'Keluarga ini begitu sempurna, bahkan tidak ada keluarga yang sehangat ini. Keluarga yang membuatku banyak belajar apa itu kehidupan, keluarga yang membuatku mengerti apa itu kesakitan dan kesenangan.
Aku tidak berharap lebih, hanya ingin semua yang ku miliki tidak hancur. Akan tetapi, sampai kapan aku bertahan? Menutupi perasaanku sendiri dan mengemban beban berat ini? Aku ingat kata-katanya saat itu, bahkan aku ingat wajahnya yang begitu marah. Dulu, aku akan ketakutan.'
Seorang pria menatap lembaran kertas yang sedari tadi ia tulis, bahkan mengungkapkan semua bebannya pada selembar kertas ia tidak bisa. Dihelanya napas, lalu ia kembali menatap kertas yang menjadi teman berbagi penderitaan.
“Aku bahkan tidak percaya padamu, kertas.” ia kembali tersenyum kecut. Ia memang begitu, baginya untuk berbagi beban kepada selembar kertas begitu sulit, apalagi dengan orang lain. Cancri, dialah pria itu.
“Kau belum tidur juga?” seorang wanita masuk, ia mengenakan gaun tidur dengan warna putih. Cantik, berambut panjang dengan bibir mungil menggemaskan. Lizzy, istri Cancri. Mereka menikah saat usia muda, awalnya hanya untuk sebuah bisnis namun rasa cinta mengalahkan uang sebesar apapun.
“Kau seharusnya tidur, Lizzy.” jawab Cancri, pria itu merobek kertas yang tadi ia tulis lalu membakarnya dengan api pada lilin di atas meja. Ia tidak pernah membiarkan satu orang pun tahu perasaannya, bahkan kertas hanya sebagai media sementara lalu akan hangus terbakar. Cancri menatap istrinya, wanita yang baru berumur dua puluh lima tahun dan sudah menjadi istrinya dalam enam tahun terakhir.
Lizzy menatap abu di atas lantai, bahkan Cancri masih begitu tertutup walau mereka saling mencintai. Hati kecilnya begitu terluka, namun ia menghargai suaminya yang belum siap berbagi cerita. Lizzy mendekati Cancri, lalu memeluk pria itu dari belakang. Rambut Cancri yang menebar aroma mint begitu menenangkan, bahkan ia memejamkan matanya beberapa menit dan hampir saja terlelap.
“Kembalilah ke kamar, temani anak-anak.” titah Cancri.
“Kau akan pergi, lagi?” tanya Lizzy. Ia tidak rela jika pria itu terus pergi dan menjauh darinya, ia hanya ingin Cancri meluangkan waktu untuknya dan memanjakannya.
“Lizzy, aku memiliki banyak tanggung jawab.” jawab Cancri.
“Apa aku bukan tanggung jawabmu? Apa aku bukan istri dan ibu dari kedua anak kembarmu?” tanya Lizzy.
Cancri diam, dia benci terpojok seperti saat ini. Pria itu memilih pergi, ia perlu ruang kosong untuk berpikir.
“Kau akan pergi ke mana!” ujar Lizzy agak keras. Suara wanita itu bergetar, ia hampir saja menangis.
“Aku harus mengurus sesuatu malam ini. Tidurlah, jangan mencurigaiku lagi, Lizzy.” jawab Cancri. Pria itu pergi, ia tidak peduli pada isakan tangis yang Lizzy suarakan, baginya tugas saat ini lebih penting dari apapun.
‘Kau harus menjadi orang yang bertanggung jawab. Ingat, nyawa mereka semua ada ditanganmu, Cancri.’
Cancri mengepalkan tangannya, ia ingat kata-kata itu. Kata yang diucapkan seseorang saat ia berumur satu tahun, ia bahkan benci memiliki ingatan yang begitu kuat, ia juga benci akan kejeniusannya yang terlalu tinggi bahkan membuatnya menderita.
‘Andai aku orang yang bodoh,’ ujar Cancri di dalam hati. Pria itu terus melangkah menuju pintu keluar, ia bahkan tidak peduli pada pandangan ibunya yang baru saja keluar dari ruang bawah tanah.
“Cancri! Kau akan ke mana?” tanya Chaeri, ibunya.
“Menjalankan perintah Daddy, Mom.” jawab Cancri tanpa menghentikan langkahnya. Pria itu berhasil keluar, matanya menatap kawasan luas yang menjadi tempat tinggal mereka.
“Kakak akan pergi?” tanya seorang pria.
“Ya, ada beberapa hal yang harus Kakak pastikan. Berjagalah, kau pasti tahu jika Luzia akan kabur dan nekat menemui Rysh malam-malam begini.” jawab Cancri. Pria itu menatap adiknya, ia tersenyum hangat.
“Aku memang tidak bisa melawanmu Kak, tapi Luzia akan menggunakan ribuan cara untuk melarikan diri.” jawab pria tadi.
“Lauye yang malang, apa Kakak perlu mengutus salah satu eksekutif tinggi Golden Snake untuk membantumu?” tanya Cancri.
Lauye menatap Cancri kesal, “Untuk apa Kakak mengundang salah satu pria gila itu ke sini? Mereka menjijikan!” ujar Lauye kasar.
“Tentu untuk membantumu, Adik.” jawab Cancri tanpa dosa. Ia hampir tertawa saat Lauye berdecak kesal padanya, itu hiburan yang baik untuk mengembalikan keadaan hatinya yang hancur.
“Aku bisa mengerjakannya sendiri, Kak.” jawab Lauye.
“Baiklah, Kakak harus pergi. Ada seseorang yang harus Kakak temui,” ujar Cancri.
“Pergilah, dan jangan kembali!” maki Lauye pada saudara kembarnya itu.
Cancri sama sekali tidak peduli, pria itu dengan cepat masuk ke dalam mobilnya dan pergi dengan cepat. Ada banyak hal yang harus ia tangani malam ini, ada banyak pertemuan yang harus ia hadiri.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara mudah, ia harus bisa merelakan waktunya bahkan menomor satukan tanggung jawabnya. Ia bukannya tidak mencintai Lizzy, namun ia memang tidak bisa membuang waktunya.
‘Hanya kau yang tahu hal ini, Cancri.’
Suara itu kembali ia dengar, bisikan masa lalu yang begitu mengerikan. Cancri menggeleng pelan, saat ini ia harus menemui sahabatnya dan mencari jalan keluar untuk bebas dari masalah ini. Tanpa ia ceritakan, sahabatnya pasti sudah mengerti akan dirinya. Cancri terus melajukan mobilnya, ia bahkan tidak peduli saat beberapa kali ponselnya berdering. Tidak penting, hanya itu yang ia pikirkan.
…
Berbeda dengan Cancri, saat ini Lizzy hanya bisa tertunduk lesu. Ia tidak lelah mencintai suaminya, ia mengerti bagaimana keadaan Cancri dan apa yang menjadi tanggung jawab pria itu. Wanita itu menatap kedua anaknya yang masih terlelap, rasa lelah dan putus asa di hatinya memudar.
“Ayah kalian, benar-benar sibuk,” ujar Lizzy pelan. Ia membelai surai kedua anaknya, lalu tersenyum lembut. Wanita cantik itu mencoba untuk membaringkan tubuhnya, ia merasa lelah, ia ingin tidur dan merangkai mimpi indahnya.
“Kakak …” seseorang membuka pintu, gadis berumur sama dengan suaminya, wajah asia begitu kental dan menjadi daya tarik tersendiri bagi gadis itu. Dia adalah Luzia, adik ipar Lizzy.
“Luzia? Ada apa dengan wajah cemberutmu?” tanya Lizzy.
“Kakak, Lauye jahat!” ujar Luzia, ia menutup pintu dan berjalan pelan. Matanya menatap dua keponakan cantiknya, ada rasa tenang di hatinya.
Lizzy memilih duduk, dia merentangkan tangannya, bersiap memeluk adik iparnya yang sangat manja itu.
Dengan senang hati, Luzia memeluk Lizzy. Bahkan ada isakan kecil dari gadis manja itu. Lizzy mengelus punggung Luzia pelan, ia akan mendengarkan curahan hati gadis itu lagi sekarang.
“Ada apa? Kenapa kau menangis, Luzia?” tanya Lizzy.
“Kakak Lauye menghalangi jalanku, aku ingin bertemu Rysh dan bertemu dengan Grandpa, Grandma, para Daddy dan tentu Mommy Lica.” jawab Luzia.
Lizzy terkekeh pelan, Luzia mulai menyukai seorang pria dan parahnya pria itu adalah eksekutif menengah Roulette, “Jadi, kau benar-benar menyukai Rysh?” tanya Lizzy.
“A-apa? Kakak, jangan sembarangan bicara.” Luzia melepas pelukannya pada Lizzy, ia memilih bersimpuh dan meletakan kepalanya di pangkuan Lizzy.
“Biasanya kau akan bermanja pada Daddy White, ada apa denganmu malam ini, Luzia?” tanya Lizzy.
“Daddy berubah dingin lagi, Kak. Aku takut, apalagi saat mata Daddy memandangku. Auranya begitu berbeda, itu menyeramkan.” jawab Luzia.
Lizzy tidak banyak bertemu dengan ayah mertuanya, ia hanya sesekali bertemu saat jamuan makan keluarga, selebihnya, tidak pernah. Apa yang Luzia katakan saat ini terasa tidak masuk akal bagi dirinya, pasalnya, White yang ia kenal adalah ayah dan suami yang begitu mencintai keluarga. Ada banyak kejanggalan yang tidak bisa Lizzy jelaskan, keanehan Cancri dalam beberapa hari ini bahkan Luzia yang terlihat begitu takut kepada ayahnya sendiri.
“Luzia, coba ceritakan masa kecil kalian.” pinta Lizzy. Ia memang sering mendengar kisah-kisah masa kecil suaminya dan kedua adik iparnya. Namun, saat Lizzy menatap mata Cancri, ia hanya menemukan kekosongan di sana. Sesenang apapun cerita yang Cancri katakan padanya, namun binar mata suaminya tetap terlihat datar.
“Kakak,” ujar Luzia pelan, “Cerita yang Kakak dengar dariku, akan sama dengan yang Kakak Cancri ceritakan.” jawab Luzia.
Lizzy hanya mengangguk, ia memang menginginkan hal berbeda dari cerita yang Luzia sampaikan padanya. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan kehendaknya. Wanita itu memilih diam, tangannya tetap membelai surai panjang Luzia.
“Tidurlah, Luzia. Kakak yakin kau sudah mengantuk, bukan?” tanya Lizzy.
“Kakak, aku ingin tidur di pelukan Rysh.” jawab Luzia seenaknya.
Mendengar jawaban adik iparnya, Lizzy hanya bisa menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana Luzia bisa menyukai pria berwajah datar seperti Rysh, apa yang Luzia lihat dari pria yang lebih mirip seperti penggaris itu? Baru saja ia ingin bertanya, namun Luzia mendadak gelisah. Gadis itu cepat-cepat berdiri dan mencium pipi Lizzy, ia melangkah pergi secara buru-buru bahkan tidak menutup pintu.
“Lu-” baru saja ia ingin memanggil Luzia, namun kedua anaknya bangun dan langsung memeluknya. Hal itu jelas membuat Lizzy kebingungan, ia menatap kedua putri kembarnya. Walau tidak menangis, namun tubuh kedua anaknya terasa mendingin.
“Sayang, kalian kenapa?” tanya Lizzy. Ia berharap sebuah jawaban, namun kedua bocah berumur tiga tahun itu menggeleng cepat. Keduanya hanya diam, dan terus memeluk Lizzy.
“Mom, Tania lapar.” ujar seorang di antara mereka.
Lizzy mengembuskan napasnya pelan, hanya karena lapar kedua anaknya terbangun.
“Mom, Rania haus.” keluh si bungsu.
“Baiklah, ayo berdiri. Mommy akan memasakan kalian makanan dan membuatkan kalian susu.” Lizzy berdiri, ia mengulurkan kedua tangannya dan dengan senang hati si kembar menyambutnya. Ketiganya bergegas keluar dari kamar, keadaan mansion yang sepi sama membuat mereka lebih leluasa. Biasanya, para pelayan akan berada di setiap sudut ruangan. Namun, saat malam hari hanya keluarga inti Snake yang berada di mansion itu.
…
Cancri terlihat gelisah, pria itu menghentikan laju mobilnya di tengah jalanan sepi. Ia berkeringat dingin, rasanya begitu menyiksa bahkan ia membayangkan hal-hal gila. Mata pria itu terpejam erat, ia bahkan mengepalkan tangannya erat. Sial, masa itu akan tiba dalam waktu dekat, dan dirinya harus menyakiti istrinya lagi. Cancri selalu menyiksa dirinya selama ini, ia berusaha untuk tidak menuruti nafsu gila yang selalu datang saat masa kawin bagi para ular. Ia hanya akan menyentuh Lizzy sekali, atau dua kali dalam satu bulan. Ia tidak ingin menyiksa istrinya untuk bercinta satu bulan penuh.
“Sial!” maki Cancri pelan. Ia merasakan kejantannya mengeras, begitu menyiksa dan kulitnya berubah semakin pucat. Cancri membuka celananya, terasa begitu sesak dan itu menyakitkan. Ia bahkan memejamkan matanya dan dengan cepat menjalankan mobilnya. Pria itu menggigit bibirnya, rasanya semakin menyiksa.
Belasan menit berlalu. Saat ini Cancri berada di sebuah pintu gerbang tinggi, ia melajukan mobilnya lagi dan memasuki kawasan mansion utama Roulette. Ia harus menemui Salazar, janjinya kepada sang sahabat harus ditepati.
Cancri berhenti di parkiran, mobil-mobil mewah berjejer rapi. Cancri kembali memasang celananya, pria itu menarik napas panjang lalu keluar dan melemparkan kunci mobilnya kepada salah satu mafioso.
“Di mana Salazar?” tanya Cancri kepada penjaga pintu.
“Tuan Salazar berada di kamarnya, Tuan Cancri.” jawab mafioso penjaga pintu.
Tidak menjawab, Cancri segera melangkah. Ia menuju kamar Salazar, bahkan ia tidak peduli pada pandangan beberapa pelayan wanita yang menatap dirinya penuh kekaguman. Pria itu menaiki anak tangga, ia berpapasan dengan seorang gadis bersurai panjang. Tidak peduli, walau kejantanannya semakin mengeras kala mencium aroma tubuh gadis tadi tetapi Cancri masih memegang teguh kesetiaannya pada Lizzy.
Setelah berjalan beberapa menit, Cancri berdiri di depan pintu kamar Salazar. Ia langsung saja membuka pintu, menatap sahabatnya yang sedang berbaring di atas ranjang.
“Pria aneh ini, aku sudah lama menunggu.” Salazar melempar kaleng soda kepada Cancri.
Cancri yang mendapat sambutan demikian segera menyambut kaleng soda yang Salazar lemparkan, ia menatap kaleng itu dan tersenyum. Kaki Cancri menuju ke arah ranjang, lalu ia berbaring dan memejamkan matanya erat.
“Ada apa denganmu? Musim menyenangkan itu kembali datang?” tanya Salazar.
“Kau pikir itu menyenangkan? Aku harus memperkosa istriku sendiri karena gen yang Daddy wariskan!” ujar Cancri agak kesal. Pria itu tidak berniat untuk membuka mata, ia menahan nafsunya sendiri bahkan menekan keinginan tubuhnya yang semakin panas.
“Kenapa tidak memperkosa para jalang di mansion lamamu? Mereka pasti dengan suka rela melayanimu.” Salazar menyeringai. Ia yakin Cancri sebentar lagi akan mengomelinya dan membeberkan tentang kesetiaan pada seorang istri.
“Salazar, aku bukan Daddy Xavier.” jawab Cancri agak malas. Pria itu merebut guling yang dipeluk Salazar, ia menahan tawa bahagia kala melihat wajah kesal sahabatnya. Ia sedang tidak ingin membicarakan tentang kesetiaan kepada sahabatnya, lebih tepatnya ia ragu bisa menjaga nafsu birahinya saat ini. Rasanya begitu berbeda, ia bahkan sedari tadi membayangkan jika Salazar adalah seorang gadis.
“Kenapa kau menatapku begitu hah?” tanya Salazar, “Jangan katakan kau kembali membayangkan aku menjadi seorang gadis, Cancri.” lanjut Salazar.
“Ya, kau seperti seorang gadis dengan rambut putih panjangmu.” jawab Cancri.
Salazar menahan rasa kesal pada sahabatnya, ia berhenti saat mendengar ketukan pintu bahkan suara ribut di luar sana membuat kedua pria itu saling tatap. Keduanya berdiri, Cancri masih menahan rasa sesak yang ada di balik celana panjangnya.
Pintu terbuka, seorang mafioso berdiri dan menunduk takut. Di belakangnya, Lauye menatap kakaknya agak takut.
“Ada apa ini, Lauye?” tanya Cancri.
“Kakak, Luzia hampir memperkosa seorang eksekutif menengah!”
Mendengar laporan Lauye, Salazar tertawa begitu kencang. Pria itu bahkan memegang perutnya, menatap wajah Cancri yang saat ini lebih terlihat seperti orang i***t. Ia yakin, Cancri belum tahu jika Luzia sering menyeret beberapa bawahannya ke ranjang saat musim kawin para ular.
“Siapa yang hampir menjadi mangsa gadis dungu itu?” tanya Cancri.
“Rysh!” jawab Lauye cepat.
Setelah mendengar jawaban Lauye, Cancri bergegas pergi. Ia tidak menyangka jika Luzia tidak bisa mengendalikan dirinya saat ini. Yang ia tahu, Luzia akan mencari mainannya sendiri dan tetap menjaga image-nya di depan para anggota Roulette.
“Kita tangani dia!” ujar Cancri. Ia juga yakin Lauye merasakan hal yang sama, namun bagi mereka berdua Luzia lebih penting untuk diselamatkan lebih dulu.
“Tunggu aku!” teriak Salazar saat sahabatnya sudah berada agak jauh darinya.