10 | Menginginkan Sesuatu yang Tak Ditakdirkan

1786 Words
Malam sebelumnya. Ahyar bingung ketika hampir tiba di kost, warga sekitar ramai keluar ke jalanan dengan pakaian siap tidur. Suara kelontangan skuternya membuat orang-orang minggir dengan sendirinya. Bahkan penghuni kosnya ada yang masih bergerombol di lantai bawah kos-kosan dua lantai itu, padahal mereka jarang bertegur sapa karena kebanyakan sibuk di luar dan pulang hanya untuk istirahat. Kebanyakan penghuninya adalah karyawan kantoran, makanya Ahyar sering kelayapan agar terlihat sama sibuknya dengan mereka. Ahyar langsung memarkirkan skuternya di bawah kanopi parkir kost, ia lalu mendekat ke tiga orang penghuni kost yang bergerombol itu sambil menenteng tas isi makanan pemberian Ibu Ditrusya yang tidak sabar ingin ia makan begitu tiba di kamar nanti. "Eh, Mas Ahyar baru balik? Dari mana nih, rapi amat pakai batik," sapa Mbak Rusty, tetangga persis di sebelah kamar Ahyar. "Ada acara keluarga, ya?" "Abis ada acara aja." Jelas tidak tepat mengiyakan tebakan Mbak Rusty, sebab keluarga Ditrisya bukan keluarganya. "Ada apaan nih, Mbak? Tumben ramai banget," tanyanya. "Wah, Mas Ahyar ketinggalan ramai-ramainya, nih. Tadi itu baru sampai heboh banget." "Ada maling ketangkep, ya?" tebak Ahyar. "Tadi kayaknya ada mobil polisi juga tuh di depan." "Lebih parah dari maling ini, Mas," jawab lelaki di sebelah Mbak Rusty yang tidak Ahyar ketahui namanya, mereka hanya pernah sekali papasan dan tidak saling menyapa. "Nggak tahu ini dibilangnya apa, ya? Pembunuhan campur penelantaran anak kali, ya?" "Nggak bisa dibilang pembunuhan juga. Kayaknya pas ditinggal, bayi itu masih hidup, tapi keduluan anjing yang nemu." "Tetap aja. Orang waras pasti bisa mikir, bayi ditinggal begitu aja di pinggir jalan kan bahaya. Iya kalau ada yang langsung nemu, kalau enggak ya mati lah bayinya." Deg! "Kalau memang si Ibu niat bunuh, pasti dia nggak nunggu sembilan bulan dan lahirin dulu. Dia pasti udah aborsi kalau nggak mau anaknya hidup. Atau kalau memang sengaja ingin mati, harusnya jasadnya dihilangin biar nggak ada yang nemu. Bukannya sengaja di tinggal di lingkungan perumahan begini," sahut Mbak Rusty, kemudian beralih menjawab tanya Ahyar, "tadi, tuh, ada bayi dibuang di depan rumah yang pagar biru itu lho, Mas Ahyar, tapi pas ditemuin, kondisi bayinya udah luka-luka kayak habis dicabik-cabik anjing. Ngeri banget pokoknya, Mas. Saya tadi sempat lihat dan sampai sekarang masih merinding. Tuh, lihat." Mbak Rusty menyodorkan lengannya, bermaksud menunjukkan bulu halusnya menegang, yang sama sekali tidak Ahyar lirik. Ahyar tidak sadar kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, jantungnya berdetak kencang. Mati-matian lelaki itu mengendalikan emosi. Ia sedih dan marah untuk si bayi malang, hanya karena kelahiran mereka sama-sama tidak diinginkan. Entah Ahyar atau bayi itu yang lebih beruntung, dengan mati tanpa sempat merasakan beratnya memikul hidup sendirian. Pikiran Ahyar kosong, obrolan di depannya seperti suara ngiungan nyamuk. Sewaktu Ahyar ulang tahun ke 15, Ibu pengasuh panti mengajaknya bicara empat mata. Beliau menceritakan bagaimana Ahyar bisa berakhir di tempat panti asuhan ini, meski sebenarnya ia sudah tahu. Mereka yang ada di panti asuhan ini, pasti lah anak-anak terbuang. Hanya segelintir yang masih punya kenangan indah terhadap orangtua mereka, seperti anak yatim piatu yang ditinggal meninggal mendadak. Persis seperti yang selama itu Ahyar duga. Ia ditinggalkan orangtua kandungnya di suatu tempat, lalu ditemukan orang lain, dan akhirnya dirawat di sini. Sekitar umur delapan tahun Ahyar berhenti bermimpi suatu hari akan ada orangtua yang mengaku sebagai orangtua kandungnya, lalu ia bisa tumbuh dalam sebuah keluarga ideal seperti anak-anak lainnya. Bu Panti menjelaskan segala alasan baik, menasehati agar Ahyar tidak membenci orangtua kandungnya, dan mendoakan mereka. "Berdoa untuk apa?" tanya Ahyar benar-benar tidak tahu. Saat pelajaran agama di SD dan guru menyuruh murid-muridnya hafalan doa untuk orangtua, Ahyar mendapat nilai jeblok hanya karena sengaja tidak mau menghafalnya. Otak polosnya hanya berpikir, untuk apa ia mempelajari sesuatu yang tidak akan pernah ia praktekkan. Bu Dini menatapnya sendu, tangan gempalnya sama sekali tidak dilepaskan mengenggan tangan Ahyar. "Gimana pun juga, mereka yang membawa kamu lahir ke dunia sehingga kamu bisa ketemu sama Ibu, main sama teman-temanmu, makan rendang daging kesukaan--" "Tapi aku nggak minta," lirih Ahyar, untuk pertama kalinya selama 15 tahun hidup, ia menangis di depan orang lain untuk alasan selain luka fisik sepeti jatuh saat main bola. "Lahir. Aku nggak minta dilahirkan ke dunia." "Ahyar ..., situasi orangtua kamu saat itu pasti nggak memungkinkan buat merawat kamu, makanya kamu tetap dilahirkan." "Situasi apa, Bu?" Ahyar tumbuh remaja sambil memikirkan segala kemungkinan. "Karena miskin atau karena malu aku ini anak haram?" "Ahyar!" tegur Bu Dini tegas. "Nggak ada seorang pun yang boleh disebut anak haram, tidak ada istilah anak haram. Jangan pernah sekali-kali kamu berpikir kamu itu anak haram." Ada pertentangan dalam batin Ahyar, ia menolak setuju, tetapi juga menolak mengakui bahwa dirinya serendah itu. "Ahyar, tindakan orangtua kamu memang sangat tidak bertanggung jawab dan tidak terpuji. Kamu sebagai anak mereka, hanya perlu melanjutkan kehidupan kamu dengan baik. Jangan membenci mereka berlebihan yang akhirnya membuat kamu benci sama diri kamu sendiri." "Kamu masih menganggap kalau kelahiran kamu nggak mereka inginkan?" Kepala Ahyar mengangguk sekali. Ahyar menahan suara isakan tangis hingga dadanya sesak. Ia menghapus air matanya dengan lengan jaket bekas pakai yang ia dapat dari sumbangan donatur. "Baiklah, mari anggap kelahiran kamu memang tidak diinginkan." Ahyar menatap Bu Dini kaget, bukankah Bu Dini seharusnya berusaha meninggikan perasaan Ahyar? Bu Dini berkata lagi, "sayangnya kamu sudah terlanjur lahir. Daripada kamu menyesali apa yang sudah terjadi, apalagi itu sama sekali bukan kesalahan kamu, satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan sekarang adalah menjalani hidup ini seperti yang kamu inginkan." "Aku nggak tahu apa yang aku inginkan." Bu Dini tersenyum lembut. "Kamu hanya perlu membuat diri kamu bahagia, Ahyar." Bu Dini kemudian memberi Ahyar selembar foto dimana ada seorang bayi pucat dibungkus bedong kain warna biru. Di bagian pojok bawah tertera tanggal yang selama ini ia tuliskan di kolom tanggal lahir. Jelas-jelas itu bukan bayi tikus, bagaimana bisa seseorang tega meninggalkannya di emperan toko. Jelas-jelas, bayi itu adalah Ahyar Pahala. Jentikan jari Mbak Rusty di depan wajahnya, menyentak Ahyar kembali ke masa sekarang. "Kenapa kamu? Cuma denger aja ikut ngeri, ya?" Ahyar mengerejapkan mata. "Hmm... ya...." "Kasus gini tuh bikin miris nggak, sih? Di luar sana banyak yang rela bayar ratusan juta buat progam bayi tabung, eh ada yang buang bayi segampang pas bikinnya. Ini nih, akibatnya kalau iklan k****m dilarang ditayangkan di TV." "n***e tapi nggak ngotak, sekalian minta kurung di kebun binatang aja lah. Sama-sama binatang." "Hei, siapa tahu ada alasan lain. Kita nggak tahu, kan, apa yang orang itu hadapi," Mbak Rusty menengahi. "Halah, alasan apa sih, Mbak. Kasus pembuangan bayi, alasannya rata-rata kalau nggak hamil di luar nikah, ya hasil perselingkuhan. Semiskin-miskinnya orang, kalau dia punya hati nurani, dia nggak akan tega buang darah dagingnya sendiri." "Neh, bener, tuh. Di kampung bokap, banyak yang punya anak lebih dari empat, padahal melarat. Mereka percaya kalau setiap anak punya rejekinya sendiri-sendiri." "Makanya. Bullshit lah, kalau ada yang pakai alasan ekonomi buat nelantatin anak." "Ya, ada benernya juga, sih, yang kalian bilang. Menurut kamu gimana, Yar?" Ahyar menarik sebelah sudut bibirnya. "Nggak tahu." *** Sepi adalah yang menyapa Ahyar ketika masuk ke dalam kamar kosnya. Kata itu kini tidak hanya ia gunakan untuk menggambarkan suasana, melainkan juga perasaan. Rasanya sudah sangat lama Ahyar tiba di rumah, lalu membuka pintu tanpa ada yang menyambut. Ahyar lepas dari tanggung jawab panti asuhan saat ia mendapatkan KTP-nya. Berkat ketekunannya belajar, Ahyar mendapat beasiswa penuh kuliah di salah satu perguruan tinggi Negeri. Ahyar mulai tinggal sendiri di kos sekitar kampus, sambil bekerja sambilan di sebuah kedai kopi. Setahun kemudian, Ahyar menyerah. Bekerja sambil kuliah sangat menguras tenaga. Orang-orang sekitarnya menyarankan agar Ahyar memprioritaskan salah satunya. Setelah melalui pertimbangan panjang, akhirnya Ahyar melepas kesempatannya menjadi sarjana. Keputusan yang disayangkan banyak oleh banyak pihak, tapi tidak pernah ia sesali. Bahkan, ia syukuri mulai hari ini. Sewaktu menghadiri acara wisuda adik Ditrisya siang tadi, Ahyar melihat sisi lain dari prosesi tersebut. Bahwa yang paling bahagia di sana bukan para wisudawan, melainkan orangtua mereka. Entah apa yang mereka banggakan dari sebuah titel dibelakang nama anak mereka. Bagi Ahyar itu hanya tanda yang bersangkutan pernah terdaftar sebagai pelajar, belum tentu mereka benar-benar belajar dan terpelajar. Barangkali Ahyar tidak akan pernah mengerti. Ahyar menghempaskan tubuhnya di tengah ranjang, matanya nyalang ke langit-langit kamar. Bangunan kos ini jelas lebih bagus dan bersih daripada rumah sekaligus bengkel yang dikontrak Bos Bambang. Ahyar dan Doni berbagi kamar tanpa jendela, di hari-hari gerah, mereka menggandalkan kipas angin usang. Namun, itu adalah tempat terbaik bagi Ahyar. Baru beberapa hari meningalkan rumah Bambang, Ahyar sudah merindukan semua yang ada di sana. Untuk kali pertama seumur hidupnya ia merasa memiliki rumah dan keluarga. Ketika ia hendak pergi atau baru pulang, selalu ada yang tanya mau ke mana dan dari mana. Ketika ada yang beli makanan dari luar mereka akan saling menyisakan. Ketika ada yang punya masalah dan semua ikut mencari jalan keluar. Ya, semua itu tidak ada lagi ketika Ahyar melakukan hal bodoh. Tunggu dulu, bukankah Ahyar tidak semestinya merasa kecewa? Ia tidak pernah kehilangan keluarga, sebab sejak awal pun ia tidak memilikinya. Tiba-tiba Ahyar merasa sangat konyol menyadari sedari tadi dirinya sibuk bermonolog meratapi nasib. Memangnya kenapa kalau ia anak buangan? Seperti kata Bu Dini, hidup Ahyar lebih ringan karena Ahyar hanya perlu membahagiakan dirinya sendiri. Ahyar mencoba menjernihkan pikirannya dengan membiarkan air dingin shower mengguyur puncak kepalanya dalam tekanan cukup tinggi. Selain menyegarkan, hal itu juga memberi semacam pijatan di kepala Ahyar. Setengah jam kemudian, Ahyar keluar dari kamar mandi dengan tubuh menggigil kedinginan. Hal pertama yang Ahyar lakukan bahkan aebelum menunggu badannya kering adalah mengeluarkan makanan ibu Ditrisya dari paper bag dan membawanya ke dekat tempat sampah, tepat saat ponselnya berdenting menandakan ada pesan masuk. Sebuah pesan masuk dari nomor Dhika, luar biasa mereka bisa akrab dalam waktu singkat. Ahyar akui semua anggota keluarga Ditrisya sangat ramah, kecuali Ditrisya. Saat menyanggupi kehadirannya di wisuda Dhika dan diajak makan di rumah, Ahyar tidak menyangka Ditrisya punya keluarga sebesar itu. Rumahnya sangat ramai oleh gelak tawa orang dewasa dan teriakan anak-anak yang sebentar bercanda sebentar bertengkar. Sesuatu yang asing dan membuat penasaran di saat bersamaan. Dhika mengirimkan empat foto. Tiga foto bersama seluruh keluarga di meja makan, dan satu foto yang sepertinya Dhika mengambilnya secara diam-diam. Foto itu menangkap momen Ahyar dan Ditrisya berdiri berhadapan, Ditrisya menekuk wajah sebal, sementara Ahyar tertawa di depannya. Ahyar ingat itu adalah saat Ditrisya menyuruhnya berhenti panggil Sayang. Ahyar memandangi foto itu sangat lama, hingga memunculkan senyum miris di wajahnya. Ahyar mendesah kasar. Kenyataannya, Ahyar bahagia ada di tengah-tengah keluarga Ditrisya. Pandangan Ahyar kemudian beralih ke dua kotak makanan di tangannya. Kenyataan lain, ia sangat meyukai masakan Ibu Ditrisya. Dan, kenyataan paling tidak tahu diri, Ditrisya membuat Ahyar kembali menginginkan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD