Kapan terakhir kali aku menonton sinetron? Ku rasa saat aku masih di Indonesia dulu dan makan malam dengan televisi yang menyala dan ditonton oleh Mama dan Mbak. Semua hal yang ada di sinetron dulu ku anggap adalah satu kejadian absurd yang sangat mustahil terjadi di dunia nyata. Drama dan konflik yang terlalu dibuat-buat datang silih berganti dan tidak memberikan ruang untuk si pemeran utama bernapas karena kerap disiksa secara lahir atau batin. Dan kini aku melihat satu perempuan yang tengah menangis dan menututup wajahnya dengan telapak tangan berada di hadapanku setelah setengah jam yang lalu aku bawa kabur dari tunangannya yang berselingkuh seperti seorang pemeran utama di sinetron.
Awalnya ia tidak percaya dengan apa yang aku katakan, tapi sama seperti dengannya, aku juga tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan kalau tidak melihat Zoe yang tengah menangis di hadapanku ini. Kalau saja aku pergi lebih awal, entah apa yang akan etrjadi pada masa depan wanita di hadapanku ini.
Tisu yang berada di atas meja sudah menumpuk dengan basahan air mata. Aku juga sudah memberikan air teh manis hangat dan menyuruhnya minum agar ia bisa sedikit lebih tenang. Tapi teh itu masih penuh belum tersentuh.
“Coba diminum dulu tehnya.” Kataku pada Zoe.
“Aku sebenarnya sudah tahu kalau Ben masih sering kontak dengan mantannya.” Kata Zoe pelan dan lemah.
Wajahnya sudah bengkak karena terlalu lama menangis, begitu juga dengan kantung mata yang membuat matanya terlihat sipit dan hanya segaris.
“Tapi kau masih mau menikah dengannya? Wow.” Aku bertepuk tangan tak percaya, “kalau aku jadi dirimu, aku pasti sudah menendang pria seperti itu ke tong sampah.” Kataku sambil tertawa.
“Ku kira Ben hanya bersikap baik dengan mantannya. Dia bilang kalau mereka hanya berteman saja.”
“Kau sama sekali tidak curiga?”
Zoe menggeleng.
“Aku sungguh takjub dengan dirimu. Penampilan benar-benar bisa menipu.”
“Tapi terima kasih sudah menolongku.”
“Tak masalah. Ngomong-ngomong, aku Bianca. Maaf menyeretmu tanpa memberi penjelasan, tadi darahku sudah mendidih karena marah.”
Zoe mengangguk pelan, “aku Zoe.”
Ia terlihat seperti boneka kecil yang biasa ada di dashboard mobil, yang ketika mobil melaju si boneka akan mengangguk-anggukan kepala saja tanpa henti.
“Tolong tehnya diminum. Itu teh melati dari Indonesia.” Kataku mendorong sedikit cangkir porselen yang sudah ada dihadapan Zoe. Kali ini Zoe menurut, ia menyesap sedikit teh itu dan menaruhnya kembali ke meja.
“Kau mau makan? aku bisa membuatkanmu roti lapisa dan salad. Di café tadi kan kamu belum makan.” Aku berdiri menuju dapur dan membuka kulkas.
“Maaf tidak perlu, aku tidak mau merepotkanmu.”
“Aku tidak merasa direpotkan.”
Dengan sigap, aku mengambil beberapa bahan di kulkas seperti kol, turkey ham, keju, mayonnaise, dan saus tomat kemudian menangkupnya di dua lapis roti tawar. Aku juga mengambil satu kantung mix sayuran yang biasa ku buat salad dan memasukannya ke mangkuk kaca besar. Dressing salad yang aku pakai adalah French Onion yang creamy. Setelah mengaduk salad dan dressing-nya sampai rata, aku menaruh sebagian isinya ke mangkuk kecil dan membawa dua menu itu ke meja di mana Zoe berada.
“Dimakan.” Kataku pada Zoe.
“Aku benar-benar merepotkanmu!” katanya dengan wajah yang keberatan.
“Kalau di Indonesia, menjamu tamu demgan makanan adalah hal yang biasa. Budaya yang pasti dilakukan oleh semua orang.” Jelasku agar ia tak perlu merasa kalau apa yang aku lakukan ini merepotkan. “Tamu itu seperti keluarga yang harus dijamu makanan. Jadi tolong dimakan untuk menghargaiku juga.”
Aku menyuap salad bagianku ke mulut. Karena pertikaian tadi, aku jadi kelaparan lagi setelah sempat kekenyangan. Zoe yang merasa tidak enak pun akhirnya menyantap hidangan yang aku berikan dan mengunyahnya pelan-pelan.
“Kenapa kau mau membantuku?” tanyanya degan suara yang masih lirih.
“Karena aku memiliki teman yang nasibnya sam seperti dirimu. Kakaku juga dulu sepertimu, bahkan si pria kurang ajar itu sampai memiliki satu anak saat selingkuh dari kakakku. Woman support woman.” Kataku.
“Lalu apa yang harus aku lakukan kalau begitu sekarang?”
Aku meringis kecil karena bingung akan jawaban apa yang seharusnya aku sampaikan pada Zoe tanpa membuatnya tambah sedih. Tapi itu mustahil. Karena jawaban yang harus aku katakan pasti akan membuatnya kecewa. Apa lagi kalau sependengaranku tadi, ia sedang menyiapkan pernikahan dan bahkan sudah fitting gaun pengantin.
“Hmm… jawabannya sudah pasti. Karena selingkuh itu penyakit, sekali seseorang sudah melakukannya, kemungkinan ia akan melakukannya lagi akan cukup besar.” Kataku setelah memikirkan kata-kata apa yang sekiranya tidak terlalu membuat Zoe tambah sedih. Tapi kenyataannya, apa pun yang aku katakana akan tetap membuatnya sedih.
Bagaimana tidak, semua persiapan pernikahan sedang ia persiapkan dan kini mempelai prianya harus dieliminasi karena kelakuannya yang sama sekali tidak layak dijadikan pasangan hidup.
“Apa yang harus aku katakan pada orang tuaku kalau begitu?” Zoe menatapku dengan mata yang kembali berkaca-kaca sekaan ingin menangis.
“Hmm… sekarang tenangkan dulu dirimu. Kita pikirkan ini setelah kau merasa sudah lebih baik. Aku yakin orang tuamu akan menerima setelah tau bagaimana kelakuan Ben itu.” Kataku sekenanya.
Niat awal ketika pulang aku ingin menonton Netflix sambil minum yogurt, kini harus pupus. Belum selesai soal Mila, kini aku mencari masalah dengan membantu orang lain yang bahkan tidak aku kenal sama sekali. Kalau Rendi tahu, mungkin aku akan disuruhnya untuk membuka kantor konsultasi pribadi saja sebagai pekerjaan tetap. Karena selain merancang liburan, aku juga handal menjadi konsultan persoalan tentang percintaan.
***
Rendi duduk di meja makan setelah selesai mandi dan mengenakan kaus putih tipis kebanggannya dan celana pendek. Aku membuat semur Betawi tahu dan telur untuk makan malam serta tumis brokoli.
“Ren.” Panggilku pada Rendi.
“Hm?” Rendi mendongakkan kepala dari piring dan menatapku.
“Hari ini aku ngalamin hari yang aneh, deh.”
“Kenapa?”
“Aku menyelamatkan peempuan yang diselingkuhin sama tunangannya.”
“Maksudnya?” kadua alis Rendi yang tebal bertaut karena kebingungan.
“Aku jadi saksi perselingkuhan orang yang bentar lagi mau nikah. Si cowok yang kurang ajar, mau nikah sama si perempuan karena hartanya dan dia berniat buat cerai sama perempuan itu kalau dia udah dapet itu harta dan akan nikah sama selingkuhannya itu. Sinetron banget, nggak sih?”
Rendi diam sejenak dan kembali makan seakan apa yang aku katakan barusan sama sekali tidak mengganggunya.
“Kamu yakin kalau cowoknya itu beneran selingkuh?”
“Yakin, aku yang ada disebelah dia yang lagi nelepon selingkuhannya dan ngomongin tentang rencana busuk itu jelas banget. Emang sih ide dia itu kayak halu banget, tapi aku beneran denger pembicaraan dia sementara tunangannya itu ke toilet.”
Rendi menuang air putih digelasnya dan membuat isinya yang tinggal sedikit itu kembali penuh.
“Trus kamu ngapain? Kan kata kamu, kamu udah menyelamatkan perempuan dari tunangannya yang selingkuh.”
Aku menimbang-bimbang. Apakah aku harus menceritakan smeua kejadian yang aku alami pada Rendi atau tidak. Andaikan aku tidak mengatakan semuanya dengan detail, kalau terjadi apa-apa, aku juga nanti yang kesulitan.
“Pertama aku tegur yang cowoknya itu, trus aku siram air dan ceweknya aku bawa ke sini.”
Kali ini tidak ada ekspresi tenang dari wajah Rendi seperti beberapa menit yang lalu. Ia yang niatnya ingin minum jadi terdiam dan tangannya yang sudah memegang gelas berenti di udara.
“Kamu ngapain?”
“Apanya?” balasku bertanya.
“Kamu tegur, nyiram lakinya, dan bawa perempuannya ke sini?” ulang Rendi mendikte apa yang aku katakana barusan padanya.
“Iya.” Jawabku polos.
“Ya Allah. Kalau cowok itu main fisik pas kamu nyiram dia gimana? Kalau si perempuan nggak percaya sama sekali ke kamu dan malah nuntut kamu ke polisi karena tindakan tidak menyengankan gimana? Aduh, kok kamu nekat begitu?” Rendi yang biasanya tidak pernah marah kini terlihat menaikkan nada bicaranya dan membuatku sedikit kaget.
“Aku bisa boxing, kalo dia macem-macem tinggal ku tonjok aja. Lagi juga rame kok, kalo di tempat sepi juga aku nggak akan berani.” Kataku yang mencoba membela diri.
“Kalau dia bawa senjata tajam gimana? Meski pun di tempat rame kamu jangan begitu, ah. Aku yang ngeri kalau kamu kenapa-napa. Baru juga berapa bulan di sini, Hon. Please jangan buat aku jantungan, ya. Aku mending kamu beli furnitur atau belanjaan apa deh sampe berkardus-kardus dari pada berantem sama orang.”
Rendi meletakkan sendoknya di piring dan kini fokus sepenuhnya padaku. Aku pun begitu, aku sudah siap berdebat dengan Rendi meski aku tahu kalau nantinya Rendi akan mengalah.
“Aku nggak berantem loh. Kan aku nolongin cewek yang bakalan nikah sama cowok kurang ajar yang hidupnya drama banget kayak gitu.”
“Oke, terus setelah itu gimana? Cowok itu terima aja kamu konfrontir begitu sampai disiram?”
“Aku modal bacot. Dia malu, orang-orang jadi ngeliatin kami sampai mau melerai dan aku buru-buru kabur narik ceweknya sebelum jadi lebih heboh lagi.” Kataku blak-blakan.
Rendi yang tadinya serius kini tertawa mendengar jawabanku.
“Oke, trus gimana sekarang? Kamu udah bawa kabur calon pengantin orang karena cowoknya selingkuh, loh.”
“Nah itu yang mau aku certain ke kamu lanjutannya. Si cewek namanya Zoe, keturunan Yunani, cantik banget orangnya. Dan setelah aku bawa ke sini dia nangis. Dia bingung mau bilang apa ke orang tuanya karena ternyata keluarganya itu nggak suka sebenernya sama tunangannya itu. Karena nggak satu level. Bahkan di Sydney sekali pun aku ketemu golongan kayak Mila.” Jelasku bersemangat.
“Iya, trus gimana?”
“Apanya gimana?”
“Gimana dia bilang ke orang tuanya itu. Kata kamu kan dia mau nikah, trus si Zoe udah bilang ke keluarganya?”
Aku mengambil sendokku lagi dan kembali makan.
“Belum. Tapi dia bilang dia bakalan pikirin gimana caranya. Tapi seenggaknya dia udah dijauhkan dari orang bakalan menghancurkan masa depan Zoe. Lebih baik gagal di awal kan dari pada menyesal di kemudian hari dan semuanya benar-benar berjalan seperti apa yang diinginkan di cowok. Woman support woman.” Kataku menutup obrolan tentang Zoe.
Rendi tidak menanyakan lebih jauh lagi setelah aku memberikan kode agar menghentikan pembicaraan ini.
Semuanya akan baik-baik saja.
-Continue-