DUA : Welcome to Home Sweet Home

1719 Words
Ini hari pertama kami sampai di Sydney setelah berbulan madu ke Raja Ampat. Kulitku sudah kecoklatan karena selalu menghabiskan waktu di pantai dengan berenang dan snorkelling bersama Rendi. Bulan madu selama satu minggu itu membuatku cukup puas meski pergi ke sana cukup jauh dan biayanya tidak terlalu murah. Tapi semuanya worth it! Aku senang luar biasa. Aku masih bisa merasakan kakiku yang mengambang di tengah laut dengan fin atau kaki katak yang bergerak maju dan mundur melawan massa air meski sekarang kami sedang menarik koper masing-masing setelah pesawat landing. Badanku belum kembali ke realita, namun otakku sudah bertualang ke mana-mana seperti biasa. Semua barang bawaanku dari Jakarta sudah dari jauh-jauh hari sampai di apartemen Rendi sebelum kami pergi untuk bulan madu ke Raja Ampat meski aku sendiri belum melihat apartemen sewaan Rendi, namun semua barangku sudah mendahuluiku. Dan ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki ke apartemen yang Rendi bilang jauh lebih kecil dari pada aprtemennya di Jakarta. Bagiku, tidak masalah. Aku tidak terlalu mempermasalahkan ukuran tempat tinggal selama temat itu enak di tinggali dan akses ke mana-mana mudah. Dan dari semua obrolan kami di Skype ketika kami berhubungan jarak jauh dulu, aku bisa melihat kalau apartemennya cukup nyaman. “Kamu mau beli kopi dulu apa langsung aja pulang?” tanya Rendi. “Langsung aja, ya. Aku capek banget, mau mandi trus tidur. Kakiku masih terasa ngambang banget, kebiasaan setiap hari mainnya di pantai.” Rendi merangkulku, “oke. Kasian kecapekan.” Katanya. Kami berjalan bersisian menuju deretan taksi di pool. Rendi langsung memasukkan semua koper kami di bantu sang supir ke bagasi. Ia juga sudah menjelaskan tujuan kami, sebelum aku benar-benar tertidur dengan kepala yang bersandar ke lengan Rendi. Perjalanan panjang dari Raja Ampat menuju Sydney membuat seluruh badanku babak belur. Sebelas jam perjalanan dengan dua kali transit di Makassar dan Jakarta, sebelum sampai ke Sydney. Sudah seperti penerbangan dari Jakarta ke Fukuoka saja yang satu kali transit di Haneda Airport. Dari bandara ke apartemen Rendi ternyata tidak terlalu jauh, aku yang merasa baru saja memejamkan mata kini sudah dibangunkan oleh Rendi. “Hon, udah sampai.” Katanya, sambil mengelus-elus kepalaku. “Hmm… oke.” Jawabku pelan masih mengantuk. Semua barang sudah Rendi keluarkan dari bagasi, dan setelah aku sadar sepenuhnya, aku merasa ada yang aneh. “Ini kita nggak salah turun?” tanyaku memastikan. “Nggak.” Rendi tersenyum dan merangkulku untuk masuk ke lobi apartemen. “Kayaknya kemarin nggak model begini deh apartemennya, nggak disekeliling gedung tinggi dari jendela apartemen kamu pemandangannya.” Aku mengernyit heran. “Aku baru pindah, apartemen ini baru buka bulan Maret kemarin, skyscraper baru di Sydney.” Kata Rendi dengan senang memperkenalkan hunian barunya yang akan kami tempati. “Kan udah aku bilang kita nggak perlu pindah dulu, uang sewanya gimana?” tanyaku agak gemas dengan Rendi. “Aku beli, nggak sewa.” Katanya enteng. Aku tercengang. Pria ini, yang dulu bingung mau membeli lahan tambahan di Lembang untuk ekspansi bisnisnya, kini dengan mudahnya mengatakan kalau apartemen yang sedang kami injak lantai marmernya, yang interior lobinya saja sudah seperti hotel berbintang lima, sudah ia beli. “Hah?!” Aku berhenti berjalan karena terlalu kaget dengan pernyataan Rendi barusan. “Hon, ayo! Kamu nggak mau liat apartemen kita kayak gimana?” tanyanya masih dengan senyum yang sama. Rasanya kepalaku sudah pusing bukan main mendengar apa yang baru saja terlontar dari mulut pria yang baru saja menjadi suamiku ini. Tidak mungkin, kan, aku yang darah rendah ini bisa tiba-tiba jadi darah tinggi karena sikap impulsif pria yang masih tersenyum dengan sebelah alis yang terangkat karena tidak sabar ingin menunjukan tempat yang mulai hari ini akan menjadi tempat tinggal bagiku. “Ren…” Aku hampir mau mengomel kalau tidak berpikir jika kami baru saja sampai, badanku kelelahan untuk berdebat panjang, dan tahu kalau Rendi juga kelelahan sama sepertiku. “Apartemen kita di lantai berapa?” tanyaku dengan perasaan campur aduk. “Tiga puluh enam, ayo.” Ajak Rendi lagi sampai aku masuk ke lift dan kartu kamar Rendi taruh pada sensor agar lift bisa berfungsi menuju lantai yang kami tuju. Selama berada di dalam lift aku hanya bisa diam sembari mengatur napasku, aku mencoba megalihkan pikiran dari emosi yang meletup-letup sampai ubun-ubun. Ting! Pintu lift terbuka. Aku bisa melihat beberapa pintu apartemen di lorong yang besar. Rendi menarik dua koper, termasuk koperku, dan berjalan ke pintu paling pojok di mana apartemen yang ia beli berada. “Welcome to home sweet home.” Katanya yang mempersilakanku masuk dengan membuka lebar pintu apartemen dan merentangkan satu tangannya, yang langsung membuat membuatku tercengang. Apartemen ini bagus, sangat bagus malahan, dengan dinding concrete dan kaca yang membuat ruangan kaya cahaya sinar matahari. Terlebih, balkon apartemen dengan lantai kayu ini dibatasi dengan kaca tebal sebagai railing-nya. “Ren, kamu beli apartemen ini uang dari mana?” tanyaku dengan suara pelan setelah kami masuk. “Aku jual apartemen di Jakarta, ditambah uang sewa yang kemarin satu tahun.” Katanya enteng. “Terus kamu jadi beli lahan di Lembang?” tanyaku lagi, sebelum kepalaku benar-benar terasa meledak. “Belum. Harganya masih belum cocok dan masih ada kendala lain juga.” Ujar Rendi. Ia meletakkan dua koper kami di ruang tamu. Dan aku langsung duduk di sofa yang menghadap langsung ke balkon. Badanku lelah, otakku pening. Rendi duduk di sebelahku dengan satu lengannya ia sampirkan di punggung sofa tempatku bersandar. “Ren, aku udah bilang kita itu harusnya mengencangkan ikat pinggang. Kenapa kamu malah jual apartemen di Jakarta buat beli apartemen ini ditambah uang sewa satu tahun? Ini pasti kan mahal! Kalo kita lagi balik ke Jakarta, nanti tinggal di mana? Lebih baik uangnya buat kamu beli lahan tambahan di Lembang biar bisa ekspansi lahan” kataku pada Rendi dengan emosi yang sudah mulai meletup-letup. “Oke, sebentar.” Rendi sedikit menggeser posisi duduknya untuk menghadapku yang sudah mulai menautkan alis. “Gini, lahan yang aku mau beli itu masih terganjal sama surat-surat yang masih belum jelas kepemilikannya, karena setelah ditelusuri ternyata katanya itu tanah hibah. Aku masih ragu, apa benar itu tahan hibah dan udah pindah kepemilikan atau itu akal-akalan oknum aja. Aku masih cari tahu lebih jelasnya ke staf kepercayaan aku. Oke, memang uangnya belum ada sebenarnya, tapi aku kan bisa pinjam ke Bank. Nggak terlalu banyak juga kalau mau pinjam, kalau agak lebih lama proses investigasinya, mungkin uangnya udah kekumpul malah. Kamu tenang aja, ya. Jangan emosi dulu, tenang. Kamu pasti kecapekan, istirahat dulu ya.” Kata Rendi yang memijat kedua bahuku, supaya aku tidak tegang lagi dengan permasalahan aset ini. Meski jawaban Rendi masih mengganjal di pikiranku, namun aku berusaha untuk menerimanya sekarang ini. Kalau kedepannya ada yang tidak beres, baru aku akan maju sendiri meski itu bukan uangku sendiri. Apa pun tentang uang itu akan selalu sensitif, makanya aku tidak mau kalau Rendi sampai salah mengalokasikan uangnya pada hal yang sebenarnya belum perlu. Contohnya, seperti apartemen baru ini yang dibelinya, bukan ia sewa. Aku pun menuruti Rendi dan pergi ke kamar. Apartemen yang kami huni ini memiliki dua kamar, Rendi bilang kamar yang satu bisa jadi kamar tamu sekaligus ruang kerja kalau di antara kami ada yang ingin bekerja larut dan tidak ingin menganggu salah satu dari kami. Aku setuju-setuju saja, yang penting semua ruang di apartemen ini terpakai jadi tidak ada yang bersifat sia-sia. Room tour bisa menunggu, sekarang aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengantinya dengan kaus oversize milik Rendi yang pas untuk dijadikan daster karena aku malas membongkar isi koper. Biar nanti saja beres-beresnya setelah istirahat. Aku pun langsung menuju ke kasur dan menyalakan AC. Rendi menutup jendela kamar yang luasnya penuh satu sisi dinding, dan masuk ke kamar mandi. Samar-samar aku mendengar suara air dari shower, dan setelah itu, aku sudah pulas tertidur.   ***   Ada banyak barang yang perlu kami beli setelah satu minggu apartemen ini ditinggal dalam keadaan masih kosong meski sudah full furnished. Aku mengecek semua ruangan yang ada, dan tak henti-hentinya dibuat takjub oleh pemandangan yang disuguhkan apartemen di lantai tiga puluh enam ini. “Tadinya aku mau beli yang di lantai lima puluh. Harganya beda sedikit, tapi keduluan orang lain.” Kata Rendi yang sudah bersiap ingin keluar membeli makan dan berbelanja. Aku mengerlingkan mata, “oke, dari pada aku darah tinggi nih. Mending kita keluar aja buruan.” Rendi yang mungkin gemas dengan kelakuanku, langsung menghampiriku dan memeluk badanku sambil menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri seperti sedang menenangkan anak kecil. Aku yang dipeluk seperti itu pun memeluk balik dan mendorong kemudian karena aku sudah terlalu lapar untuk main dan bersenang-senang seperti anak kecil. “Udah, udah, aku udah laper nih. Ayo kita makan dulu baru belanja keperluan bulanan.” Kataku menarik Rendi dan turun menuju lantai dasar. Kami berjalan menuju Pavilion on George yang berada di belakang gedung apartemen. Mall atau shopping center yang kami datangi memiliki Foodhall di lantai dasar. Pilihan makan malam kami pun berkhair di Hero Sushi yang berada di area Foodhall. Satu makanan yang menurutku aman karena makan malam kami berupa seafood. Kami memesan beberapa menu, aku tidak terlalu fokus akan apa yang ku pesan. “Kamu kapan mulai masuk kerja?” tanyaku pada Rendi. “Lusa, kantorku dari sini cuma sekitar lima belas menit naik bus.” Katanya. “Deket banget dong ya, beda dari kamu di Jakarta yang bisa satu jam sendiri kalau macet.” “Iya, dan aku belum perlu mobil. Kamu mau mobil?” tanya Rendi. “Nggak dulu, aku masih nganggur.” Kataku. Rendi mencium pipiku hingga menundukkan kepala mentang-mentang kami bukan lagi berada di Jakarta. Public display of affection sudah sangat wajar terlihat di sini, dan Rendi suka itu. “Ren, ah.” Protesku. “Kan udah muhrim, nggak di Jakarta juga.” “Eh! Kamu juga belum muhrim udah main sosor aja. Nggak jadi alesan ya.” Kataku. Rendi hanya tertawa dan kali ini mencium bibirku sekilas. Mungkin ini karena kami ini pengantin baru, jadi Rendi masih sangat lengket dan rajin menjamah seperti ini. Tapi semoga saja sepuluh, dua puluh, bahkan sampai kakek-nenek nanti, ia masih akan seperti sekarang. Makanan kami datang satu per satu. AKu dan Rendi lantas menikmatiya dengan semangat karena perut memang sudah keroncongan karena sudah puas tidur. Akhirnya, dengan beberapa menu sushi pilihan, kami mengganjal perut yang lapar dengan makan malam sederhana. Dan kehidupan baruku di Sydney, di mulai. -Continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD