“Hon, aku kayaknya pulang telat soalnya ada meeting trus mau makan malem bareng klien. Kamu ada nitip? Atau mau aku bawain makanan juga buat makan malem kamu? Tapi nanti kamu nunggu kelamaan.” Kata Rendi yang sedang membuka gorden di ruang tengah dan aku sedang memasak untuk bekal makan siang.
“Nggak usah, Ren. Aku makan tempe mendoan aja nanti malem tinggal goreng sama sambal ijo yang dikirimin sama Mama kamu. Aku lagi suka banget makan mendoan. Ini kamu mau juga nggak buat makan siang?” Rendi menyalakan mesin kopi dan merejang s**u di dalam panci kecil untuk membuat sarapan berupa oatmeal dan s**u almond.
“Oke kalo gitu. Aku sih mau-mau aja.” Katanya. “Kamu makan mendoan aja sama sambel kasian banget, sih kayak nggak keurus. Nanti aku beliin makanan aja deh ya, kalo nggak kamu bisa take away makanan.”
Aku mamandang malas ke arah Rendi. Ini satu hal yang kadang membuatku sebal pada Rendi. Bukan berarti aku tidak menghargai, namun sebaliknya. Terkadang Rendi terlalu baik dan perhatian padahal apa yang aku lakukan tidaklah perlu dikhawatirkan dan semuanya akan baik-baik saja. Rasa protektifnya kadang membuat sebal, namun kadang juga membuat gemas. Tapi kali ini aku tidak ada gemas-gemasnya sekali pun.
“Ih, biarin. Aku pengen.” Kataku.
“Kamu kerja capek-capek makanya jangan cuma itu.”
“Iya, nanti aku makan yang lain juga.” Kataku pada akhirnya.
Hari ini ada klien baru, aku tidak ingin awal hariku hancur hanya karena perdebatan tidak penting masalah makan malam. Mood-ku hari ini sedang tidak bagus, aku juga sedang tidak enak badan karena kelelahan dan kurang tidur karena semalam asik melihat berbagai majalah dan membuat rangkuman kecil untuk beberapa klien yang sedang dan akan ku tangani.
Anne membekaliku dengan banyak majalah yang menjadi referensi klien. Sudah ada tumpukan tinggi yang berada di rumah. Sebagian aku yang membelinya sendiri dan harganya tidaklah murah. Sudah dua minggu aku tidak melihat Zoe, ia seperti hilang begitu saja seperti asap. Dan aku baru menyadari, ketika Zoe tidak ada, semuanya mencoba untuk menjadi pemimpin di kantor. Banyak ornagyang berbicara dan mengatur, sampai-samapi aku bingung harus mengikuti mulut yang mana.
Kepalaku cukup pusing, ditambah dengan ocehan Rendi pagi ini. Rasanya kalau tidak ingat kalau aku harus bertemu dengan klien baru di kedai kopi yang tak jauh dari apartemenku sendiri, rasanya aku ingin izin satu hari saja untuk beristirahat.
Aku menghembuskan napas pelan. Rendi sedang berada di kamar mandi setelah aku mengalah. Aku duduk di kursi pantry dan menelungkupkan wajah di lipatan tangan di atas meja.
***
“Nama saya Louis, dan ini Tiffany tunangan saya.” Kata si calon pengantin pria padaku dan Deby. Aku menyalami Tiffany yang mungil dan terlihat cantik dengan rambut panjang hitam bergelombangnya. Aku bisa menerka bahwa ia adalah orang Asia meski aku tidak tahu dari mana ia berasal dari wajahnya.
“Bianca.” Kataku dan gantian Deby yang memperkenalkan diri.
“Kami tidak ingin pernikahan yang aneh-aneh, konsep yang aku dan Tiffany inginkan hanyalah yang khidmat dan hanya didatangi oleh beberapa orang saja. Kami ingin pernikahan ini terkesan intim dan berkesan bagi semua orang yang datang. Hanya akan ada sekitar seratus orang yang hadir, dan itu akan diadakan di villa milikku di Mawson.” Jelas Louis dengan suaranya yang dalam dan enak didengar.
“Baik, kami memiliki beberapa penawaran untuk undangan sekitar seratus orang. Apakah ada spesifik hal anda ingin sampaikan pada kami terlebih dahulu sebelum kami menjelaskan beberapa penawaran kami? Seperti tema, atau pun designer yang anda inginkan untuk merancang gaun pernikahan anda? Makanan, apa apun itu.” Tanya Deby yang sudah siap dengan Filofax-nya pada Tiffany yang lebih diam dibandingkan Louis.
Namun Tiffany yang kelihatan tidak terlalu bersemangat menggeleng pelan, “tidak ada yang terlalu spesial yang aku inginkan. Kami hanya ingin sesuatu yang intim, yang hangat untuk semua undangan.” Katanya singkat, bahkan terlalu singkat dari pada semua calon pengantin yang sudah beberapa kali membuatku pusing dan takjub dengan berbagai tingkah laku mereka.
Louis dan Tiffany adalah tipe pesangan yang anteng, tidak banyak bicara dan sangat sopan. Akhirnya aku bisa bertemu dengan calon pasangan normal yang tidak menganggap acara pernikahan mereka adalah satu event yang harus lebih hebat dari Grammy atau pun Met Gala. Aku tersenyum, tapi tidak begitu dengan Deby.
“Kalau begitu, pestanya akan diadakan di kebun dan sekiranya undangan akan… mungkin kau ingin kita memasang tenda besar atau mungkin hanya pesta terbuka tanpa ada penghalang?” tanya Deby lagi.
“Karena pestanya siang, mungkin terbuka.” Jawab Louis tersenyum.
“Kami memiliki banyak design untuk pesta outdoor. Dengan bunga-bungaan yang beraneka jenis dan model dari yang paling sederhana sampai yang sangat mewah.” Deby memperlihatkan map besar yang berisi berbagai jenis pesta outdoor yang pernah kantor kami selenggarakan. Bahkan untukku yang pegawainya sendiri, setiap melihat semua portofolio yang ada di dalam map besar berwarna hitam yang kini sedang disodorkan Deby pada klien kami.
“Yang sederhana saja cukup.” Kata Tiffany memutuskannya begitu saja tanpa memandang portofolio yang terbuka.
“Baik…” Deby kelihatan sedikit kesulitan dan memandang catatannya yang sangat minim.
“Maaf, kalau aku boleh bertanya, berasal dari manakah kalian berdua? Untuk hidangan, ku rasa untuk membuat suasana hangat dan intim, makanan adalah satu hal yang penting untuk disajikan. Misalnya ada maknaan khas dari masing-masing asal kalian yang ingin disajikan apda undangan yang kebanyakan akan didatangi oleh keluarga.” Kataku pada kedua orang dihadapanku ini.
Tiffanny menyesap minumannya. Ia memesan mojito dengan es yang tidak akan pernah aku pesan di siang bolong.
“Aku berasal dari Normandy, bagian Utara Prancis. Dekat dengan laut dan keju yang sangat terkenal. Sedangkan Tiffany dari Vietnam.” Kata Louis yang senyumnya terasa sangat mahal.
Aku mengangguk mengerti seakan ada lonceng berdenting di kepalaku. Vietnam, tentu saja ia terlihat seperti orang Asia. Dengan tubuh mungil dan rambut hitam serta wajah kecil yang terlihat eksotik dan banyak digandrungi orang-orang kulit putih. Ya, rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih menarik, kan? Tidak ada yang salah dengan itu.
“Aku suka spring roll Vietnam.” Kataku tersenyum kecil.
Namun Tiffany tidak menanggapi dan malah menyesap kembali minumannya dan memandang keluar jendela seakan apa yang aku katakana tidak menarik minatnya. Atau sebenarnya, sedari awal ia tidak menaruh minat padaku dan Deby yang kini sedang mengorek informasi sebisa mungkin untuk perhelatan resepsi pernikahannya yang masih berada di awang-awang. Aku tahu kalau Deby kesulitan dengan sedikitnya informasi yang masuk. Selama ini, selalu si calon mempelai wanita yang tidak pernah kehabisan akal dengan resepsi pernikahan impian mereka. Akan selalu ada daftar panjang yang membuatku atau Deby mencatat semuanya dan membayangkan seperti apa pernikahan yang diinginkan. Namun di depan Louis dan Tiffany, kami kesulitan mencari semua itu.
Ini pertama kalinya aku dan Deby berbicara banyak dan menayakan banyak hal di hari pertama kami bertemu dengan klien. Biasanya selalu kebalikannya. Deby akhirnya menutup buku catatannya dan menyesap kopi panasnya. Ia kelihatan tak lagi peduli dengan klien dihadapan kami ini. meski begitu aku tahu, apa-apa sajayang penting sudah ditulis Deby dalam buku catatannya yang menyimpan berbagai informasi penting semua klien yang pernah ditemuinya. Ia sedang menilai sambil menikmati kopi pesanannya.
“Ku rasa tiffany kelelahan karena kami baru saja sampai ke sini kemarin malam dari Paris.” Kata Louis yang lagi-lagi mencoba mencairkan suasana.
“Kami mengerti.” Kataku tersenyum seramah mungkin.
“Mungkin semuanya sudah cukup.” Kata Tiffany yang memandang Louis meski kata-kata yang ia sampaikan lebih kepada untukku dan Deby.
Louis tersenyum canggung, namun tetap mengikuti keinginan pasangannya.
“Sepertinya begitu, kita bertemu minggu depan?” tanyanya mencoba memastikan kembali serangkaian jadwal yang telah kami buat.
“Iya, betul. Mmungkin untuk lebih pastinya, kita bisa mengaturnya kembali nanti.” Kataku.
“Baik kalau begitu, kami pamit dulu. Senang mengenal kalian, Bianca dan Deby. Sampai ketemu lagi minggu depan. Sekali lagi aku berterima kasih kalian sudah mau menyempatkan waktu untuk bertemu dengan kami diwaktu sibuk kalian.” Louis kembali mengulurkan tangan padaku dan Deby yang kami balas dengan jabatan tangan seperti pertama kali kami bertemu tadi.
“Kami pun begitu.” Kata Deby.
Berbeda dengan Louis yang masih pamit dan mengtakan serangkaian kata sebagai tanda perpisahan, Tiffany sudah keluar dari restoran tanpa memandang aku dan Deby.
“Seseorang pasti mengalami hari yang buruk sampai-sampai enggan merancang pesta pernikahannya sendiri.”
Deby merentangkan kedua tangannya ke udara dan tertawa kecil ketika kedua pasangan itu sudah benar-benar pergi dan meninggalkan kami berdua dengan segala pikiran dan obrolan mengenai klien yang tingkah lakunya yang aneh.
“Baru kali ini aku bertemu dengan klien yang seperti itu.” Kataku.
“Ya, ku rasa mereka sedang bertengkar. Tapi ku yakin sampai rumah mereka nanti, akan ada yang sampai berguling-guling di atas kasur karena kau lihat Louis? Wow! He’s really hot! Apakah semua pria Prancis seperti dirinya? Tampan, menarik, pintar membawa diri, dan terlihat seksi sekali. Aksen Inggrisnya membuatku meleleh.” Deby memegang kedua pipinya dan membuatku geli.
“Apa kau pikir semua karakter pria di Emily in Paris menarik seperti Louis?” tanyaku dengan pandangan menanti.
“Kau merusak imajinasiku saja. aku kan hanya menayakan pertanyaan retoris. Aku tidak benar-benar mengatakan kalau semua pria Prancis itu sepeti Louis.” Katanya.
“Sudahlah, ayo kita kembali ke kantor saja.” Aku merapikan semua barang-barang kami yang masih tercecer di atas meja ke dalam tas.
“Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat suamimu. Bagaimanakah rupanya?” tanya Deby penasaran.
“Bukan orang Prancis dan tidak seperti Louis.” Kataku yang membuat Deby memukul lenganku kencang sekali.
-Continue-