Tubuh tinggi semampai seorang pria berjanggut tipis, baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Hanya ada handuk putih yang melilit dari pinggang hingga ke lututnya saja. Tangan kanan yang kekar nan berotot, terulur ke atas nakas. Napas berat berhembus dari mulutnya dan kata-kata keluar, saat ponsel diletakkan di dekat indra pendengarannya.
"What is it, honey? Kenapa kamu meneleponku malam-malam begini?"
"Give me more money, honey. Aku masih belum puas berbelanja di sini. Tapi uangku sudah habis," suara bernada rengekan, yang terdengar dari dalam ponsel, yang tengah digenggam oleh lelaki tersebut.
"Of course. I will send you more money. Apa sih yang tidak untuk kamu."
"Thank you sayang. Setelah puas berkeliling, aku akan segera pulang. Jangan nakal ya kamu di sana!"
"Tenang saja. Tidak akan. Ya sudah ya? Aku masih ada keperluan lain dan akan segera aku transfer uang belanja untuk kamu."
"Ok sayang! I love you!"
"Love you more."
Panggilan telepon diakhiri. Pas sekali dengan adanya telepon lain yang masuk. Senyuman menyeringai langsung muncul, tatkala nomor telepon yang ia tunggu-tunggu, akhirnya menghubunginya juga.
"Apa sudah dipesan??" tanyanya yang begitu to the point. Sudah sangat aktif dalam sebuah hubungan yang intim dengan wanita. Membuatnya yang sedang ditinggal oleh sang kekasih satu pekan ini, jadi ingin dan tak tahu harus melampiaskannya kemana. Jadilah ia, yang melakukan transaksi yang cukup gila juga dan baru pertama kalinya ia lakukan. Itupun karena dibujuk temannya dan terpaksa diiyakan untuk sekedar iseng saja.
"Tentu saja sudah. Masih dalam perjalanan. Aku yakin, kamu bisa sampai repeat order nanti."
"Benarkah? Yah sebenarnya, aku tidak mau seperti ini. Karena pastinya, bukan hanya dicicipi oleh satu orang saja. Dan bahkan, bisa saja sebelum tiba di sini, kau sudah lebih dulu mencicipinya,"
Orang di telepon terkekeh sembari melirik dan menatap wanita, yang sedang melepaskan helai pakaian di tubuhnya satu persatu.
"Mana ada yang seperti itu! Ya sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi, wanita itu sampai dan datang ke kamarmu!" cetusan yang terdengar dari telepon yang sesegera mungkin diakhiri.
Hembusan napas dengan ponsel yang dilempar pelan ke atas nakas. Lelaki tersebut pun merebahkan separuh tubuhnya di atas tempat tidur.
Sementara itu di luar.
Wanita bergaun biru panjang dengan aksen tile, yang menutupi bahunya nampak berlarian sembari mengangkat gaun panjangnya, serta sepatu hak tinggi yang ia pegang juga di tangan satunya lagi. Ia bersembunyi di balik pintu kamar hotel yang bertuliskan angka 106. Ia dengar suara orang-orang, yang nampak melakukan pengejaran dan itu adalah terhadapnya.
Bosan. Selalu saja dikekang. Bahkan, selalu saja diikuti kemanapun ia pergi. Padahal, ia ingin sekali melihat dunia luar dan menikmati kebebasan seperti remaja pada umumnya dan bersekolah di sekolah umum, agar bisa memiliki banyak teman. Bukan malah jadi bak burung dalam sangkar.
"Kemana perginya Nona Livy??" Suara yang membubuhkan nama wanita itu dan membuatnya si pemilik nama membeliak panik. Ia terpaksa mengetuk pintu kamar dengan kencang, hingga orang yang berada di atas ranjang tersentak. Lalu terbangun dan cepat-cepat membuka pintu, yang diketuk dengan cukup keras itu.
"Maaf permisi sebentar!" cetus Livy, yang langsung menerobos masuk tanpa diizinkan oleh si pemilik kamar.
Dahi lelaki yang berada diambang pintu itupun mengerut. Tapi kemudian, ia menutup rapat pintu yang langsung terkunci otomatis itu. Ia berjalan perlahan dan mendekati wanita, yang sedang berusaha untuk mengatur napasnya, serta detak jantungnya, yang sedang tidak beraturan. Lelaki itu pandangi dari atas hingga ke bawah, sambil mengusap-usap janggut tipisnya.
Lumayan. Ternyata tidak buruk juga. Tubuhnya mulus, dengan kulit yang seputih s**u. Rambutnya ditata dengan sangat rapi, dengan make-up yang tidak terlalu tebal di wajahnya. Dibandingkan dengan seorang wanita penghiburr, wanita ini justru lebih terlihat seperti Nona muda dari keluarga kaya raya. Tapi siapa peduli, kapan lagi, ia mendapatkan barang yang bagus begini? Bisa juga kawannya itu memilihkan wanita pikirnya.
"Kamu sampai juga akhirnya. Mau mandi dulu?? Atau mau langsung saja??" pertanyaan yang Samuel lontarkan tanpa banyak basa-basi. Sudah ada di depan mata begini. Untuk apa berlama-lama lagi.
"Hah? Langsung saja apa?" tanya Livy dengan raut wajah yang polos.
Samuel tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Bahkan, ia hampir tertawa juga. "Kenapa kamu berpura-pura polos begitu??"
Livy mengernyit keheranan. Ia benar-benar tidak mengerti dan langsung kembali ke dekat pintu, lalu mencoba untuk mendengarkan ada tidaknya para pengawal di depan sana.
Samuel mengembuskan napas, lalu datang mendekati Livy dan kini berada di balik tubuhnya. Tanpa ada kata-kata yang diucapkan, ia turunkan saja tali dress di bahu Livy dan sontak membuat Livy membeliak serta berteriak sembari berbalik dan melihat lelaki, yang sedang memberinya tatapan ingin.
"Kamu mau apa!??" seru Livy sembari menahan tali dress-nya agar tidak turun.
Samuel tersenyum menyeringai. "Astaga! Kenapa kamu berpura-pura bodoh seperti ini hm?? Ayo, kemarilah! Aku akan membayar mahal, bila pelayananmu memuaskan!" cetus Samuel yang sudah merentangkan kedua tangannya dan seketika membuat Livy membeliak, serta membuka kelopak matanya lebar-lebar.
"Dad!!!! Mom...," Pekikan yang terhenti, saat tangan kanan Samuel menutup rapat mulut Livy.
"Hey, kenapa kamu berteriak?? Kita belum memulainya kan??" ucap Samuel sembari menyunggingkan senyumnya. Deru napas Livy kian menggebu. Belum sempat memberontak, Samuel malah kembali melontarkan kata-kata yang membuat Livy bergidik ngeri.
"Tidak apa-apa, kalau kamu ingin berteriak. Tetapi nanti, saat kamu sudah berada di bawahku!" cetus Samuel sembari tersenyum menyeringai dan kini membawa tubuh Livy di pundaknya dan menjatuhkannya di atas tempat tidur.
"Kamu mau apa!??" seru Livy dengan mata yang membeliak, saat Samuel sedang berusaha melucuti helaian kain penutup di tubuh Livy dan menariknya dengan paksa.
"Diam lah! Jangan banyak bicara! Kamu terlalu lama. Aku ingin menyelesaikannya cepat-cepat!" seru Samuel yang sudah tidak sabaran.
Livy memberontak. Ia memukul-mukul d**a bidang itu dengan kepalan tangannya yang mungil. Tapi sayang sekali, tangan mungilnya tidaklah mampu untuk melawan tubuh kekar, yang kini sudah mengungkung tubuhnya. Livy baru hendak kembali berteriak. Tetapi mulutnya kembali dibungkam, dengan bekapan tangan yang lebar itu. Livy menggeleng. Ia terus berusaha untuk melawan sekuat tenaganya, dengan segenap kemampuan yang ia punya, hingga Livy akhirnya membeliak, dengan air yang mengalir banyak dari kedua sudut matanya. Saat merasakan sesuatu yang begitu menyakitkan, yang membuat tubuhnya menegang.
"Wait!" ucap Samuel dengan napas yang terengah-engah sembari mengerutkan dahinya dan melihat dengan lebih jelas, apa yang ada di bawah sana.
"What's this??? Are you bleeding?? But why??" ucap Samuel dengan bola mata yang membulat sempurna dan kemudian dengan dahi yang mengerut. "Oh no. This impossible. Are you still a virgin huh?" tanya Samuel sembari menatap Livy lekat-lekat.
Sebuah anggukan pelan pun Livy diberikan, dengan tubuh yang sudah gemetar hebat. Sakit, takut dan semua rasa sudah bercampur baur menjadi satu. Ia tidak mengerti dengan apa yang kini tengah berlangsung. Ia seperti tengah bermimpi. Mimpi yang teramat buruk, yang baru saja ia alami seumur hidupnya.
"Damn it! I cannot stand it anymore! Calm down. You will enjoy it after this."
Samuel kembali lagi. Ia tidak dapat menghentikan keinginannya begitu saja. Sudah diujung tanduk dan sudah terlanjur juga. Jadi ia tuntaskan saja pergumulan ini, hingga ia terpuaskan sendiri, tanpa peduli rengek serta tangisan dari wanita, yang sedang ia kungkung di bawah tubuhnya.
Setelah puluhan menit berlalu.
Samuel mengembuskan napas panjang dan menarik diri. Ia pergi untuk membersihkan tubuh, yang penuh dengan peluh. Kemudian kembali lagi ke sisi wanita, yang sedang meringkuk di atas tempat tidur, dengan air yang terus meleleh dari kedua sudut matanya.
"Sudah berhentilah menangis!" cetus Samuel sembari mengancingkan kemeja dan mengambil dompet dari atas nakas. "Aku akan membayar lebih," ucap Samuel sembari mencari-cari uang pas yang cukup. Tapi tidak ada. Jadi, ia keluarkan saja kertas dan menuliskan sejumlah angka, yang lumayan besar nilainya.
"Ini, ambillah! Aku rasa, ini sudah jadi bayaran yang cukup pantas!"
Livy menggelengkan kepalanya. Saat sebuah cek senilai seratus juta diulurkan kepadanya.
Samuel tertawa kecil. Wanita mana yang tidak tergiur dengan nominal angka ini? Aneh sekali.
"Ayo ambillah! Aku tidak pernah sedermawan ini, sampai-sampai memberikan sebanyak ini kepada seorang wanita malamm."
Livy tetap melakukan penolakan dengan gelengan kepala. Sementara Samuel nampak mengembuskan napas, karena harus menghadapi wanita yang sok jual mahal. Apa karena masih perawan, ia jadi ingin yang lebih lagi dari ini??
"Apa yang kamu inginkan?? Ini sudah lebih dari cukup bukan??" tanya Samuel, karena Livy masih tak kunjung menyambut uluran secarik kertas dari tangannya.
"Dad punya lebih banyak dari itu. Aku mau pulang. Aku cuma mau pulang," ucap Livy dengan tersedu-sedu. Di seumur hidupnya. Baru kali ini ia disakiti begini. Ayahnya yang tegas saja. Selalu bersikap lembut, bila berhadapan dengannya. Tidak seperti lelaki, yang entah siapa lah ini.
"Oh ya? Sugar Daddy-mu lumayan juga ternyata. Ya sudah. Mandi sana! Lalu cepat pergi dari sini! Sekalian bawa ini, aku tidak mau memakai jasamu secara cuma-cuma!" cetus Samuel dengan seenaknya, sembari pergi meletakkan cek tersebut di atas nakas, lalu pergi ke balkon hotel untuk menghisap sebatang rokok di sana.
Samuel mengembuskan kepulan asap rokok dengan mata terpejam. Nikmat sekali. Bukan hanya rokoknya saja. Wanita tadi pun sama nikmatnya. Kawannya boleh juga ternyata. Ia tidak ingin bekas orang banyak dan diberikan yang masih orisinil. Tetapi, ada satu hal yang membuat pikirannya sedikit terganggu. Saat pergumulan tadi, wanita itu malah memberontak terus, hingga membuatnya lupa untuk memakai pengaman. Ah tapi sudahlah. Hanya satu kali. Pasti tidak akan apa-apa.
Satu batang rokok telah habis dan tersisa puntungnya saja, yang Samuel letakkan dalam asbak. Ia kembali masuk, untuk melihat wanita tadi, yang ternyata sudah tidak berada di dalam kamar. Sepertinya sudah pergi. Tapi cek yang ia tinggalkan, masih tetap berada di tempat terakhir ia tinggalkan tadi.
Benar-benar wanita itu. Apa dia sengaja? Atau malah lupa??
Ketukan pintu terdengar dan Samuel langsung saja tersenyum. Pasti wanita itu kembali lagi, karena sudah melupakan bayarannya.
Samuel pergi ke arah pintu dan membuka pintu kamarnya. Tetapi, bukan wanita tadi yang ia lihat, melainkan wanita lain dengan baju yang super seksi serta kawannya, yang kini berdiri di sisi wanita tersebut.
"Pesananmu. Sorry, aku agak terlambat membawanya ke sini. Dia terjebak macet di jalan. Jadi, baru bisa aku antarkan," ucap Gaston yang seketika membuat Samuel terdiam, dengan penuhnya tanda tanya, yang berputar di dalam kepalanya.
'Ini adalah wanita yang ia pesan. Lantas, yang tadi itu siapa????'