26 | Make it Clear, Make 'Us' Real

1611 Words
Ahyar mengerejap bodoh, mendadak merasa sangat b******k karena membiarkan Ditrisya merasa dipermainkan. Karena kalau tidak, Ditrisya tidak akan mempertanyakan status hubungan mereka. Ditrisya memalingkan wajah, memutus tatapan mereka dan mengalihkannya ke arah lain. Wajahnya memerah, barangkali dia sendiri pun tidak menyangka dengan perbuatannya, tetapi tidak tampak menyesal sudah melakukannya. Baik, ini mungkin agak berlebihan. Ahyar seolah merasakan ada ledakan dahsyat di dadanya yang masih meninggalkan efek kejut pada jantungnya. Ahyar seolah kembali jadi perjaka polos yang baru pertama kali ciuman. Ahyar butuh waktu untuk mencerna semuanya. "Kamu mau kita pacaran?" Ditrisya mendecakkan lidah, matanya melirik Ahyar jengkel. "Kejelasan," tendasnya langsung di awal. "Kalau pun lo belum siap pacaran lagi atau nggak mau sama gue, ya lo bisa tahu diri dengan nggak bercanda kelewatan. Nggak usah ngomong seolah-olah gue orang punya pengaruh besar dalam hidup lo, kalau tujuannya cuma bikin gue besar kepala. "Dan soal ciuman gue tadi, itu bukan hal besar. Nggak usah kegeeran mikir gue gimana-gimana." Cuma ada satu pertanyaan yang ada di kepala Ahyar, hanya memikirkannya saja membuat dadanya berdebar. Dengan hati-hati, Ahyar bertanya, "kamu cinta sama aku, Di?" Tatapan jengkel Ditrisya menajam, seolah ada yang salah dengan pertanyaan Ahyar. Dia mengembuskan napas pendek sembari memalingkan muka. "Kalau nggak ada yang mau lo katakan, mending lo pulang. Gue capek, besok kita mesti kerja." Ditrisya beranjak ke ruang depan, Ahyar mengikutinya. Ditrisya melempar jaket Ahyar yang tergeletak di sofa ke arah Ahyar dan berhasil ditangkap dengan mudah, lalu bergerak membukakan pintu untuknya. Ahyar mendekati Ditrisya setengah putus asa. "Paling enggak, kamu harus jawab itu." "Kenapa harus aku lagi yang memulai, sih, Yar?" Seolah tak sabar Ahyar segera hilang dari pandapngannya, Ditrisya mendorong Ahyar melewati celah pintu. "Tolong pergi, Yar, jangan bikin gue tambah malu dengan maksa gue buat jawab itu." Detik selanjutnya, Ahyar berhadapan dengan daun pintu yang tertutup. Dari jendela kaca di samping pintu, Ahyar bisa melihat bayangan Ditrisya masih berdiri di balik pintu. Ditrisya pasti sangat bingung. Ahyar tidak boleh diam saja. Akan lebih tidak adil untuk Ditrisya jika Ahyar meminta dia menunggunya tanpa kejelasan, hanya karena ketakutan Ahyar sendiri. *** Di balik pintu, Ditrisya ingin menangis rasanya. Dari semua perlakuan Ahyar selama ini, ia kira tidak akan sulit bagi Ahyar memberinya kejelasan. Ditrisya hanya ingin tahu sebatas mana ia boleh berharap dan merasa 'baper'. Respon ragu-ragu Ahyar justru memberi kesan kalau memang benar bahwa Ahyar belum bisa sepenuhnya melupakan Sandra. Jika gadis itu Lisa atau Sisil, Ditrisya tidak akan rendah diri berhadapan dengan mereka. Tetapi Sandra jelas berbeda dengan kedua temannya itu. Hanya dari obrolan singkat mereka di toilet saja Ditrisya bisa tahu Sandra memiliki kepribadian baik. Dan yang paling penting, Ditrisya tidak mungkin memisahkan dua orang yang diam-diam masih saling mendamba. Ditrisya mengembuskan napas saat suara motor Ahyar terdengar menjauhi kontrakannya. Ia mungkin tidak berani menampakkan wajahnya di depan Ahyar lagi setelah secara implusif mencium bibirnya. Entah apa yang dipikirkan Ahyar tentang dirinya sekarang. Ia hanya berpikir, jika Ahyar tidak ada rasa padanya, Ahyar akan jijik menyentuhnya. Anggap lah Ditrisya terlalu naif, padahal ia sudah tahu sejak awal bahwa bagi sebagian orang sentuhan fisik hanya bagian dari kebutuhan, sama sekali tidak terkait dengan perasaan. Jangankan cuma sekadar berciuman, banyak di luar sana mudah saja melakukan seks dengan orang yang baru dikenal semalam. Dasar, bodoh! Dua jam kemudian, saat Ditrisya sedang bersiap-siap tidur. Pintu kontrakannya diketuk, seketika ia bangun dari rebahannya begitu mendengar suara Ahyar memanggil-manggil namanya. Ini bukan halusinasi labtaran aedari tadi dia lah yang Ditrisya pikirkan, kan? Mimpi juga bukan karena ia belum tidur. Suara itu terus memanggilnya dan semakin terdengar nyata, Ditrisya menyingkap selimut dan turun dari tempat tidurnya. Ia begitu terkejut saat mendapati sosok Ahyar benar-benar ada di balik pintu kontrakannya. "Lo ngapain ke sini lagi, nggak tahu ini jamnya orang tidur apa?" gerutu Ditrisya. Saat ini ia sungguh tidak ingin bicara dengan siapa pun, apalagi bertatap muka dengan Ahyar lagi. Kalau pun masih ada yang dibicarakan, mereka bisa lakukan nanti, saat rasionalitas Ditrisya normal kembali. "Aku tahu kamu nggak bisa tidur," jawab Ahyar, menunjukkan kelegaan di wajahnya. Sok tahu sekali, tapi memang begitu adanya. "Aku nggak yakin kita bisa tidur sebelum memperjelas semuanya." Ditrisya berdecih muak. "Biar gue ingatkan, yang nggak jelas dari tadi siapa?" "Aku," Ahyar menyahut. "Makanya aku datang lagi. Ada sesuatu yang perlu kamu tahu, sebelum aku jawab pertanyaan kamu." "Harus banget sekarang?" Ahyar mengangguk mantap. "Ya udah apa?" Ditrisya bersendekap, menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. "Kita bicara di dalam." "Kita bicara di sini aja. Nggak enak sama tetangga gue masukin cowok tengah malam." Ditrisya bergeming ke undakan teras, mendudukkan tubuhnya di lantai yang dingin. Ahyar mendesah, dia tampak keberatan tapi di sisi lain tahu tidak bisa melawan. Dia pun duduk di sebelah Ditrisya. Baru saja bokongnya bersentuhan dengan lantai, Ditrisya bergeser menjauh, menyisakan jarak cukup lebar di antara mereka. Ahyar mendesah lagi, lebih tidak berdaya lagi. "Buruan, dingin tahu." Ditrisya mengusap-usap lengannya yang mulai merinding terkena angin malam. Sembari menghela napas panjang, Ahyar mengeluarkan selembar foto dari balik jaketnya. Dia memberikan foto yang gambarnya tidak jernih dan warnanya semakin menguning seiring bertambahnya waktu. Terhitung dua puluh lima tahun lalu foto itu diambil dan dicetak sebagai identitas seorang Ahyar. "Ini? ..." Ditrisya bergumam. Tanpa perlu dijelaskan ia sudah tahu bayi berbedong selimut biru itu adalah Ahyar. Bayi itu ditergeletak di atas lantai semen, tampak sebagian pintu toko, dan kaki-kaki orang mengelilinginya. "Itu aku," ucap Ahyar seperti menyambung gumaman Ditrisya. Ditrisya menatapnya terkejut. Bukan karena fotonya, melainkan mengapa Ahyar tiba-tiba menunjukkannya. Ini pastinya bukan sesuatu yang bisa Ahyar bagi dengan sembarangan orang serta tanpa pertimbangan panjang. Buat sebagian orang, bisa jadi ini dianggap aib. "Foto itu adalah bagian dari diri aku yang belum kamu tahu tapi aku sangat ingin kamu tahu. Setelah itu, terserah bagaimana kamu memandang aku. Aku cuma nggak mau suatu hari kamu merasa seperti membeli kucing dalam karung, kamu nggak tahu siapa orang yang lagi dekat sama kamu ini," ujar Ahyar mengawali. "Kayak yang kamu lihat, bayi itu ditemukan warga di emperan toko setelah menangis kedinginan. Nggak jelas siapa orantuanya, berasal dari suku apa, dan kemapa dia dibuang." "Yar, aku nanya kepastian bukan supaya kamu cerita masalah ini." Dalam sekejap perasaan Ditrisya berubah dari cemas jadi tak enak hati. Ahyar tersenyum tipis menenangkan. "Aku udah lama mau cerita, tapi masih nunggu momen yang pas. Meskipun tiba-tiba, kayaknya ini momen paling pas. Aku nggak mau kamu mikir cuma kamu satu-satunya yang punya harapan sama hubungan kita. Percaya sama aku, Di, aku berani bertaruh aku lah yang lebih menginginkan adanya hubungan jelas antara kita. Kamu nggak tahu, kan, gimana kesalnya aku waktu kamu bilang mau pergi blind date sama cowok lain, sedangkan aku nggak punya hak buat larang kamu pergi. "Kamu punya semua yang aku nggak punya. Sadangkan aku? aku nggak punya apa-apa. Tadinya, aku baru akan mengikat kamu minimal saat bisnisku udah mulai jalan dan kelihatan sedikit hasilnya. Biar aku nggak terlalu tidak tahu diri saat nanti minta kamu jadi milik aku. Dan supaya, kalau kamu masih bertahan, aku nggak mikir kamu melakukannya karena kasihan." Ditrisya menggeleng pelan. Ingin Ahyar berhenti mencemaskan hal-hal itu. Pertentangan-pertentangan dari Lisa membuat Ditrisya yakin perasaannya. Jika rasa itu hanya sekadar iba, Ditrisya tidak perlu takut memikirkan kemungkinan Ahyar kembali bersatu dengan Sandra, selama Ahyar akhirnya mendapat kebahagiaan yang layak dia dapatkan sebagai ganjaran segala penderitaannya. Meski itu tanpa dirinya. Sedangkan rasa ini tak hanya perkara demi kebahagiaan Ahyar, karena ia pun ingin bahagia. Bersama Ahyar pastinya. Dan jika ini hanya sebatas belas kasihan, Ditrisya tidak harus ingin memiliki Ahyar hanya untuk memberikan perhatian. Ditrisya bahkan sudah lupa standar pasangan ideal yang dipegangnya bertahun-tahun, standar ideal yang sudah membuat beberapa laki-laki ia jauhi dengan alasan pekerjaannya kurang menjanjikan. Namun, lihat Ahyar. Jelas-jelas Ditrisya sejak awal tahu dia punya masa depan suram dan Ditrisya tidak perlu merangkai alasan agar terdengar benar untuk meninggalkannya, semua orang akan mewajarkan tindakannya. Meski titik nyala harapan itu sangat kecil, Ditrisya tetap ingin bertahan di sisinya, meski tidak ada yang bisa menjamin titik itu akan membesar atau malah padam. Ditrisya merasakan pandangannya mulai mengabur karena genangan cairan di pelupuk matanya. Ia tersentuh oleh kejujuran Ahyar. "Sekarang aku lega udah cerita siapa aku sebenarnya." Dari semeter ruang kosong yang memisahkan mereka, Ditrisya menangkap gumpalan emosi tertahan dari cara lelaki itu berusaha tersenyum. "Selain nggak punya uang, aku juga nggak punya latar belakang jelas. "Kalau kamu tanya kita ini apa," Ahyar menggantung, membuat Ditrisya berdebar menunggu kalimat lengkapnya. "Aku inginnya kita pacaran atau apa pun itu namanya. Tapi keputusan akhir aku kembalikan semuanya ke kamu, kamu inginnya kita menjadi apa? Seandainya keinginan kita sama, aku mohon pertimbangkan juga kenyataan yang barusan aku ceritain. Sedikit banyak itu mempengaruhi kepribadianku. Aku mungkin aja lebih egois dari yang kamu kira." "Pertama yang perlu kamu tahu, Yar, aku udah tahu semua." "Udah tahu apa?" "Latar belakang kamu." Kedua mata Ahyar melebar tak menyangka sekaligus bingung bagaimana bisa. "Siapa yang ngasih tahu? Sandra atau Galang?" Ditrisya menggeleng. "Seseorang, yang jelas bukan mereka." "Siapa?" desak Ahyar. "Nggak banyak orang yang tahu masalah itu." "Kamu lebih penasaran sama siapa orang itu, daripada gimana maunya aku?" Ditrisya menyipit berlagak marah. Aksi itu berhasil sedikit mengendurkan ketegangan Ahyar, lelaki itu terkekeh kecil. "Kayaknya aku udah tahu." Ditrisya memutar bola mata seolah-olah jengah. "Mulai, deh, mulai geer-nya ...." maksud hati ingin memasang wajah datar, namun yang muncul adalah tawa yang ditahan-tahan. Bahkan air muka Ditrisya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia senang. Ahyar tertawa lagi, dia menggeser tubuhnya merapat pada Ditrisya. Ditrisya bergeser menjauh, Ahyar bergeser lagi, hingga punggung Ditrisya terdesak pada tiang dan tidak bisa berkutik ke mana-mana lagi. Mereka saling berpandangan dan bertukar senyuman, di situ lah mereka telah bersepakat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD