Dengan hati yang gugup, Safa hanya bisa tertunduk memerhatikan para lawan bicaranya yang memandang. Mereka tak berhenti bercakap mengenai dirinya. “Ma syaa Allah geulis pisan,” katanya. Meski membicarakan dengan Bahasa Sunda, Safa masih bisa tahu maknanya. Hanya saja tak bisa menjawab dan diwakili oleh Amih, terkadang Safa menimpali menggunakan Bahasa Indonesia. Lucu memang, tetapi bagaimana lagi keseharian Safa terlalu banyak di kota sehingga lebih sering menggunakan bahasa negaranya. “Ayo, Neng mampir,” sapanya sopan. “Muhun, Ibu.” Safa pun tak kalah ramah. “Di sini sudah seperti keluarga. Jangan heran jika memang banyak yang mengajakmu nanti,” kata Amih memberitahu. Safa mengangguk mengerti dan tibanya di rumah, Safa langsung ke kamar untuk beristirahat. Jika tidak ada Amih, Safa