Peristiwa Tak Terduga

1570 Words
Happy Reading "Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu. Kau selalu saja bertingkah layaknya anak kecil." Diandra Oliver, wanita cantik berusia paruh bayah itu tampak begitu frustasi menghadapi semua tingkah laku Dastan. Suara Diandra yang membahana mengusik ketenangan seluruh penghuni kediaman Oliver. "Astaga... apa-apaan semua ini. Kenapa harus berteriak di pagi hari begini." Dokter Derrick yang belum selesai mengumpulkan kesadarannya seketika menyahut dengan suara serak sambil menuruni tangga. Matanya masih setengah terpejam tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tetap diam pada saat mendengar suara teriakan Diandra. "Ini pasti ulah kak Dastan. Hanya kak Dastan yang dapat mengobarkan api kemarahan ibu." Daniela Oliver, mulai mengintrupsi pertikaian yang sedang terjadi dari balik punggung ayahnya. Dengan wajah masam, dia menatap dalam-dalam ekspresi wajah Dastan. "Ada yang kalian lakuka? Kenapa kalian sudah bangun?" Diandra langsung menodong suami dan putri bungsunya sesudah mereka berada di hadapannya. "Tanyakan yang masuk akal sayang, suaramu sudah seperti gendang yang ditabuh. Jangankan mahkluk seperti kami, makhluk lain juga akan terbangun ketika mendengar suaramu itu." dokter Derrick mendumal dengan rasa jengkel kemudian mengambil duduk di sofa tengah. "Daniela kemarilah." perintah dokter Derrick yang hanya diangguk oleh Daniela. Dastan menunduk dalam, dia sama sekali tidak punya keberanian untuk menatap wajah ibunya. Beruntung mereka belum menyadari kondisi wajahnya karena Dastan menggunakan telapak tangan dalamnya untuk menutupi. Tapi dia tahu keberuntungan itu tidak akan berlangsung lama, sebab Dastan tahu betapa jelinya pandangan ibunya. Diandra menghela napas pendek, lalu kembali memusatkan perhatian pada Dastan. "Katakan darimana saja kau sampai sepagi ini baru pulang?" sahutnya lagi sambil melipat tangan di depan d**a. Dastan tergeraragap, tidak tahu harus memberi tanggapan apa. "I-ibu.... aku... aku.... "Aku aku, aku apa? Katakan dengan jelas!" suara Diandra yang tiba-tiba meninggi membuat semua orang tersentak kaget. Dastan langsung menunduk spontan saking terkejutnya oleh terikan ibunya yang seolah mampu merusak indera pendengarannya. Dengan susah payah, dia akhirnya menyahut. "Aku... aku baru saja dari rumah Sean." sahut Dastan tanpa menatap ke arah ibunya. Dokter Derrick yang mendengar jawaban Dastan seketika mengerutkan dahi bingung. "Apa katamu?" suara dokter Derrick terselip nada tidak percaya. "Jangan berbohong Dastan, ayah baru beberapa jam lalu dari rumah Sean. Dan kau tidak terlihat disana, jadi rumah Sean mana yang kau maksud?" sambungnya kemudian. Daniela tertawa bahagia dalam benaknya ketika melihat mata Dastan yang terbelalak karena panik. Dia menggulum senyum penuh kepuasan akan penderitaan Dastan. Aku yakin ibu pasti akan sangat marah sebentar lagi. Selamat menikmati hukumanmu, Dastan. Ketika mendengar kenyataan langsung dari suaminya, Diandra tidak lagi bisa menahan amarahnya yang sudah berada di ubun-ubun. "Lihat ibu." perintah Diandra dengan suara tegas. Dastan bergeming, entah mengapa dia tidak punya keberanian jika harus dihadapkan dengan amarah ibunya. Katakan saja dia b******k namun, tidak untuk sikapnya pada ibunya. "Dastan!" Sekali lagi, Diandra menyuarakan hal yang sama. Dastan menarik napas panjang-panjang. Lalu menghadapkan wajahnya kepada Diandara. "Turunkan tanganmu. Kenapa kau tampak seperti sedang menyembunyikan sesuatu di wajahmu itu." ujar Diandra dengan tatapan menelisik. Kedua bahu Dastan langsung terjatuh lemas. Pada akhirnya dia tidak lagi memiliki bantahan dan hanya bisa menuruti perintah ibunya. Mulut Diandra terperangah, refleks dia mengangkat kedua tangannya untuk menutup mulutnya dari keterkejutan yang sangat. "Apa yang terjadi dengan wajahmu Dastan!" hardiknya dengan suara keras. Dastan menggeleng lemah, "I-ibu...ini...ini tidak seperti yang kau.. "Tutup mulutmu!" bentak Diandra memotong ucapan Dastan, kedua tangannya mengepal erat seolah bersiapa untuk melayangkan pukulan keras pada lelaki itu. Sontak saja Daniela dan dokter Derrick mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk. Keduanya kompak menghela napas pasrah seolah sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. "Aku... aku.... terjatuh Bu." kebohongan sudah disusun rapi oleh Dastan musnah sudah saat berhadapan langsung dengan kemarahan ibunya. Diandra menyipitkan kedua matanya, wajahnya bergerak maju menatap lekat-lekat ekspresi wajah Dastan. Seringai tajam menguasai bibir Diandra tatkala menemukan celah kebohongan disana. "Kau berbohong, dan kau sudah membuat ibu marah." Suara merendah Diandra membuat punggung Dastan menegang. Dan di detik selanjutnya, Dastan berteriak kesakitan ketika tangan Diandra menarik kuat sebelah telinganya. "Ibu... ibu...ini sakit sekali. Tolong lepaskan Bu, rasanya sungguh sakit." layaknya seorang anak kecil yang sedang mendapat hukuman seperti itulah Dastan saat ini. "Ibu tolong lepaskan tangan ibu. Sakit ibu, ampun Bu, ampun. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ibu, sakit sekali." sambungnya dengan suara lirih berisi permohonan. "Diam! Kau harus dihukum anak sialan." Tanpa rasa kasihan, Diandra semakin menguatkan tangannya di telinga Dastan. Lelaki itu menjerit-jerit ketika Diandra menyeret tubuhnya dengan paksa menaiki tangga tanpa melepaskan tangannya dari telinga Dastan. Dokter Derrick dan Daniella tertawa terbahak-bahak. Keduanya sudah mengetahui bahwa Dastan akan berakhir tragis di tangan Diandra. Wanita cantik itu, yang juga berprofesi seorang dokter sangat tidak menyukai jika salah satu wajah keluarga Oliver terluka. Pekerjaannya yang seorang dokter dermatology membuat Diandra begitu posesif dengan kecantikan dan penampilan. Itulah mengapa wanita itu sangat marah ketika mengetahui wajah Dastan terluka. "Ayah yakin sayang, ibumu pasti akan menghabisi Dastan." suara dokter Derrick terputus-putus karena tawanya yang sulit untuk mereda. "Ayah benar. Kak Dastan sebentar lagi pasti akan jadi Zombie." Daniella pun turut bersuara dengan terputus-putus. "Ayah jadi tidak sabar menunggu acara selanjutnya. Rasanya tidak asyik jika kebahagiaan kita berdua cepat berakhir." ujar Derrick setelah berhasil meredam tawanya. "Aku setuju dengan ayah. Sungguh dia lelaki yang sangat malang" Tawa dokter Derrick kembali membuncah ketika Daniella memasang wajah pura-pura berduka seoalah memahami penderitaan Dastan. ****** "Kau sudah bangun?" Suara Kesya terdengar seperti bergumam ketika melontarkan pertanyaan itu. Dia mengerjapkan mata lalu mengucek pelan supaya membuat pandangannya semakin jelas. Sean yang mendengar suara Kesya segera membalikkan badan. Senyum manis menggulir di bibirnya ketika menemukan Kesya tampak sedang berjuang untuk mengumpulkan kesadarannya. Perempuan itu sangat cantik, sekalipun dalam kondisi acak-acakan bahkan dengan rambut yang berantakan tetap saja tidak dapat mengurangi tingkat kecantikannya. Sean kemudian melangkah, lalu membungkukkan setengah badannya untuk mengecup dahi Kesya. "Aku ada pertemuan penting di kantor. Kalau kau masih mengantuk, tidurlah kembali. Pelayan akan membawakan mu sarapan nanti." ujarnya dengan nada lembut. Kesya tersenyum lembut, "Aku tidak mengantuk. Kau ingin ku temani ke kantor?" sambungnya mencetuskan ide cemerlang tanpa ada rencana sebelumnya. Sean mendudukkan dirinya di tepi ranjang Kesya, tangannya bergerak untuk membelai garis wajah Kesya. "Tidak perlu. Aku tak akan lama, setelah itu aku akan menjemput." "Menjemputku? Untuk apa?" Kesya menggerakkan sedikit kepala hanya untuk memperjelas penglihatan ke arah Sean. Sean terkekeh kecil, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Kesya hingga mempersentuhkan ujung hidung mereka. "Untuk melihatmu mengenakan gaun pernikahan kita. Kau tentu tidak lupa bukan dengan rencana pernikahan kita? Kalau kau lupa, aku akan mengingatkan mu terus sampai kau bosan mendengarnya." sahut Sean setengah mendengkus. Kesya tertawa pelan, lalu mengecupkan bibirnya di bibir Sean. "Maafkan aku karena telah melupakan rencana pernikahan kita." "Tidak apa-apa. Aku tahu kau sudah tua sebab itulah kau selalu lupa." sambung Sean kemudian. Kesya langsung memberenggut kemudian melayangkan pukulan di bahu Sean sebagai peringatan. "Pergilah. Kau sangat menyebalkan." "Tapi kau tetap mencintai lelaki menyebalkan ini bukan?" bukannya merasa bersalah Sean malah bertambah gencar untuk menggoda Kesya. Pipi Kesya merah padam, sudut bibirnya berkedut menahan senyum. Dia berdeham pelan mencoba untuk menormalkan reaksinya terhadap kata-kata manis Sean. "Tidak. Siapa bilang aku mencintaimu, aku hanya mencintai uangmu." sahut Kesya, di akhir kalimatnya sengaja memberi penekanan supaya membuat Sean tersinggung. Mata Sean menyipit curiga, lalu dia menarik wajahnya menjauh dan menatap Kesya seolah menilai. "Aku tidak keberatan dengan pernyataanmu, menurutku itu adalah harga yang pantas untuk mendapatkan perempuan istimewa seperti dirimu ini. Kau boleh mengambil uangku tapi sebagai gantinya kau tidak boleh meninggalkan ku. Kalau aku jatuh miskin, aku hanya perlu bekerja keras supaya kembali kaya. Tapi kalau aku kehilangan dirimu, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kau yang paling tahu, sebetapa cintanya aku padamu." Kesya tertegun, seketika kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Sean. Matanya berkaca-kaca karena luapan rasa haru, dia memandangi Sean tanpa berkedip sebelum kemudian bangkit dari posisi terlentang dan langsung memeluk Sean. "Bodoh. Kau memamg laki-laki paling bodoh yang pernah ku temukan. Tapi aku mencintaimu, bukan karena siapa dirimu tapi karena kau adalah Sean. Aku tidak akan pernah meninggalkan mu." ucapnya dengan suara serak, hendak memeluk erat tubuh Sean tetapi dia langsung mengurungkan niatnya ketika menyadari bahwa lelaki itu masih terluka dan sebelah tangannya di bebat. Sean mengangkat tangannya, lalu membelai punggung Kesya dengan lembut. Mendekap tubuh perempuan itu erat seolah takut akan hilang. "Aku akan memegang teguh janjimu. Kalau sampai kau ingkar janji dan akhirnya meninggalkan ku, aku pasti akan mati Kesya." jawabnya kemudian. ***** Ben langsung membeku kaku ketika memijakkan kakinya di kamar perawatan khusus itu. Untuk yang pertama sekali, dia bisa merasakan jantungnya berdebar karena takut. Dia hendak melangkah tapi kakinya sangat sulit digerakkaan, butuh waktu lama bagi Ben untuk menarik kesadarannya sebelum kemudian berucap dengan suara gemetaran. "N-nyonya...Emily..." di detik Ben menyelesaikan kalimatnya yang dipenuhi oleh rasa shock itu, dia segera berlari mebgampiri Emily dan langsung berjongkok di hadapan perempuan itu. Ben terpengarah, antara sadar atau tidak ketika melihat darah segar nan kental merembes dari pergelangan tangan Emily. Habis sudah. Nyonya Kesya pasti akan membunuhku. Hai... Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH SAYA IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilan saya? Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD