***ERVAN***
Aku merasa kasur bergoyang, itu tandanya Puspa sudah naik ke atas pembaringan.
Hhhhh...
Aku tidak tahu apa yang memasuki pikiran Wulan istriku sehingga ia memaksaku untuk melakukan ini.
Flashback
"Aku mohon Mas, menikahlah dengan Puspa, untuk kelangsungan keturunan Mas."
Ini sudah kesekian kalinya, Wulan memohon seperti ini kepadaku.
"Tidak Dek, aku tidak bisa, buatku mempunyai anak, atau tidak bukan masalah buatku, kamu bisa melayaniku, atau tidak juga bukan masalah buatku, aku hanya ingin mencintaimu seumur hidupku."
"Jika Mas sangat mencintai aku, tolong luluskan permintaanku Mas, aku merasa berdosa, aku merasa bersalah, karena tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Mas, bantu aku menebus rasa berdosa itu, dengan menikahkan Mas dengan Puspa Mas, aku mohon."
"Tapi aku tidak bisa Dek."
"Tolong luluskan keinginanku Mas, aku sangat menginginkan anak dari Mas, meski anak-anak itu bukan dari rahimku, tapi yang terpenting mereka adalah darah daging Mas sendiri."
"Dek, kalau aku meluluskan keinginanmu, bagaimana dengan Puspa, bagaimana dengan masa depannya, dia juga pasti ingin seperti gadis lain yang menikah dengan pujaan hatinya, ini akan melukaimu, melukaiku juga melukai Puspa Dek, pikirkanlah."
"Aku sudah katakan, kalau aku sudah bicara dengan Puspa, dan dia bersedia melakukannya. Setelah dia melahirkan, dia bisa pergi, atau tetap tinggal di sini bersama kita, untuk ikut merawat anak kita nantinya."
Aku hanya bisa terdiam mendengar jawaban istriku, yang sudah menemani hidupku dalam mahligai pernikahan selama 15 tahun ini.
Diusianya yang ke 35 Wulan tetap cantik jelita, meski penyakit bersarang di tubuhnya.
Setelah kanker rahim yang harus membuat rahimnya diangkat 7 tahun lalu.
Alhamdulillah, soal uang bukan masalah bagi kami, meski aku tidak perlu bekerja keras, uang tetap akan mengalir deras. Karena, kami berdua adalah pewaris tunggal dua buah perusahaan besar yang sudah sangat mapan, dan tidak tergoyahkan.
Tapi, aku punya tanggung jawab besar, agar perusahaan yang dirintis orang tuaku bisa terus berdiri tegak, karena aku tahu, mempertahankan sesuatu itu lebih sulit dari pada meraihnya, karena itulah tiap hari aku tetap pergi ke kantor.
Dan itu juga sebagai salah satu cara agar aku bisa mengusir kegelisahan yang kadang datang mendera perasaanku.
Aku mencintai Wulan, sangat mencintainya, aku tidak ingin melukai perasaannya dengan mengeluhkan pelayanannya terhadapku, ataupun mengeluhkan sepinya rumah kami tanpa hadirnya buah hati.
"Mas jawab, jangan melamun" Wulan menggoyangkan lenganku.
"Dek, segala keputusan pasti ada resikonya, apa Adek siap dengan resiko yang akan timbul nanti?"
"Ya aku siap, aku sudah sangat siap," jawab Wulan penuh keyakinan.
Kutarik nafas berat.
"Aku sangat mencintaimu Dek, dan jika Adek menganggap meluluskan permintaanmu ini sebagai bukti cintaku, baiklah aku akan ...."
"Alhamdulillah, terimakasih Mas, terimakasih banyak, aku tidak pernah meragukan cinta Mas kepadaku. Mas memang yang terbaik buatku." Wulan langsung memeluk tubuhku dengan erat, dadaku basah oleh airmatanya.
Ya Allah....
Aku tidak tahu ini benar atau salah.
Tapi semua ini aku lalukan demi meluluskan keinginan istriku yang sangat aku cintai.
Itu saja.
Flashback end.
Ku buka mataku, kutolehkan kepala, aku pandang punggung Puspa yang berbaring memunggungi ku.
Huuuuhhhh....
Ini lebih ... lebih ... hhh ... aku tidak tahu harus bagaimana menyebutnya, yang jelas malam ini terasa sangat mencekam, jauh berbeda dengan malam pertama aku, dan Wulan dulu yang penuh cinta, dan kemesraan.
Hhh ... ini pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku satu ranjang dengan wanita selain Wulan. Wulan apa yang kamu pikirkan, dan kamu rasakan saat ini?
Meski bibirmu mengukir senyuman, saat aku ke luar kamar tidur kita untuk datang ke kamar ini, tapi aku yakin, pasti perasaan sakit itu hadir di dalam hatimu.
Bohong rasanya kalau rasa sakit itu tidak ada, meskipun kamu berkata ikhlas di mulutmu.
Tubuh Puspa bergerak sedikit, tapi ia tidak merubah posisinya yang memunggungi ku.
"Puspa," panggilku pelan.
--
***PUSPA***
"Puspa," kudengar suara Pak Ervan memanggilku pelan.
Aku bingung!!
Jawab atau tidak?.
"Puspa," panggilan Pak Ervan terdengar lagi.
Dengan menguatkan hati aku rubah posisiku jadi telentang.
"Ya Pak," sahutku.
"Kita mulai dari mana?" tanya Beliau.
Aku menolehkan kepala mendengar pertanyaan beliau.
"Maaf Pak, tapi Bapak lebih tahu mengenai hal itu dari pada saya, yang benar-benar tidak tahu apa-apa" jawabku dengan wajah terasa panas.
Ini pembicaraan yang terasa aneh buatku.
"Enghhhb ... ehmm, bisa ... bisa buka bajumu Puspa?"
Mataku terbuka lebar menatap Pak Ervan, saat nendengar permintaan yang beliau lontarkan.
"Maksudku ... ehmm, kalau ... kalau kita ingin kamu hamil. Ehmm, kita harus melalukan itu, dan untuk itu ehmm ... kamu, kamu harus buka bajumu" Pak Ervan menjawab dengan suara terbata.
Aku tentu saja tahu soal itu, hanya saja aku merasa tidak siap mendengar permintaan seperti itu diucapkan oleh Pak Ervan yang sangat pendiam di mataku.
"Mungkin kita harus matikan lampunya dulu. Biar kamu tidak malu melepas bajumu." Pak Ervan turun dari atas ranjang, ia menuju saklar lampu di dekat pintu.
Bleepp!
Lampu padam, hanya sinar bulan yang menerobos masuk lewat ventilasi jendela, yang membuat kamar jadi tidak terlalu gelap alias remang temaram.
Samar aku bisa melihat beliau melepaskan kaos oblongnya.
Aku memalingkan wajahku yang kembali terasa panas.
Dengan tangan gemetar aku melepas daster batik yang aku kenakan lewat atas kepalaku.
Setelah kulepas dasterku, dan menyisakan pakaian dalamku, aku segera masuk ke bawah selimut, tepat saat kurasakan beliau juga masuk ke bawah selimut yang sama.
Tanpa sengaja tangan kami bersinggungan, itu membuatku terjangkit kaget.
Dalam temaramnya suasana kamar, kepala kami saling menoleh, mata kami saling bertemu.
"Aku tidak tahu benar atau salah yang kita lakukan ini Puspa, ini seperti mempermainkan sebuah pernikahan, tapi biarlah Allah yang menilainya, karena niat kita hanya ingin menyenangkan hati orang yang kita sayangi," suara Pak Ervan terdengar sangat lembut, ucapannya merasuk ke dalam jiwaku, membuat air mata jatuh di sudut mataku, aku terisak pelan.
Aku tahu betapa besarnya cinta Pak Ervan pada Bu Wulan, sehingga beliau tetap setia sampai sekarang pada istrinya.
"Puspa" Pak Ervan berbaring miring, dan menyangga kepala dengan tangannya, matanya menatap ke arahku, satu tangannya yang bebas meraba, dan menyusut air mata yang mengaliri sudut mataku.
Aku terjangkit kaget akan sentuhannya, ini pertama kalinya aku dijamah pria.
"Jika kamu belum siap, kita bisa lakukan nanti saja" kata beliau lembut.
Aku menggeleng.
"Lebih cepat, lebih baik saya rasa," jawabku pelan dengan wajah kembali terasa panas.
"Harusnya kamu bisa mendapatkan malam pertamamu dengan pria pujaan hatimu Puspa, bukan menikah tan ...."
"Tolong jangan goyah kan keikhlasan saya untuk menjalani ini semua Pak. Biarkan saya melakukan apa yang menjadi janji saya pada Ibu" potongku cepat.
"Sejujurnya, saya tidak tahu bagaimana melakukan ini tanpa perasaan cinta, Puspa," suara Pak Ervan sangat lembut saat mengucapkannya, tapi entah mengapa terasa ada yang sakit di hatiku saat mendengarnya.
Bukan karena aku merasa tersinggung atau menyesali keputusanku. Tapi beliau benar, kalau semua wanita pasti memimpikan malam pertama, bersama pria yang dicintainya.
"Puspa," panggil veliau karena melihat aku masih diam tanpa suara.
"Ya Pak."
"Jadi bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Ehmm ... maksud saya, apa kamu sudah siap untuk malam ini?"
"Saya tidak tahu, siap atau tidak, tapi ini adalah resiko yang harus saya terima saat menyetujui untuk meluluskan permintaan Ibu."
"Baiklah, tolong maafkan saya, jika kamu merasa sakit Puspa"
Aku hanya mengangguk.
Pak Ervan menggeser tubuhnya mendekati tubuhku.
Aku merasa jantungku berdebar tak beraturan, keringat dingin kurasakan mulai ke luar dari tubuhku.
Aku gugup.
Aku takut.
Aku....
Kudengar beliau menarik nafas dengan berat, sebelum tubuh beliau naik ke atas tubuhku. Tubuh beliau yang menimpa tubuhku, terasa sangat berat aku rasakan.
Tubuhku gemetar.
Hatiku bergetar.
Jantungku berdebar.
Apa malam pertama orang yang saling cinta juga begini?
Apakah....
Pertanyaan di hatiku menggantung, karena bibir Pak Ervan menyentuh bibirku dengan lembut.
Mataku terpejam rapat, aku tidak tahu harus bagaimana.
Seluruh tubuhku terasa bergetar entah karena apa.
Tiba-tiba aku merasakan ada air yang menetes di wajahku, air mata ... air mata siapa?
Pak Ervan melepaskan bibirnya dari bibirku.
"Puspa, maafkan jika keinginan istriku membuat malam pertama yang kamu impikan jadi sirna, aku jadi merasa sangat ber ...."
"Bapak, sekali lagi tolong jangan goyah kan keikhlasan hati saya, untuk memenuhi janji saya pada Ibu."
Tanpa bicara lagi, beliau kembali mendaratkan bibirnya, di bibirku.
Aku tersentak kaget, saat beliau menggigit bibir bawahku, dan menyusupkan lidahnya di antara kedua belah bibirku.
Aku susah mengatakan seperti apa rasanya, tapi aku merasa tubuhku jadi lunglai seakan kehabisan tenaga.
Kalau efek sebuah ciuman saja seperti ini, bagaimana dengan akibat yang ditimbulkan jika beliau mengambil milikku yang paling berharga?
Aku tidak bisa berpikir lagi, lidah beliau seperti menari-nari di dalam rongga mulutku, membelit lidahku, menyentuh gigi-gigiku, menyapu setiap sudut rongga di dalam mulutku. Tanpa kusadari, tanganku sudah mencengkeram lengan atas beliau dengan kuat.
Kurasakan kedua tangan Pak Ervabmn menyusup masuk ke balik punggungku. Melepas kaitan bra ku, dan meloloskan bra itu lewat kedua belah tanganku, yang spontan terangkat tanpa beliau memintanya.
Dan entah ke mana Beliau meletakan bra itu. Pak Ervan melepaskan bibirnya dari bibirku, tapi bibirnya merayapi leher, dan bahuku.
Air mataku turun begitu saja, Pak Ervan benar, aku sudah mempertaruhkan masa depanku untuk memenuhi keinginan istrinya.
Tapi aku sudah berjanji pada Bu Wulan untuk melahirkan anak-anak darah daging Pak Ervan.
"Puspa, aku ingin tubuhmu merasa rileks saat kita melakukannya, agar sakit yang akan kamu rasakan bisa sedikit berkurang nantinya" suara lembut veliau terdengar berbisik di telingaku, nafas beliau yang wangi, dan terasa panas menerpa wajahku.
Ku buka mataku perlahan.
"Terserah Bapak bagaimana baiknya, saya hanya mengikuti saja" jawabku dengan suara yang aku yakini bergetar.
Aku bersyukur, karena lampu dimatikan, sehingga Pak Ervan tidak bisa melihat tubuhku secara jelas, yang sekarang hanya tinggal berbalut secarik kain bernama celana dalam.
Aku menggigit bibirku, saat kurasakan bibir Beliau menyentuh dadaku, mataku semakin rapat terpejam, dan bibirku semakin kuat ku gigit, saat bibir Beliau menyentuh ujung buah dadaku.
Tanpa kusadari, punggungku terangkat sehingga dadaku membusung, dan terlompat suara dari mulutku yang ... sungguh aku sendiri malu mendengarnya.
"Pak!"
"Apa tubuhmu sudah merasa santai Puspa?" tanya beliau dengan suara yang terdengar sedikit parau.
"Aku ... aku, tidak tahu," jawabku.
"Aku rasa sudah waktunya, ijinkan aku melepas penutup terakhir yang ada di tubuhmu Puspa!"
"Ya" jawabku lirih, aku sudah benar-benar pasrah.
Tubuhku bergetar hebat saat Pak Ervan melepaskan penutup terakhir di tubuhku.
Dan aku rasa, veliau juga sudah melepas penutup terakhir tubuh beliau pula.
Pak Ervan membuka kedua pahaku pelan, keringat dingin mulai membasahi tubuhku, aku takut, sangat takut....
"Untuk terakhir kalinya aku ingin bertanya padamu, sebelum semuanya terlambat. Kkatakan apa kamu benar-benar ikhlas dengan semua ini Puspa?" tanya Pak Ervan lirih.
Aku diam sesaat.
"Ya" jawabku akhirnya dengan mantap. Kudengar beliau menarik nafas sesaat, sebelum tubuh beliau kembali menindih tubuhku.
Pak Ervan kembali merayapi tubuhku dengan bibir, dan tangannya. Dan aku tidak bisa lagi menahan suara yang sejak tadi coba aku tahan, agar tidak terlontar dari mulutku.
"Kamu pasti tahu Puspa, kalau melepas keperawanan itu akan sakit terasa, saya harap kamu bisa menahan rasa sakitnya."
"Ya" jawabku singkat.
Saat aku merasakan sesuatu yang terasa asing teksturnya menyentuh milikku, aku tahu itu lah yang akan merobek keperawanan ku.
Awalnya benda itu hanya menyentuh permukaan saja, tapi perlahan mulai menerobos celah yang melindungi milikku.
"Pak, sakit ...." aku tidak bisa untuk tidak merintih kesakitan, kedua tanganku mencengkeram kedua lengan Pak Ervan di sisi tubuhku, kedua lengan itu yang menahan beban tubuhnya agar tidak menindih sepenuhnya badanku.
"Sakit ...." rintihanku tenggelam dalam ciuman bibirnya yang terasa sangat lembut.
Air mataku tidak berhenti mengalir membasahi sudut mataku.
Apa aku menyesal?.
Entahlah ... saat ini aku sendiri tidak bisa memahami apa yang aku rasakan. Sesuatu perasaan yang aneh tengah menyergap jiwa, dan ragaku membuatku tidak bisa berpikir hal yang lainnya selain hanya meneteskan air mata.
--
***ERVAN***
Aku tidak tahu apa yang dirasakan Puspa saat ini, tapi air matanya mengalir dengan deras, membuat rasa bersalah memenuhi lubuk hatiku. Aku sudah menjamah tubuhnya. Aku sudah mengoyak keperawanannya.
Aku ... hhhh, dia istri mudaku....
Ku hapus air matanya dalam diam, setelah semuanya usai.
Ku bawa kepalanya ke dalam dekapan dadaku yang masih basah oleh keringat.
"Maafkan aku Puspa, maafkan karena sudah membuatmu merasakan sakit luar biasa" ku kecup puncak kepalanya, ku rasakan air matanya membasahi dadaku, bercampur dengan tetes peluh dari tubuhku.
"Aku tidak bisa menjanjikan cinta untukmu Puspa, tapi aku berjanji akan memperlakukanmu sebagaimana mestinya sikap seorang suami terhadap istrinya. Tapi itu hanya bisa kulakukan jika aku bersamamu di sini. Aku ingin kita bersikap biasa saja saat kita ke luar dari tempat ini. Mungkin aku egois, Puspa. Tapi aku tidak ingin melukai perasaan Wulan, kamu mengertikan maksudku?"
Kepala mungil di dadaku mengangguk pelan.
"Tidurlah, kamu pasti lelah" ku usap punggung telanjangnya lembut untuk menghapus peluh yang ada di sana.
Isaknya terdengar samar di telingaku, itu membuatku merasa sakit.
Aku sakit karena sudah menyakiti tubuhnya.
Aku sakit karena merasa sudah menyakiti hatinya.
Aku sakit karena yakin saat ini perasaan Wulan pasti terluka.
Aku sakit ....
***BERSAMBUNG***