Enam

1093 Words
"Kenapa nggak bilang si Re kalau kamu mau ke sini, tadi aku cariin ke rumah sakit kamunya nggak ada. Untung Mama kirim pesan kalau kamu lagi ada di sini," ucap Arkan begitu menemukan sang istri di rumah orang tuanya. "Maaf Mas, aku spontan aja tadi tiba-tiba pengin kesini, kebetulan aku lagi nggak ada jadwal konsultasi dengan pesienku," jawab Renata sambil menyelesaikan acara masaknya di dapur sang mertua. "Re...." "Ya?" "Aku harus kembali ke Semarang siang ini." "Oh, y... ya udah nggak apa-apa. Tapi buat makan siang dulu di sini sempat kan?" Arkan mengangguk. "Aku ke kamar si kembar dulu ya Re." "Iya Mas, nanti kalau makanannya udah siap aku panggilin kamu." Sesudahnya Renata hanya bisa tersenyum getir. Sesingkat itu pertemuannya dengan sang suami. Saat jam makan siang sudah tiba, yang Renata lakukan ialah sibuk menyuapi keponakan-keponakannya. "Biarin di suapin sama pengasuhnya aja Re, kamu makan aja sini," ajak Aliya sang kakak ipar. "Bentar lagi Mbak, mereka makannya pinter banget, bikin gemes, aku nggak bisa berhenti kalau belum habis." "Yo wis lah, sakarepmu." Arkan yang sudah selesai dengan makan siangnya mengambil piring baru lalu ia isi dengan nasi dan lauk, kemudian duduk bersila di samping Renata yang tengah sibuk dengan dua balita yang tengah ia suapi dengan bubur tim buatan Renata sendiri. "Makan dulu Re." "Nanti aja Mas." "Aaak." Renata tak bisa menolak saat sendok berisi nasi dan lauk itu sudah berada tepat di depan mulutnya. Pemandangan itu membuat ibu dan kakak perempuan Arkan tersenyum. Lega melihat ternyata Arkan dan Renata baik-baik saja. Ibunya sempat berprasangka buruk tadi saat melihat mata memerah Renata yang habis menangis. Desi ibu dari Arkan sudah menganggap Renata seperti puteri kandungnya sendiri, dia sangat-sangat takut kalau sampai anak dan menantunya bertengkar apalagi berpisah, dia tak mau kehilangan Renata sebagai anak dan menantunya. Keluarga Arkan maupun Renata selama ini tak pernah tahu bahwa Arkan belum bisa mencintai istrinya, karena mereka memang terligat baik-baik saja seperti pasangan suami isteri pada umumnya. Tetapi semua hal manis yang Arkan lakukan pada Renata hanyalah naluri melindungi yang ada pada jiwa lelakinya. Tidak ada alasan untuknya berbuat hal buruk pada sang istri. Selepas dari rumah orang tuanya Arkan bergegas pergi ke bandara, meninggalkan sang istri yang masih betah bermain bersama keponakannya. Arkan tak bisa menginap lagi karena keesokan paginya ada operasi yang harus ia lakukan, pemasangan ring di di jantung salah satu pasiennya. Gaya hidup dan pola makan yang buruk membuat beberapa pasiennya yang bahkan masih berusia muda harus sudah melakukan prosedur itu. *** Sesampainya di Semarang Arkan langsung menuju rumah sakit karena kebetulan hari masih cukup sore untuk melakukan pemeriksaan harian pada pasien-pasiennya yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit itu. Saat tiba di ruangan tempat salah satu pasiennya di rawat, dia mendapati ruangan itu sepi. Saat sudah sampai di sana ternyata dua orang yang ada di dalamnya tengah tertidur. Arkan menggelengkan kepala melihat seorang wanita tengah tertidur dengan posisi terlentang. Tanpa sadar Adam tersenyum melihatnya. Hari ini sudah genap satu minggu sudah Pak Indra berada di rumah sakit. Sebenarnya beliau sudah di izinkan untuk pulang, hanya saja karena Arkan tak ada di tempat beliau menundanya hingga besok pagi. "Maaf Pak, mengganggu istirahatnya," ucap Arkan saat Pak Indra terbangun saat dia mendekat ke ranjang pasien. "Tidak apa-apa Dok, saya ketiduran. Dokter sudah tidak perlu memeriksa saya lagi, saya sudah sehat. Hanya saja saya belum mengucapkan terimakasih pada dokter Arkan yang telah membantu kesembuhan saya, jadi saya belum bisa pulang," ucap Pak Indra sambil tertawa renyah. "Iya Pak, saya juga turut senang melihat Bapak sudah sehat kembali." "Begini Dok, sebagai ucapan terimakasih, saya akan mengundang dokter makan siang di rumah saya di hari minggu nanti. Apa dokter tidak keberatan?" "Maaf Pak, bukannya saya keberatan, saya justru senang atas kebaikan hati Bapak. Hanya saja Bapak tidak perlu berterimakasih sejauh itu sama saya, ini sudah menjadi tanggung jawab atas profesi yang saya jalani. Saya tidak mau merepotkan Bapak. " "Tidak merepotkan sama sekali, karena bukan saya yang memasak. Saya justru akan merasa sangat terhormat sekali seandainya Dokter mau mengunjungi rumah sederhana saya." "Baik Pak, nanti saya usahakan datang. Bapak beri tahu saja saya alamatnya," jawab Arkan akhirnya, dia merasa tak enak hati bila menolak terang-terangan pada orang tua di depannya ini. "Ra...!" "Maaf Pak, sepertinya Dhara tertidur." "Ya ampun, maaf Dok bisa tolong di bangunkan, ponsel saya ada di dia untuk kirim alamat rumah kami ke Dokter." "Oh, i...iya sebentar Pak." Arkan menghampiri Dhara yang tengah tertidur di sofa, menggoyangkan sedikit tangannya untuk membangunkan gadis itu. "Ra... bangun." Arkan akhirnya memanggil nama gadis itu karena tak kunjung merespon pergerakan tangannya. Dia mengetahui nama gadis itu dari cerita kedua orang tuanya, mereka tak pernah berkenalan secara langsung. "Eummmhh." "Ayahmu memanggil." Dhara segera membuka matanya saat bukan suara yang ia kenal yang terdengar membangunkannya. "Dokter?" "Ayahmu meminta ponselnya." "Oh, baterainya habis Pah," ucap Dhara pada ayahnya sedikit keras. "Ya sudah, kamu sherlock rumah kita ke ponsel Dokter Arkan ya!" "Iya Pah. Nomornya Dok," pinta Dhara sambil mengulurkan ponsel pada dokter Arkan. Dengan ragu ia mengambil ponsel Dhara dari tangan gadis itu. Ini bukan sesuatu yang baik, hanya saja ia tak enak hati untuk menolak. Arkan menyadari perasaannya yang salah. Satu minggu ini mengunjungi kamar rawat itu menjadi satu hal yang membuat jantungnya berdebar, debaran bahagia yang tak seharusnya terjadi. Dia dokter ahli jantung, sangat paham akan apa yang membuat jantungnya berdebar tak normal seperti ini. Dan jawabannya hanya satu, dia tertarik secara hati dan bahkan mungkin secara seksual pada gadis bernama Dhara Amelia di depannya. Arkan sudah berniat melupakan perasaan ini setelah mereka keluar dari rumah sakit nanti, Arkan masih sadar dia sudah menikah dan mempunyai istri, walaupun Arkan belum bisa mencintainya, tetapi dia berkewajiban menjaga keutuhan rumah tangganya. Sayangnya sepertinya itu tidak akan mudah, dia merasa takdir membawanya terlalu dekat pada Dhara. "Dok, udah kan?" pertanyaan Dhara menyadarkan lamunan Arkan, dengan ponsel Dhara yang madih ada di tangannya. "Sudah." "Kebetulan dokter kasih nomor ponsel, nanti saya hubungi dokter ya. Snelli dokter belum saya kembalikan soalnya." Arkan hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban, setelahnya dia pamit undur diri dari ruangan itu. *** Sore harinya Renata pulang ke apartemennya, menghampiri lagi sebuah suasana bernama sepi! Renata membuka lemarinya, mengambil beberapa bajunya dan memasukannya ke dalam tas. Dia sudah tak sanggup berada dalam kesendirian terlalu lama. Dia ingin pergi keluar, dan tujuannya adalah rumah orang tuanya. Di sana tak kalah rame dari rumah sang mertua, ada keponakannya juga walau cuma satu. Renata tersenyum sendiri membayangkan nanti dia ada teman tidur, walaupun harus rela menempuh perjalanan ke sana selama dua jam. Setidakya dia tak akan merana sendirian tinggal di kotak beton itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD