“Anu, Yah, tadi Safa kebelet jadi lari ke kamar mandi sini karena di kamar mandi Safa ada Azril.” Ia menjawab ragu seraya dalam hatinya meminta maaf karena berbohong.
Marlan memicingkan matanya heran. Sedikit masuk akal apa yang dikatakan putrinya, tetapi pandangannya tak lepas dari isi ruangan yang terlihat berantakan.
“Lalu kamarnya kenapa-”
Belum selesai bicara, Bi Inah sudah memotong kalimatnya terlebih dahulu. Ia tahu jika tuannya menaruh curiga, tetapi sebisa mungkin ia harus membereskannya.
“Ah, iya maaf, Tuan. Ini kesalahan saya karena tadi pagi lupa menutup jendela kamar jadi tikus masuk dan menimbulkan kerusuhan. Nanti akan saya rapikan, Tuan.” Bi Inah pun terpaksa berbohong untuk membatu nona mudanya yang sedang gugup sekarang.
Marlan menghela napas. “Hmm, lain kali jangan teledor, ya, Bi. Setelah ini tolong dibereskan lagi dan Safa segera kembali ke kamarmu.”
Safa masih mematung dan mengangguk dengan terpaksa. Padahal, ia baru berniat untuk tidur di sini, tetapi sudah tertangkap basah oleh ayah dan tidak mungkin melanggarnya.
Setelah kepergian ayah pun, Safa masih terdiam. Ia belum siap satu kamar dengan Azril dan ingin menjauh dari hadapannya. Namun, keyakinan Bi Inah berhasil meruntuhkan hatinya hingga ia melangkah menuju kamar dengan malas.
Pintu terbuka dan terlihat Azril sudah berganti pakaian yang berdiri tepat di hadapan. Keduanya terpaku, terutama Azril melihat wajah Safa yang agak sembab. “Safa, kamu habis menangis?”
“Bukan urusanmu!” Safa membalas jutek dan melalui Azril begitu saja.
Ia segera mengambil pakaian di lemari dan bergegas menuju kamar mandi. Hatinya masih berdecak kesal jika berhadapan dengan Azril. Wanita itu mengguyur tubuhnya agar lebih tenang dan segar.
Setelah selesai, Safa keluar dengan pakaian tidurnya. Hatinya meragu saat hendak menaiki ranjang. Ia pun mengambil bantal serta selimut dan berjalan menjauhi Azril.
“Kamu mau ke mana?” Azril mengernyit saat Safa menghindarinya.
Safa pura-pura tidak mendengar dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Ia malas berdebat karena tubuhnya sudah terlalu lelah. Hati dan pikirannya butuh istirahat yang cukup sebelum kembali menjalani kenyataan yang lebih berat.
Sedangkan Azril yang memerhatikan langkah Safa sangat tidak tega. Ia tahu jika Safa belum siap dan pasti tidak akan mau tidur satu ranjang dengannya.
“Safa, bangunlah! Pindah ke atas, biar aku yang tidur di sini,” kata Azril yang sudah berdiri didekatnya. Namun, Safa tak langsung merespon dan Azril tidak mungkin membiarkan wanitanya tertidur di atas sofa yang sempit. “Hmm, aku tahu, kau mau aku pindahkan dengan cara digendong ala princes, ‘kan? Baiklah!”
Belum juga mendekat, Safa sudah meninju wajah Azril dengan keras. Ia tidak tuli dan mendengar ucapan Azril hingga Safa lebih dulu sadar sebelum Azril menyentuh tubuhnya.
“Tidak usah mengambil kesempatan,” tegas Safa marah, lalu bangkit dan pindah ke atas ranjangnya.
“Aduh, pukulannya mantep juga.” Azril memegangi hidungnya yang terasa nyeri, tetapi ia tidak marah dan justru terkekeh melihat wajah Safa yang semakin cantik saat marah.
Seketika Azril pun membaringkan tubuhnya di atas sofa. Sempit memang, tetapi tidak apa. Secara perlahan, ia pasti bisa membuat hati Safa luluh. Tidak ada yang tidak mungkin karena Allah yang membulak-balikkan hati manusia.
Waktu pun cepat berlalu, suara panggilan menggema di telinga membuat Safa terusik dan bangun dari tidurnya. Seperti biasa, ia langsung bergegas ke dalam kamar mandi untuk mengambil wudu.
Saat mengambil mukena, pandangannya menangkap sofa yang sudah kosong. Tidak ada Azril di sana bahkan bantal dan selimut sudah terlipat rapi. Entah di mana keberadaannya, Safa tidak peduli.
Usai menunaikan kewajiban, Safa membereskan kamar, lalu membersihkan diri dan berganti pakaian dengan rapi. Kemudian bercermin untuk merapikan hijabnya yang sedikit meleyot dan seketika pintu kamar terbuka membuatnya refleks menoleh.
“Ma-af, aku pikir kamu belum bangun,” ujar Azril sedikit terkejut, terlebih melihat Safa yang sudah rapi. “Kamu mau pergi?”
Safa tak terlalu peduli dan fokus dengan dirinya yang sedang bercermin. Setelah rapi, ia bangkit dan mengambil tas selempangnya di dalam lemari.
“Safa.” Azril kembali bersuara karena tak mendapat jawaban darinya.
“Haruskah aku memberitahumu, Ril?” Safa membalas penuh penekanan tanpa menoleh ke arahnya. Ia sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tasnya.
“Aku berhak tahu, Fa, karena aku yang bertanggungjawab padamu sekarang.” Azril tak lepas pandangan dari Safa, memandang wanita itu dengan tulus.
“Tapi, maaf, ini urusanku,” tegas Safa melirik Azril dan melenggang pergi begitu saja.
Namun, seketika Safa tertegun saat tangannya dicekal oleh Azril. Ia berontak meminta dilepaskan dan pria itu justru semakin mengeratkan cekalannya. Safa kesal dan murka hingga berteriak keras.
“Lepaskan, Azril!” Safa meringis dan meronta meminta dilepaskan.
“Ingat, Fa, kamu istriku sekarang dan kamu tidak bisa pergi seenaknya tanpa izin seorang suami,” ujar Azril berbicara lembut pada Safa dan matanya menatap lekat wajah Safa yang berdiri di hadapan.
Safa meneguk saliva. Muak rasanya mendengar ucapan Azril yang seolah menganggap pernikahan itu nyata. Egois sekali pria itu yang tidak memikirkan perasaan Safa sekarang. Ia pun menggeleng hingga buliran bening keluar dari sudut matanya.
“Istri? Suami? Ingat, Ril, pernikahan ini hanya sementara dan aku tidak menganggap pernikahan ini nyata. Aku pastikan kita akan segera berpisah.” Safa terus menggerakkan lengannya agar bisa leas dari cekalan Azril.
Tidak peduli betapa rasa sakitnya daripada mengingat rasa sakit hati yang semakin melebar. Melihat dan berhadapan dengan Azril justru membuat Safa semakin tidak suka dengannya. Jangankan sekadar menatap, ia selalu murka saat mendengar namanya.
“Jangan berharap itu terjadi, Safa! Sadar, pernikahan bukanlah sebuah permainan yang bisa kamu pertaruhkan seenaknya.” Azril tidak ingin kalah, ia membalas dan menyadarkan Safa mengenai ucapannya yang salah.
Air mata Safa terus menetes. Dadanya pun sudah menyeruak sesak dan baru sehari hidup bersama, Azril sudah terlalu banyak mengatur hidupnya.
“Kamu lupa? Kamu itu cuma pengantin pengganti. Kamu jangan egois, seharusnya yang menjadi suamiku itu Mas Faqih bukan kamu!” bentak Safa kesal dan kembali menyentakkan lengannya keras. Ia tidak terima dengan perlakuan Azril yang kasar dengan amarah yang menggelora di dadanya.
Hening. d**a Azril berdenyut nyeri. Apa yang diucapkan Safa benar adanya, ia memang pengantin pengganti, menggantikan kekasih Safa yang tidak hadir dan bisa dikatakan hanya menjadi suami sementara.
Ia sadar akan hal itu, tetapi apa salahnya jika dirinya mengingatkan tentang kewajiban seorang suami dan semua yang terjadi pun sudah tertulis dalam buku nikah yang sah.
“Kenapa diam? Baru sadar?” Safa kembali bersuara sembari menghapus air matanya dengan ujung hijab. Emosinya pun menggebu dan ingin sekali meninju wajah Azril sepuasnya.
“Aku hanya ingin tahu kamu mau pergi ke mana, Fa?” Azril menyerah. Safa cukup keras kepala dan tidak ingin melihat dia semakin beban karena kehadirannya.
Safa menghela napas, cekalannya pun mengendur dan tatapannya begitu sinis ke arah pria yang berdiri di hadapan.
“Aku mau mencari Mas Faqih!”