SEMBILAN BELAS : Unthinkable Mistake

1532 Words
“Dipotongnya segini.” Kata si hairdresser dengan senyum yang dipaksakan agar tidak membuatku tambah sedih lagi.  “Sependek itu?” tanyaku kaget.  “Ini sudah yang paling panjang yang aku bisa.” Katanya dengan suara pelan memelas. Aku pun mengangguk pelan meski hatiku tidak mau setuju dengan apa yang aku lakukan. Mau tak mau, aku harus merelakan rambutku yang sudah panjang dipotong pendek sekali karena kesalahan bodoh. Ya ampun! Kenapa aku harus pecaya dengan segala video tips and trick konyol yang sering berseliweran di media sosial sih? Di mana otakku saat aku yang dengan pede mengikuti tips untuk mencatok rambut dalam waktu yang lama menggunakan alat catok magic yang iklannya saja bagus dan membuat sebagian rambutku mengeriting kecil seperti terbakar. Aku sudah hampir menangis kalau tidak melihat Rendi yang kebingungan dan mencoba menenangkanku.  “Sedikit saja kau biarkan, sedikit panjang. Please.” Kataku setengah memohon.  “Honey, hanya ini yang bisa aku lakukan. Kecuali mau terlihat seperti Mef Manning sewaktu ia masih di Poison Dollys.” Kata Leny, yang sekarang sedang memegang rambutku.  “Kenapa aku bodoh sekali, ya?” tanyaku lebih ke diriku sendiri. Rendi yang sedari tadi duduk di sofa sembari menunggu, hanya bisa melihatku dengan wajah sedikit cemas. Bukan karena rambutku yang sebentar lagi akan dipangkas pendek, tapi lebih ke ekspresi dan kekecewaanku karena aku terpaksa memotong rambut dan aku tidak rela. Dari tadi ku lihat dari cermin besar yang ada di hadapanku, Rendi kerap melongo karena khawatir atas tanggapan dan opini dari si hair stylist yang tidak sejalan dengan kemauanku. Tapi apa boleh buat, bahkan yang ahli dan professional di bidangnya saja tidak bisa menyelamatkan nasib rambut panjangku ini. aku hanya bisa pasrah ketika Leny siap dengan gunting ditangannya, dan wajahnya yang meminta persetujuan dariku. Aku mengangguk seakan mempersilakan Leny mengeksekusi rambutku yang tadi ku gelung dan ku sembunyikan dengan topi baseball milik Rendi.  “Aku mulai ya.” Kata Leny seakan pandangan saja tidak cukup untuk bisa menyakini dirinya sendiri kalau aku sudah siap.  “Iya.” Jawabku pelan tanpa tenaga. Dan begitulah sampai aku bisa mendengar suara gunting yang beradu, dan potongan-potongan rambutku jatuh ke lantai marmer. Selamat tinggal rambut panjang yang setiap hari ku beri vitamin dan kalau siang ku semprot dengan parfum rambut agar tidak bau. Tapi mari lihat sisi baiknya. Kini aku bisa menghemat untuk membeli sampo yang harganya mahal! Uangnya bisa ku tabung untuk sumbanganku pada Rendi untuk membeli lahan di Lembang. Aku tersenyum kecil, meski sebenarnya aku masih tidak rela. Aku tahu ini sangat berlebihan, lebay! Tapi memotong rambut karena kebodohan sendiri rasanya tak masalah kalau membuat kecewa. Lebih kecewa karena aku bodoh, sih, sebenarnya. Dua jam sampai rambutku yang panjang kini hanya tinggal dua senti di atas bahu. Leny membuatnya jadi agak bergelombang, dan hasilnya tidak terlalu buruk.  “Kamu kelihatan tambah seger dan mudaan.” Kata Rendi yang tersneyum dan berniat menghibur dengan memberikan pujiannya.  “Iya, waktu panjang keliatan tua emang.” Jawabku.  “Ya, nggak gitu.” Ralatnya karena takut aku tersinggung dan ngambek.  “Bercanda, iya ternyata nggak jelek dipotong gini.”  “Bagaimana? Kau puas? Kau terlihat masih cantik.” Kata Leny yang tadi baru saja selesai mencuci tangannya.  “Aku puas, terima kasih banyak, Leny. Kau terbaik, aku akan jadi langganan di sini kalau aku diberi diskon.” Kataku sambil memegang lengan Leny yang wajanya seperti model parfum pria tapi tindak-tanduknya seperti Candra. Leny tersenyum professional, sudah handal menangani kelakuan pelanggan sepertiku, “oh, Dear, kalau kau meminta diskon, aku nanti makan apa? Aku punya pacar pengangguran yang harus ku hidupi.” Katanya.  “Semoga pacarmu lekas dapat pekerjaan, jadi kau bisa memberiku diskon.” Kataku tertawa kecil yang hanya ibalas oleh Leny dengan tawanya yang dalam. Aku mencium kedua pipi Leny dan pergi menuju kasir. Rendi mengekoriku.           “Aku yang bayar aja, ya.” Tawarnya. Aku mengangguk. Kami pun pergi menuju restoran yang kapan hari ingin didatangi oleh Rendi. Restoran di pinggir Pelabuhan yang katanya indah kalau didatangi malam hari. Dia sudah memesan tempat untuk kami berdua makan malam. Tapi karena restorannya masih tutup dan baru dibuka di jam makan malam, akhirnya kami memilih untuk duduk-duduk di salah satu coffee shop yang pemandangannya langsung ke Pelabuhan. Aku memilih untuk duduk di dalam dan dekat dengan jendela meski udara kini sudah tidak dingin.  “Kamu mau apa aku yang pesenin.” Katanya.  “Flat White, sama apa aja yang manis.” Kataku.  “Oke. Kalau ada macaron mau?” tanyanya. Aku mengangguk, Rendi pun mengacungkan jempol sebelum berjalan menuju counter. Rendi pun berjalan menuju counter dan memesankan minuman serta entah apa untuk kami berdua. Hari ini hari Minggu, besok kami sudah mulai kembali bekerja tanpa terasa akhir pekan sudah selesai. Aku sudah bertemu dengan beberapa klien yang ajaib, yang kata Anne bisa bikin sakit kepala, dan bisa buat Deby sampai muntah karena muak dengan semua keinginan mustahilnya. Tapi seringnya, kami tertawa dan tersenyum ketika ada pasangan yang akhirnya berjalan di altar dan mengucap janji setia sehidup semati mereka. Aku mengamati punggung Rendi yang masih menunggu pesanan kopi kami selesai dibuat. Ada rasa sedikit mellow yang menjalar perlahan entah kenapa. Mungkin karena mengingat para klien yang harap-harap cemas sampai sensistif sekali ketika mengurus resepsi pernikahan mereka. Aku merasa kalau sekarang aku dan Rendi harusnya bersyukur karena dulu saat mengurus semua persiapan kami tidak sampa bertengkar atau apa. Semua lancar, meski harus aku akui kalau aku juga sempat panik dan kerepotan, tapi mungkin into sensasinya. Sekarang aku sedang mengurus penikahan Tina dan Louis. Tina si selebgram terkenal di Australia yang Instagramnya sudah centang biru. Dari draft mentah yang diberikan oleh Anne Jumat kemarin sudah terlihat kalau permintaannya akan ‘ajaib’ dan menantang. Sekarang aku sudah bisa maklum, statusnya sebagai selebgram membuatnya ingin terlihat beda dan memberikan kesan yang ‘wah’ pada semua pengikut dan dunia influencer. Belum apa-apa aku sudah pusing, tapi, kenapa sih aku harus memikirkan soal pekerjaan di hari libur seperti ini yang harusnya ku habiskan dengan Rendi dengan berduaan saja dan melakukan semua akivitas apa pun sebagai pasangan suami-istri? Memang, kadang otak tidak bisa diajak kompromi. Rendi datang dengan pesananku dan minuman yang ingin diminumnya. Pikiranku kini sudah tak lagi kembali ke kerjaan karena apa yang di bawa oleh Rendi membuatku gagal fokus.  “Kamu ngapain beli banyak kue gini? Mau buat aku gemuk?” tanyaku dengan pandangan beralih dari apa yang ditaruhnya di meja, ke wajah Rendi yang tersenyum.  “Nggak pa-pa gemuk. Yang penting kamu kenyang, kalo gemuk kan bisa olahraga biar tetap sehat. Gemuk nggak berarti jelek, kamu aja abis bangun tidur ileran tetep cantik.” Katanya yang membuatku ingin memukulnya antara kesal dan senang yang bercampur.  “Tapi aku nggak mau gemuk-gemuk banget, nanti baju-baju aku gak muat, sepatu aku juga. Ih! Kamu nggak ngejawab pertanyaan aku deh, kenapa ini beli banyak banget nanti kita mau makan kekenyangan.” Rendi terkekeh, “Ini semuanya enak, aku pengen kamu cobain, aku tahu kalau ini nggak akan habis, nanti kan bisa kita take away buat makan di rumah.”  “Nggak usah buat sarapan kalau gitu besok. Makan ini aja.” Kataku.  “Bisa, boleh.” Jawab Rendi.  “Kamu cobain ini, deh. Spicy bean and beef pie di sini enak banget, Pavlova-nya juga enak aku yakin kamu suka. Lamington-nya juga enak, ini puding karamelnya juga kamu harus coba, ini scones dia juga enak.” Rendi memperkenalnya satu per satu makanan yang ia pesan.    “Ini gimana aku cobanya banyak banget?”  “Ya kamu cobain dikit-dikit aja nanti tinggal kita bawa pulang sisanya.”  “Ini kamu mau gantin cekokin aku setelah aku cekokin kamu pastry aku, ya? Jangan-jangan kamu ngarep aku suka sama semua ini trus pengen tau resepnya dan niat belajar buat bikin biar kamu bisa juga cobain?” aku emandang Rendi penuh selidik yang dibalasnya dengan senyuman yang sudah aku hapal benar artinya. “Iya bener, kan, tebakan aku?”  “Ya, kalau kamu pengen belajar buat ya aku makan.” Katanya.  “Mulus banget ya minta aku mau belajar buatnya.” Aku tertawa dan membuat wajah Rendi bersemu. Aku bisa meihat wajahnya yang tampan itu yang jelas karena di luar masih sangat terang meski sekarang sudah jam enam sore.  “Biasanya buatan kamu itu lebih enak. Kamu kayaknya berbakat banget deh kalau baking buat pastry.” Aku pun mengangguk dan tak lagi memilih untuk membuat Rendi menjadi tersipu lagi. aku tahu niat Rendi baik, dan mungkin dnegan aku belajar membuat semua kue-kue ini atau sebagian, aku jadi bisa berhemat karena biasanya semuanya bisa ku simpan di kulkas dan bisa dipanaskan kembali ketika ingin kembali di makan. Aku mencicipi semua yang dipesan oleh Rendi. Dan aku setuju dnegan apa yang dikatakan oleh suamiku ini, semuanya enak luar biasa! Terlebih pie dari kacang dan daging sapi yang terasa sedikit rasa pedas karena lada yang kuat dan sepertinya ada rasa Sichuan paper yang biasa terasa di masakan Chinese. Gurih, pedas, dan tidak membuat eneg.  “Aku paling suka ini.” kataku menunjuk pie yang sebagian besar sudah ku makan.  “Aku juga paling suka yang pie. Dan kayaknya kalau kamu yang buat bisa lebih enak lagi.” Aku tertawa dan memukul lengan Rendi. Ah, akhir pekan yang menyenangkan. -continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD