DUA PULUH DELAPAN : Times Clicking

1877 Words
“Maaf aku memundurkan jadwal untuk kunjungan kalian ke sini secara mendadak. Aku ada urusan yang sangat penting dan harus aku kerjakan secepatnya dan baru sekarang aku bisa mengajak kalian Vila milikku ini. Ayo, silakan masuk.” Louis membuka pintu Vila dan mempersilakan kami untuk masuk dan melihat-lihat. Aku cukup takjub dengan apa yang aku lihat. Vila ini cukup besar dengan pekarangan yang tak jauh lebih besar dari pada yang aku bayangkan sebelumnya. Dan ternyata aslinya jauh lebih besar dari pada yang aku lihat di foto. Pemandangan depan Vila menghadap ke Danau besar dengan beberapa pepohonan besar yang berdidi gagah di sekitarnya. Kami semua berkeliling, aku dan Anne langdung menuju pekerangan belakang untuk mengecek bagaimana venue yang nantinya akan digunakan untuk pesta resepsi pernikahan nanti. Dan begitu pintu kaca besar Anne geser, pemandangan dari sini tak kalah cantik dari pada di depan sana. Bayangkan saja, begitu kami keluar pekarangan rumah sangat rapi dengan rumput lembut tumbuh dua sentimeter dan membuat pekarangan terlihat seperti permadani raksasa. Sudah bisa dipastikan kalau tempat ini meski jarang dikunjungi, namun selalu dirawat oleh tukang kebun. Bukan hanya pekarangannya saja yang indah, namun lahan kosong di belakang vila juga terlihat menakjubkan dengan banyaknya bunga-bunga liar yang tumbuh dan membuat warna dengan dimensi lain terlukis sempurna. Ini memang adalah tempat yang sangat cocok untuk digunakan sebagai tempat resepsi. Atau boleh aku bilang, rumah kaca milik Philip kalah dengan tempat yang satu ini. Aku bisa membayangkan menginap di sini sambil mendirikan tenda dan menikmati barbekyu dengan api unggun di kaleng besar. Sungguh pengalaman yang tidak akan bisa terlupa sepertinya. Belum lagi langit malam yang dihiasi bintang membuat suasana jadi terasa romantis dan hangat. Aku jadi ingat saat-saat nekat dulu mendirikan tenda di halaman belakang rumah Tio sambil barbekyu sampai kenyang sembari menonton di luar beramai-ramai. Kalau aku laporan ke anak-anak di Jakarta, sudah pasti bisa dipastikan kalau mereka akan setuju-setuju saja liburan ke Australia jika menginapnya di sini. “Wah, tempat ini sangat memang tidak salah untuk dijadikan tempat untuk resepsi.” Puji Anne jujur. Aku pun mengangguk setuju dengan apa yang disampaikan oleh Anne. “Aku sudah bisa membayangkan aisle yang menghadap ke lapangan bunga di sana. Semua undangan akan berdiri dan memandang kedua mempelai dengan background lapangan penuh bunga di sana. Wah, rasanya sudah seperti ada di set film romantis.” aku berjalan menuju tempok batu bata yang sengaja dibiarkan terlihat warna aslinya meski dibuat astetik tentu saja. “Apa nanti kalau aku menikah aku harus menyewa tempat ini dari Louis ya? Tapi pasangan saja tidak ada.” Anne meletakkan kedua tangannya di tembok dan memandang lurus ke arah lapangan bunga sambil merenung.  Tempat ini memang sangat cocok untuk relaksasi sambil mengkhayal. Aku bahkan mengkhayal mengadakan resepsi pernikahan lagi dengan Rendi di sini dan hanya mengundang orang-orang terdekat saja. Rasanya akan sangat menyenangkan. “Tidak sia-sia kita menghabiskan waktu di jalan untuk ke sini. Rasa lelah setelah naik mobil terbayar.”  “Padahal yang menyupir Louis, bukan dirimu.” Kataku Pada Anne yang dibalasnya dengan tawa renyahnya. “Tapi duduk lama di mobil yang sempit karena kita beramai-ramai itu melelahkan juga. Kenapa kalian tidak mau kita naik dua mobil saja, sih? Setidaknya kita tidak duduk terlalu pas.” Keluh Anne sambil memegang pinggangnya. “Karena tidak ada yang mau menyupir sedangkan aku tidak memiliki SIM di sini.” Jawabku jujur. Anne hanya bisa diam mendengar jawabanku karena memang itulah kenyataannya.  “Wah! Ini yang akan menjadi tempat untuk resepsi nanti? Aku serasa menjadi Ryan Reynolds di sini.” Kata Matt yang merangkulku juga Anne. Aku dan Anne menepis tangan Matt yang terlihat puas memandang pemandangan di hadapannya.  “Lucu, Ryan Reynolds seperti dirimu maka Blake Lively ku rasa sudah gila.” omongan Anne otomatis membuatku tertawa puas. “Hey! Kalau aku memiliki aset seperti ini, yang lebih cantik dari Blake Lively pun bisa aku miliki. Kau hanya perlu uang untuk bisa memulai banyak hal dan mendapatkan hal-hal yang tak bisa orang biasa seperti dapatkan.” Matt berkacak pinggang dan bersender pada dinding batu bata sambil memberikan wejangan padaku dan Anne. “Dan juga bisa kehilangan banyak hal termasuk tunanganmu. Seperti Zoe.” Timpal Anne yang membuat Matt diam. “Aku sungguh kasihan padanya. Bos kita satu-satunya yang sangat baik meski terkadang gila dan lupa kalau ia memiliki bisnis ini serta pegawai, harus mengalami hal dramatis seperti itu. Padahal si kurang ajar itu juga tidak terlalu tampan dan meski ia memiliki bisnis dengan cabang di mana-mana, hutangnya pun tak kalah banyak. Kau ingat, kan saat ada debt collector yang sampai menelepon ke kantor? Apa dia sudah gila membiarkan Zoe menjadi penjamin hutang-hutangnya? Sungguh tidak tahu malu.” Aku menatap Matt penasaran, “memang mantan tunangannya itu memiliki hutang? Jadi niatnya nanti setelah ia menikahi Zoe adalah untuk melunasi hutang-hutangnya setelah itu menceraikannya? Wah harusnya ku hajar saja pria itu sekalian bukan hanya ku siram dengan air putih!” kataku gemas. Anne dan Matt menepuk pundakku bersamaan, “aku bangga padamu.” kata Anne. ‘Ya, terima kasih. Tapi rasanya kita harus cepat-cepat mengukur dan mengambil foto sebelum jam makan siang. Ngomong-ngomong, Louis di mana?” tanyaku pada Matt. “Tadi ia mendapatkan telepon, mungkin tunangannya yang menelepon. Aku ke sini saja karena tidak ingin menganggu. Ya sudah, kau yang mengambil foto dan aku serta Anne yang mengukur. Kita harus membuat tiga puluh kursi terlihat penuh supaya kesan hangat kekeluargaannya dapat. Tempat ini luas sekali.” Matt mengeluarkan meteran dari dalam tasnya dan memandang sekeliling, kali ini bukan untuk melihat pemandangan dan menikmatinya, namun untuk memastikan letak-letak strategis untuk barang-barang yang nanti akan ditata sedemikian rupa.  Aku pun mengambil kamera yang diberikan oleh Matt dan mulai membidik semua spot yang sekiranya akan dibutuhkan untuk keperluan kami. Bukan hanya pekarangan, namun juga ruangan di dalam pun ku ambil gambarnya sesuai dengan meeting dadakan di dalam mobil tadi.  Hari ini TIffany kembali absen. Louis bilang Tiffany sedang pulang ke negaranya untuk persiapan pernikahan nanti. Sekalian, ia juga ingin menjemput orang tuanya ke Australia katanya. Dua kali Tiffany tidak ada dan louis yang dengan sigap mengurus semuanya. Biasanya aku menemukan calon mempelai wanita yang sibuk mengurus ini-itu sementara sang calon mempelai pria sibuk bekerja dan seringnya tidak ingin ambil pusing. Dulu, aku pun begitu. Semua urusan persiapan pernikahan aku yang mengurus sedangkan Rendi selalu setuju saja dengan apa yang aku pilih.  Ini aneh, tapi aku tahu kalau aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Bagaimana pun juga, ini adalah pekerjaannku dan aku harus profesional. Semoga saja semua baik-baik saja dan akan baik-baik saja sampai hari H tiba. Dan ketika aku sedang memotret ruang tengah yang sangat luas dengan perapian besar tradisional yang antik, Louis datang dengan ponsel ditangannya. Sepertinya pembicaraan di telepon yang lumayan lama itu sudah selesai. Ia tersenyum dan berjalan ke arahku. “Bagaimana? Kau sudah melihat-lihat?” tanyanya terdengar agak bangga dengan vila miliknya ini. “Ya, aku suka sekali dengan pemandangan di sini. Dan di pekarangan belakang, kami sudah bisa membayangkan bagaimana nanti kau dan Tiffany akan berada di aisle yang menghadap ke pekarangan kosong di belakang sana. Backgound-nya sangat indah, dan semua mata akan tertuju pada kalian. Hanya membayangkannya saja aku sudah bersemangat.” Aku tertawa kecil. “Ya, memang indah.” kata Louis singkat dengan suara rendah. Ia terdengar tidak terlalu bersemangat. “Aku harus menyelesaikan memotret semua ruangan yang diperlukan untuk di dekorasi. Kau bisa ke pekarangan belakang dan bertanya lebih lanjut lagi dengan Anne dan Matt. Mereka sedang mengukur untuk menentukan tempat-tempat yang akan didekor.” Kataku. Namun Louis tidak bergeming. Ia berdiri diam sembari memandang ke luar dengan kedua tangan berada di saku. Ia terlihat sedang memikirkan entah apa sampai tak sadar kalau aku barusan saja mengajaknya mengobrol. “Louis?” panggilku. “Ya?” ia menoleh ke araku dengan tersenyum seolah apa yang aku lihat tadi tidak pernah terjadi. Ia kembali fokus dengan wajah ramahnya. “Kau tidak ingin ke belakang untuk berdiskusi dengan Anne dan Matt?” tanyaku lagi. “Ya, tentu.” ia pun berjalan ke pekarangan belakang dan menyapa Anne dan Matt yang sedang mengukur luas pekarangan sambil berjongkok. Dan kini aku yang balik memerhatikan mereka dengan perasaan khawatir.    ***   “Kemarin ke mana Anne membawamu?” tanya Matt ketika kami berada di restoran untuk makan siang. Anne kebetulan sedang ke toilet dan Louis sedang menelepon di luar. Seharian ini teleponnya tidak berhenti berdering. “Kata Anne itu rahasia.” Jawabku yang membuat Matt cemberut. “Kalian seperti anak kecil saja main rahasia-rahasia.” “Dan kau juga seperti anak kecil saja yang tidak diberitahu malah balik cemberut.” “Sungguh, para perempuan ini sangat handal kalau sudah membalikkan omongan orang.” “Kami memang dirancang untuk bisa berbicara dan menimpali apa pun.” Jawabku santai. Matt bersandar dan meneguk air sodanya. “Apa kau merasa kalau hari ini terasa sangat aneh? Maksudku Louis dan Tiffany. Aku merasa ada yang janggal meski aku tidak tahu apa itu.” Kata Matt. “Aku juga merasa begitu, tapi jangan sampai apa yang kita khawatirkan itu sampai kejadian. Semoga semuanya berjalan dengan sangat lancar samapai hari H meski Tiffany tidak pernah muncul lago. Baru kali ini aku melihat calon mempelai pria yang kerepotan mengurus semuanya sementara calon pengantin wanita absen dan sama sekali tidak pernah menghubungi Wedding Organizer-nya.” Kataku pelan sembari menengok ke sekeliling karena takut tiba-tiba Louis masuk dan sudah ada di dekat kami sampai bisa mendengar percakapan ini. Matt memotong tuna di piringnya dan menyuapnya dengan potongan besar. Restoran Seafood ini makanannya sangat lezat, obrolan pun jadi seru karena makanan yang enak. Tapi kali ini obrolan yang kami angkat, meski pun menyenangkan, adalah membahas tentang hal yang mengganjal.  “Aku juga merasa ada yang tidak beres dengan Tiffany. Tapi semoga saja mereka baik-baik saja. Lagi pula aku kan belum pernah melihat Tiffany secara langsung, hanya dari foto di form  dan juga foto pre-wedding mereka.” Matt terlihat sedang mengingat-ingat wajah Tiffany yang pernah ia lihat dari foto. Aku mengangguk. Tak lama Anne datang begitu pula dengan Louis yang kini terlihat sudah selesai dengan urusannya di telepon. Kami pun melanjutkan makan siang sembari menunggu supir Louis membawakan mobil untuk mengantarkan kami kembali pulang. Ketika kami datang pun, Louis datang dengan supirnya dan menjemput kami semua di kantor. “Aku harap semuanya akan berjalan lancar sampai hari H. aku tak sabar ingin mendekorasi vilamu itu, Louis.” Kata Anne ketika makanannya telah habis terkunyah di mulut. “Tentu, aku juga begitu.” Kata Louis sambil tersenyum. Sementara aku dan Matt sibuk mencuri pandang dan diam dengan pikiran masing-masing. Semoga saja semuanya benar-benar akan lancar sampai hari H dan tidak akan ada hal aneh yang akan terjadi. Tidak, tidak boleh pikiran ini menjadi jinx yang akan merugikan semua orang. “Semua vendor sudah kami hubungi dan semuanya sudah final. Kami tinggal membuat portofolio final, kemudian kau tinggal mengeceknya dan kalau kau setuju kita bisa semua bisa kembali ke vila milikmu untuk pengecekan final. Dua minggu lagi, kami akan mengrimkan portofolio secepatnya padamu agar kau dan Tiffany bisa santai dan tenang. Rata-rata calo mempelai pengantin agak stress menjelang hari H. Dan kalau semuanya sudah final, kadar stres akan berkurang.” Anne tersenyum manis saat menjelaskan bagaimana proses pekerjaan kami sampai final nantinya. “Oke.” Louis tidak banyak bicara, apa lagi setelah ia tadi kembali dari menelepon.  -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD