Tiga

1117 Words
Satu bulan setelah Arkan mengurus kepindahan tugasnya di Jakarta, hari ini dirinya bertolak ke Semarang. Di sana Arkan menempati sebuah rumah minimalis yang tak begitu jauh dari rumah sakit tempatnya bertugas nanti. Setelah membereskan barang bawaanya yang tak begitu banyak Arkan segera pergi menuju rumah sakit. Ada banyak rapat dan pertemuan penting yang harus ia lakukan. Kedatangan Arkan di rumah sakit itu menyita perhatian banyak orang. Selain karena paras tampan rupawannya, beberapa orang terkejut dengan direktur baru rumah sakit itu yang ternyata masih sangat muda jika di tilik dari penampilan Arkan. Usianya sudah memasuki tiga puluh tiga pada tahun ini, tetapi tampangnya memang masih seperti usia dua puluh lima tahun. Setelah rapat dan memperkenalkan diri kepada seluruh jajaran dan petugas, serta staf rumah sakit Arkan beranjak memasuki ruangannya. Lebih tepatnya ruangan kedokterannya, karena untuk ruang kantor sudah beda tempat. Di sana Arkan mendapatkan seorang asisten dokter bernama Bintang Pratama. Dirinya yang harus mengemban tanggung jawab utama rumah sakit itu memang belum tentu bisa selalu ada setiap waktu di ruang kedokterannya. Selain dokter Bintang di sana juga ada dua orang perawat yang siap membantunya menangani pasien-pasiennya di rumah sakit ini. "Ehemm..., masih single nggak dok?" tanya salah satu perawat bernama Juwita tanpa basa-basi. Arkan tersenyum lalu menunjukan cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya. Cincin pernikahannya dengan Renata satu tahun lalu. "Yaaahh, sayang banget," ucap Juwita dengan nada kecewa. "Harapan lo nggak usah ketinggian Ju, orang kayak dokter Arkan mah udah di jamin cepet sold out," ucap Bintang menimpali. "Namanya juga usaha, dokter Bi," jawab Juwita. "Usaha si usaha, lah ono yang tiap hari nongkrong di UGD lo anggap apa?" timpal Naura sambil menoyor lengan teman seprofesinya itu yang genitnya nggak ketulungan. "Itu ya masih, kan siapa tahu Ra bisa dapet yang lebih, ya nggak?" cengir Juwita yang membuat Naura geleng-geleng kepala. "Udah nggak usah aneh-aneh, kerja aja yang bener. Maafin teman saya ya Dok," ucap Naura tak enak dengan tingkah temannya itu. "Ih suka-suka gue lah Ra. Dok istrinya cantik ya?" tanya Juwita penasaran. Kening Arkan mengernyit kemudian mengangguk mengiyakan pertanyaan Juwita. Renata, istrinya memang cantik, sangat cantik. Dengan kulit putihnya yang cerah dan tidak pucat, rambut panjang, badan yang proporsional, tidak kurus tapi tidak gemuk juga. Dia pandai merawat diri, dengan pakaian bagus dan rapi tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa istrinya itu jelek. Tapi dari segala kesempurnaan itu, belum bisa membuat Arkan jatuh cinta. Entah karena apa. Arkan menyadarinya, dan menurutnya itu tak masalah mengingat mereka memang menikah bukan di dasari rasa saling mencintai. Asalkan dia tidak melakukan kekerasan pada Renata, menurutnya masih aman. *** Satu bulan sudah Arkan berada di Semarang, sudah dua kali ia pulang ke Jakarta menemui istrinya. Seandainya boleh jujur Arkan bahkan bisa tidak pulang barang satu atau dua bulan. Tetapi dia menghargai Renata sebagai istrinya. Yang harus dia beri nafkah lahir dan batin, Arkan tak mungkin melupakan tanggung jawab utamanya sebagai seorang suami. "Dok ini daftar pasien dengan riwayat sakit jantung yang baru masuk ke rumah sakit ini. Mereka minta di tangani oleh dokter Arkan langsung." Lapor Bintang kepada dokter seniornya itu. "Baik Bi, besok saya akan datang lebih pagi. Malam ini saya mau pulang dulu, saya ngantuk berat. Mereka ini sudah masuk ruang rawat kan?" "Sudah Dok, sudah mendapat penanganan dari dokter UGD dan saya tadi." "Ya sudah, saya pulang dulu ya. Kamu juga jangan pulang terlalu larut. Besok siang ada operasi kamu harus ikut saya." "Baik Dok. Ehm..., maaf Dok, sebenarnya ini sedikit menyimpang dari prinsip dokter Arkan yang tidak mau membeda-bedakan pasien dari segi sosial, tetapi ada satu pasien yang ingin bertemu dengan dokter secepatnya. Beliau adalah pasien VVIP, beliau adalah salah satu orang penting di kota ini, selain menjabat di pemerintahan beliau juga salah satu petinggi partai yang lumayan besar. Apa dokter tidak keberatan, ini permintaan beliau langsung?" Jelas Bintang. "Saya tidak bisa berjanji, tapi akan saya usahakan. Kalau begitu saya permisi dulu, Selamat malam." "Selamat malam juga Dok, hati-hati di jalan." *** Renata melepas sepatunya dan menaruhnya secara sembarangan, hari ini dia merasa tubuhnya terasa sangat lelah. Menjadi orang nomor satu di rumah sakit itu menguras tenaga dan pikirannya. Harinya tak sesantai dulu saat hanya menjadi seorang psikolog di sana. Renata merebahkan diri meringkuk di sofa biasanya ia bersantai dengan sang suami. Renata menghirup aroma samar dari tubuh sang suami yang tertinggal di sana. Air mata Renata menetes, bukan menangis karena lelah, melainkan karena rindu. Dia merindukan suaminya, Arkan memang pulang beberapa hari lalu. Untuk menunaikan kewajibannya. Hanya saja Renata lelah, sampai kapan dia harus menjalani kesendirian ini? Renata menatap ponsel yang tergeletak di atas sofa. Lalu dia usap kasar air matanya. Kenapa tidak dia telpon saja Arkan, dirinya lebih dari berhak untuk sedikit merecoki pekerjaan atau meminta waktu suaminya itu barang sebentar. Tapi seketika Renata ragu, apa yang hendak ia ucapkan nanti saat Arkan sudah menjawab panggilannya. Saat ini sedang tidak ada urusan pekerjaan yang perlu ia tanyakan. Selama satu bulan ini Renata memang beberapakali menghubungi Arkan karena ada dari beberapa bagian peraturan rumah sakit yang belum bisa ia pahami. Tapi jika hanya menghubunginya sekedar untuk mengingatkan makan, atau bertanya sedang apa? Renata tak pernah melakukan hal se-receh itu. Selama ini mereka menggunakan ponsel hanya untuk mengabari jika ada yang pulang malam atau menyesuaikan jadwal saat ada acara yang harus mereka hadiri secara bersamaan. Renata mengurungkan niatnya, dia lalu berjalan gontai menuju kamar. Mencharger ponselnya dan ia tinggal berendam di kamar mandi. Menangisi perasaan sepi yang ia rasakan hingga puas, dia lelah harus menahan rasa rindu ini sendirian. Renata tertidur lelap setelah berendam cukup lama di kamar mandi, bahkan dia melewatkan makan malamnya. Hingga ia merasakan perutnya yang terasa perih di pagi harinya, mag-nya kambuh, itu pasti. Dia segera mencari botol obat yang Arkan resepkan untuknya ketika sakitnya itu datang. Gaya makannya yang terlalu suka pedas kala remaja merusak salah satu organ penting di tubuhnya. Renata lega menemukan botol obat itu di laci barang milik Arkan. Tapi sayang botol kecil itu telah kosong. Renata baru ingat, Arkanlah yang mengosongkan botol itu dengan menuangkannya ke kloset saat tahu sesekali Renata nekad makan pedas dengan mengandalkan bisa meminum obat itu setelahnya. Renata meringis sambil memegangi perutnya. Dia akan kerumah sakit secepatnya dan meminta obat dari sana nanti. Hari ini rencana acaranya lumayan padat, selain harus memimpin rapat dengan seluruh staf rumah sakit, dirinya juga ada janji dengan beberapa pasien hari ini. Setelahnya dia ingin bertemu dengan seseorang, dia butuh teman ngobrol untuk mewaraskan otaknya, tidak untuk memecahkan masalahnya, sebagai seorang psikolog sebenarnya dia tahu mana yang baik dan yang tidak untuk dirinya. Hanya saja ia enggan untuk mekakukan itu. Beruntung setelah meminum obat tadi perutnya langsung membaik hingga ia bisa menjalankan agendanya dengan baik. Hingga malamnya ia tiba di sebuah kafe dengan senyum merekah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD