di belakang mereka. Melihat mereka dari belakang, mereka tampak serasi. Ditambah dengan gestur tubuh santai, mungkin saking akrabnya karena sudah mengenal lama. "Sisil, Ahyar!" Mereka sedang membalas sambutan pelayan restoran yang berjaga di depan pintu, ketika seseorang menyerukan nama Ahyar dan Sisil. Sejurus kemudian seorang gadis bergaun pastel dengan potongan asimetris muncul di depan mereka. Sisil menyambut dia dengan heboh, selayaknya teman lama yang baru ada kesempatan bertemu kembali. Gadis itu memelun Sisil dan Ahyar bergantian. "Tolong bawain sekalian, ya." "Eh?" Ditrisya terkesiap saat gadis itu mengulurkan paper bag dari tangan kirinya pada Ditrisya. "Minta tolong sekalian bawain, Mbak. Asistennya Sisil, kan?" "Dia datang bareng gue." Tangan kanan Ditrisya yang terbebas seketika hangat saat tangan Ahyar mengenggamnya. "Ups ..., pacar lo, Yar?" Tanpa sadar Ditrisya meremas tangan Ahyar tak nyaman saat gadis itu menatap Ditrisya dari wajah turun ke kaki, seolah-olah sedang menilai. "Maaf. Gue kira asistennya Sisil. Habisnya ..., ehm, casual banget style-nya." "Rin, lo nih ada-ada aja, sejak kapan gue punya asisten," sahut Sisil. "Maaf ya, Ditrisya." Ditrisya menggeleng ringan. "Nggak apa-apa. Saya Ditrisya." Ditrisya melepaskan tangannya dari genggaman Ahyar untuk diulurkan mengajak gadis itu kenalan. "Karina." Gadis itu menempelkan tangannya seperkian detik lalu berpaling pada Sisil. "Yuk," ajak Ahyar menggandeng tangannya, mengikuti pelayan yang mengantar mereka ke meja yang telah dipesan. Ahyar langsung sibuk menyapa teman-temannya, sementara tubuh Ditrisya menegang saat tahu kalau ini bukan acara makan-makan biasa. Ia sungguh ingin balik badan dan pulang. Dengan penampilan seperti ini, bisa jadi ada Karina lain yang mengira ia asistennya Sisil. Pakaian Ditrisya lebih cocok dipakai makan malam di pecel lele di warung angkringan, alih-alih makan di restoran. "Kita pikir lo nggak jadi datang, Yar. Ayo, duduk." "Yang punya acara belum datang?" tanya Ahyar. "Masih di jalan. Kan kita kumpul biar dia surprise." Ahyar mengangguk mengerti. Sebelum duduk, Ahyar merangkul Ditrisya. Seketika perhatian sepenuhnya tertuju pada Ditrisya, tidak lagi terbagi dengan Ahyar, Sisil, dan Karina yang datang bersamaan. Ahyar memperkenalkan Ditrisya sebagai teman dekatnya, lalu menarikkan kursi untuk Ditrisya duduki. *** Pemilik acara ini namanya Sandra. Bagaimana Ditrisya harus menggambarkannya? Kesan pertama yang Ditrisya tangkap dari sosoknya adalah keanggunan. Bukan hanya cantik wajahnya, tutur kata dan sikapnya juga sangat menyenangkan jika dibandingkan dengan cara Karina menatapnya. Pun saat Ditrisya memberikan bunga yang dibawanya, dia mengucapkan terima kasih dan memuji kalau dia sangat menyukai bunganya. Meski buket bunga itu hanya terdiri dari bunga-bunga lokal. Sejak Sandra datang, obrolan hanya berpusat pada kehidupannya selama menimba ilmu dan rencanan karir sepulang dari negeri Ratu Elizabeth. Ditrisya melirik Ahyar, entah apa ini hanya perasaannya saja, Ahyar tampak tidak terlalu nyaman berada di sini. Dia lebih sering hanya ikut tertawa saat ada yang melempar lelucon, atau sesekali berbisik memgajak Ditrisya bicara. Barangkali dia sadar Ditrisya sedari tadi seperti terjebak di dimensi lain. Ditrisya merasa seperti si hitam di antara para putih. Meski hanya setitik, dari kejauhan sudah kentara bedanya. Bagaimana Ditrisya tidak merasa terjebak di dimensi lain jika hanya ia satu-satunya yang memakai kaos oblong di sini? Ia bersumpah akan menendang Ahyar karena tidak memberitahu kalau ini bukan makan-makan biasa. Atau, memang beginikah biasa-biasa bagi mereka? Jika iya, maka tidak heran kenapa Ahyar tidak bisa menabung. Seluruh uangnya pasti habis untuk memenuhi tuntutan gaya hidup. Mirisnya, gaya hidup itu tidak diimbangi dengan usaha meningkatkan sumber pemasukan. Ditrisya memakan makanan asing ini tanpa minat. Rasa makanannya jelas sangat enak, terlebih ia tahu ini gratis. Ditrisya hanya merasa ia tak seharusnya berada di sini. Ditrisya sama sekali tak mengerti obloran yang saling bersahutan di sekitarnya. Lantaran tak mau dianggap sok kenal, Ditrisya memilih diam. "Ditrisya, makanannya nggak enak, ya? Jangan sungkan kalau mau ganti menu lain." Ditrisya terperanjat mendengar namanya tiba-tiba disebut oleh Sandra, cepat-cepat ia menggeleng. "Enggak, ini enak banget." "Oh, syukurlah. Aku lihat dari tadi kamu cuma diam aja." Ditrisya melirik sekitarnya kikuk, pasalnya perhatian beberapa pasang mata kini hati ditujukan padanya. "Ehm nggak apa-apa." "Ditrisya kayaknya pendiam ya, orangnya?" Karina menyahuti. "Ah, nggak juga. Wajar lah, dia diam, dia mungkin nggak ngerti yang kita omongin. Makanya kita bahas yang lagi ramai aja," Sisil menimpali. " Sebelumnya kami pernah makan bareng sama Ahyar juga, dia sangat menyenangkan." "Oh, ya? Ahyar udah ngenalin duluan dia ke lo?" "Lebih tepatnya nggak sengaja ketemu, jadi mau nggak mau kenalan. Kalian tahu, nggak, Ditrisya lho orang yang bikin Ahyar nekat bikin bisnis." Sahutan-sahutan tak percaya dan kagum ditujukan pada Ditrisya. Ditrisya menggerak-gerakkan tangan, berusaha menepisnya. "Enggak, enggak. Itu karena niatan Ahyar sendiri." "Nggak perlu merendah begitu, Di, Ahyar sendiri yang bilang ke aku. Kalau nggak percaya, tanya aja sama orangnya. Ditrisya, pokoknya aku salut banget. Kamu hebat banget bisa bikin Ahyar berubah." "Kalau dilihat-lihat, Ahyar juga udah nggak pernah lagi ngajak kita nongkrong, terakhir diajak juga nolak. Sekarang juga auranya lebih kalem. Lo beneran tobat apa gimana, Bro?" "Ahyar, kan, sekarang kerja di tempatnya Sisil. Iya, kan, Sisil. Waktu gue tahu, gue bener-bener nggak nyangka." Sisil menegakkan punggung dari sandaran. "Iya, dong. Semua itu nggak lepas dari pengaruh orang terdekatnya. Lihat aja Ditrisya, anaknya sederhana begitu, kayak nggak neko-neko." "Iya, sih. Cewek Ahyar sebelum-sebelumnya beda banget sama yang ini." "Iya, kan? Gue yang tiap hari ketemu, lihat sendiri perubahan-perubahan Ahyar." "Wah, hebat juga, ya." "Banget." Sisil mengacungkan dua jempol. Ditrisya meringis kecil, tidak tahu harus merespon bagaimana. Ini sangat aneh, Sisil bahkan tapi tidak tersenyum saat bertemu di restoran tadi. "Kamu mau bisnis, Yar?" suara halus Sandra turut menimbrung. "Bisnis apa?" Ahyar menyelesaikan kunyahannya sebelum menjawab, "bisnis kaki lima. Nggak level lah diomongin sama kalian." "Semua bisnis besar diawali dari bisnis kecil." "Hmm, ya." Mendapat tanggapan dingin Ahyar, Sandra beralih pada Ditrisya. "Kamu pasti sangat berarti buat Ahyar." "Ah, aku... sebenarnya nggak melakukan apa-apa buat Ahyar." Ditrisya mencolek paha Ahyar, bermaksud minta pertolongan. Sungguh tidak nyaman dibuat melayang dengan pujian-pujian. "Ditrisya memang cewek luar biasa." "Ahyar..." Ditrisya berdesis, dibawah meja mencubit paha Ahyar sekeras mungkin, barangkali lelaki itu tidak sadar apa yang dikatakannya barusan. Ahyar merespon cubitan Ditrisya dengan mengenggam tangan itu dan terang-terangan menariknya lembut ke pangkuannya sehingga semua orang bisa melihat. "Oke, guys. Kita biarin Ahyar bahagia sama cewek barunya. Kita nggak harus ngomongin orang lain, di saat kita kumpul di sini buat Sandra, kan?" ujar Karina, si koordinator surprise dinner ini. "Nggak apa-apa, kok," ujar Sandra malah menatap antusias pada Ditrisya dan Ahyar. "Kalian berapa lama pacarannya?" "Kami nggak pacaran--" "Kami nggak ada pacar-pacaran," potong Ahyar, menggagalkan usaha Ditrisya menjelaskan. "Tapi kami dalam hubungan sama-sama mau terus bersama. Gue nggak akan larang Ditrisya seandainya dia menyerah karena gue miskin dan nggak punya apa-apa." Tatapan Sandra kini hanya lurus pada Ahyar, pun dengan Ahyar. "Wow, aku ikut senang. Selamat buat kalian berdua." "Tunggu, apa lo mau bilang Sandra putusin lo karena lo miskin dan nggak punya apa-apa," tanya Karina yang membuat suasana seketika makin hening. Dirtrisya menatap Ahyar bingung, lelaki itu tampak sangat tenang menjawab Karina. "Lo sendiri yang ngomong itu barusan." "Gue ngomong dari pernyataan lo yang muter-muter." "Risa, jangan dilanjut." Sandra memperingatkan Risa. "Kenapa, San? Kita perjelas aja." Ditrisya semakin tidak mengerti dengan alur pembicaraan ini. Jika ditarik benang merahnya, Ahyar dan Sandra adalah mantan pacar, mereka putus karena satu masalah yang belum selesai. Begitu kah? "Masalah sebenarnya dimana,Ris? Sandra sendiri santai. Semua masih baik-baik aja, sampai lo nuntut gue memperjelas sesuatu yang udah selesai." "Risa," Sandra berdesis mengingatkan untuk kedua kalinya. Sandra berdecak, seolah kesl kenapa hanya dirinya yang disuruh diam. "Dia nggak bisa datang-datang cuma buat membandingkan lo sama pacar barunya. Apa maksudnya coba? Sekalian aja nggak usah datang." Ditrisya mengerejap cepat, apa yang sedang disinggung ini adalah dirinya? Saat Sisil menggunggung nama Ditrisya ke langit, hal ini sama sekali tidak ada dalam daftar kecemasannya. "Masih mending kalau yang dibandingin itu lebih baik dari lo, ini malah ..." Risa sengaja menggantungkan dengusannya dengan lirikan merendahkan pada Ditrisya. Oke, ini keterlaluan. Ditrisya menegakkan badan, merasa tidak bisa tinggal diam. Ditrisya baru membuka mulut, ketika suara Ahyar terdengar mendesis, "sebelum lo makin kelewatan, gue minta berhenti sekarang." Risa memutar bola mata dengan tawa sumbang. "Kenapa? Lo takut mengakui kalau selera lo downgrade?" Ehem! Sisil berdehem, dia tampak menikmati ketegangan di sekitarnya. Dalam pikirnya, akhirnya ada yang berpandangan sama dengannya. Sebagai sahabat baik Sandra, pastinya Risa tidak terima Sandra disandingkan dengan Ditrisya yang tidak lebih cantik dan berkelas dari Sandra. "Tunggu dulu, aku bingung..." Ditrisya mengangkat tangan seperti anak sekolah menginterupsi gurunya, sebelah tangannya yang lain ia pikir sebentar lagi akan remuk dalam genggaman Ahyar yang kini lebih cocok disebut remasan emosi. Ditrisya menatap Ahyar dengan kedua mata bulatnya berkedip berlagak polos. "Aku, kan, bukan buah. Sejak kapan manusia ada grade-nya?" Remasan Ahyar di tangan Ditrisya sedikit mengendur dan bara emosi di matanya meredup. Ditrisya juga bisa lihat sebelah sudut bibir lelaki itu berkedut. "Coba kamu tanya sama orangnya." Pertanyaan Ditrisya labtas ditujukan pada Risa. "Mbak Risa grade berapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD