Chapter Eight

1643 Words
Cause everything starts from something. But something would be nothing - Justin Bieber, Believe. ••• Setelah semalaman tidur dan bermimpi indah, Khatrine akhirnya bangun ketika sinar matahari pagi masuk melalui celah jendela dan mengenai matanya. Perlahan ia mulai membuka matanya, mengernyit saat cahaya matahari menghalangi pandangannya. Ia pun mengerjap-ngerjapkan mata sejenak sambil menghalangi sinar matahari dengan tangan. Ketika pandangannya sudah jelas, ia menemukan Raveno sudah duduk di kursi pinggir ranjang. Pria itu duduk di sana sambil menatap ke arah Khatrine. "Kau sudah bangun?" tanya Raveno. Ia kemudian mendekat, duduk di pinggir ranjang sambil mengusap rambut Khatrine. "Sejak kapan kau duduk di sana?" Ia memainkan jari Raveno yang berada didekat wajahnya, merasa sedikit bahagia saat menemukan pria itu ada disaat ia membuka mata. "Hm...mungkin sekitar satu jam yang lalu." Khatrine membelalakkan matanya. "Kenapa tidak membangunkanku?" "Tidurmu nyenyak sekali. Aku tidak tega membangunkanmu." "Dan jika aku tidak juga bangun, apa kau akan tetap menunggu di sana?" "Mungkin iya," Khatrine berdecih pelan, namun tidak bisa ia pungkiri jika ia bahagia mendengar jawaban Raveno itu. Raveno terkekeh melihat wajah cemberut Khatrine itu. "Jangan cemberut seperti itu," Ia mencubit pelan pipi Khatrine. "Bersiap-siaplah." "Kau akan segera pergi?" "Iya. Pesawatnya berangkat pukul 11," Ia melirik jam dinding di kamar Khatrine. "Dan ini sudah jam 9." "Berapa lama kau akan pergi?" "Aku tidak tahu. Jika keadaan Shasa sudah membaik. Aku akan segera pulang," Khatrine mengangguk pelan. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya. "Aku akan siap-siap dulu," "Oke. Aku menunggumu di meja makan. Aku juga sudah membuatkan sarapan untukmu." Raveno mengecup kening Khatrine lembut lalu berlalu keluar kamar. Sementara Khatrine hanya bisa menghela nafas sebelum berbalik memasuki kamar mandi. *** Dari tempatnya berdiri, di balik pilar bandara, Khatrine hanya bisa mematung sambil melihat Raveno yang tengah berbincang bersama Sabrina dengan Shasa di gendongan pria itu. Dapat ia lihat, jika Raveno tersenyum kemudian mengusap lembut puncak kepala Sabrina. Khatrine mengalihkan pandangannya. Ia menghela nafas untuk menghilangkan sesak didadanya. Ketika melihat bagaimana lebarnya senyum Shasa dan Sabrina, Khatrine jadi merasa bersalah karena sudah diam-diam menjalin hubungan dengan pria itu. "Kau ingin pulang sekarang?" Tersadar, Khatrine pun menoleh ke belakang, dimana Thomas berdiri di sana dengan kaca mata hitam bertengger diwajahnya. Hah! Karena terlalu larut dengan pemikirannya, Khatrine jadi melupakan Thomas yang berdiri di belakangnya. Sebenarnya Khatrine sengaja meminta Thomas untuk menemaninya, karena Khatrine takut jika nantinya ia akan nekat menghampiri Raveno dan langsung memeluknya. Maka dari itu ia meminta Thomas untuk menemaninya, agar pria itu bisa menghentikannya. "Khat?" "Ah iya, aku ingin pulang." Karena jika ia tidak segera pergi dari sana, Khatrine mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi. "Ayo kita pulang," ucap Thomas lalu merapikan topi dan masker yang dipakai oleh Khatrine lalu mengajak wanita itu pergi dari sana. Kaki Khatrine bergerak mengikuti Thomas menuju parkiran. Pandangannya hanya lurus ke arah punggung Thomas yang berada di depannya. Kemudian tiba-tiba saja Thomas berhenti, membuat Khatrine menabrak punggung Thomas. "Ups! Sorry, Khat." Thomas terkekeh saat melihat Khatrine cemberut. "Kenapa tiba-tiba berhenti?!" tanya Khatrine sambil mengusap keningnya. Thomas diam. Ia lantas menggantikan tangan Khatrine untuk mengusap lembut kening wanita itu. "Apa sakit?" Khatrine menahan senyumannya. Sebenarnya kepalanya tidak terlalu sakit, tapi ia hanya ingin menjahili Thomas saat ini. "Tentu saja sakit!" protesnya. "Lagipula kenapa kau tiba-tiba berhenti seperti itu?" Thomas meringis menyesal. "Aku tak sengaja, Khat. Tadinya aku ingin menyuruhmu berjalan di sampingku. Tapi malah seperti ini jadinya," Tangan Thomas masih setia mengelus kening Khatrine. Hingga kemudian, Khatrine sadar jika posisinya dan Thomas sangat dekat. Refleks, ia langsung memundurkan langkah, sedikit menjaga jarak dengan Thomas. Thomas berdehem sambil mengusap tengkuknya. Sepertinya pria itu merasa canggung saat mengetahui kedekatan mereka tadi. "Um...kau mau ikut denganku?" Khatrine menaikan satu alisnya. "Ke mana?" Thomas tersenyum misterius. "Aku yakin kau tidak akan menyesal jika ikut denganku." Khatrine mencibir. Ya, selama ikut bersama Thomas ia memang tak pernah menyesal. Karena pasti ada sebuah tempat yang akan Thomas tunjukan padanya, entah itu pemandangan, restoran di atas gedung, vila di pinggir pantai dan banyak lagi hal lain. Jadi, dari pada ia merasa bosan berada di apartemen sendirian, lebih baik ia ikut bersama Thomas. Tidak salahkan? "Oke aku ikut," Thomas tersenyum. "Ayo masuk ke mobil," lalu berjalan ke mobil dan membukakan pintu mobil untuk Khatrine. Tanpa bantahan, Khatrine langsung saja masuk ke dalam mobil. Pasrah mengikuti Thomas ke mana pun dia akan mengajaknya. *** Kali ini Khatrine benar-benar mengagumi kepandaian Thomas dalam mencari tempat yang indah, karena hari ini Thomas mengajak Khatrine ke salah satu pantai di Miami, Florida. Cuaca yang terik seperti ini membuat keindahan pantai semakin terpancar, apa lagi saat sinar mentari berpantulan dengan riak air laut. "Bagaimana? Kau suka?" Khatrine otomatis menghadap ke belakang saat mendengar suara Thomas. "Suka sekaliii. Kau tahu darimana tempat sebagus ini?" Thomas tersenyum miring. "Sudah ku bilang, kau pasti suka." Lagi-lagi Khatrine mencibir, meninju lengan Thomas pelan. "Oke, aku kalah kali ini. Tapi...dari sekian banyak tempat, kenapa kau memilih pantai?" Thomas menatap Khatrine. "Karena kau seperti ombak," "Kenapa seperti itu?" "Ombak laut takkan pernah menyentuh, menghampiri, dan membasahi apapun selain pantai. Hanya pantailah yang menjadi akhir dari tambatan kesetiaannya selamanya." Ia menghadap ke arah pantai. "Begitu juga dirimu, Khat." Khatrine bertambah bingung. Melalui nada suara Thomas tadi, ia yakin jika ada makna di balik kata-kata Thomas tadi. Tapi apa? "Maksudmu?" Thomas menghela nafas panjang. "Sudahlah, lupakan saja." Ia tersenyum hangat, mengulurkan tangannya pada Khatrine. "Ayo," Khatrine menerima uluran tangannya. "Ke mana?" "Rahasia." Dan Khatrine hanya bisa diam, karena ia yakin jika yang di maksud rahasia oleh Thomas pasti sesuatu yang mengagumkan. *** "Tidak!! Aku tidak mau, Thom!" "Ayolah, Khat. Sekali saja," Khatrine menggeleng kuat. Menolak keinginan konyol Thomas yang entah keberapa kali. Ia menyesal pernah berkata jika sesuatu yang dikatakan Thomas adalah sesuatu yang mengagumkan. Jika tahu Thomas akan mengajaknya ke sini, Khatrine pasti akan langsung menolak. Ya Tuhan! "Aku bilang tidak, Thom." Thomas berdecak kesal. "Kau payah, Khat. Kita hanya naik parasailing, Khat. Bukan berenang bersama hiu," Khatrine melotot. "Hanya katamu? Apa kau tidak takut jika talinya putus, dan kita akan terombang-ambing di—THOMAS!!" Ia memukul punggung Thomas ketika dengan tak berperasaan Thomas menggendong Khatrine di bahunya, layaknya sekarung beras. Khatrine bahkan tidak tahu kapan Thomas bergerak mendekat dan menggendongnya menuju boat yang akan membawa kami ke tengah laut. Setelah sampai di boat, Thomas baru menurunkannya. Khatrine baru akan melompat turun namun terlambat karena kapal sudah lebih dulu bergerak menjauhi pinggir pantai. Khatrine berbalik, menatap kesal Thomas. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa geli. "Kau tidak bisa turun, Khat." Khatrine mendengus kesal, memilih untuk duduk di boat. Ia sedikit merasa nyaman saat angin laut menerpa wajah dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mata Khatrine perlahan tertutup menikmati kedamaian itu. Lalu sebuah pergerakan ia rasakan di kepalanya, membuat Khatrine membuka mata. "Apa yang kau lakukan?" tanya Khatrine pada Thomas yang duduk di sebelahnya, sementara kedua tangan pria itu sibuk dengan rambut Khatrine. "Nah selesai!" Thomas menepuk-nepuk kedua tangannya. Tangan Khatrine merambat naik ke kepala, menyentuh rambutnya yang awalnya tergerai kini sudah dikuncir oleh Thomas. "Kenapa di kuncir?" Thomas tersenyum, menepuk puncak kepala Khatrine dua kali. "Kau lebih cantik jika di kuncir. Jadi wajahmu tak tertutupi oleh rambut sia*lanmu itu," Khatrine memukul Thomas. Enak saja dia mengatakan rambutnya sia*lan. Pria itu tidak tahu saja jika ia mengeluarkan banyak biaya untuk perawatannya, bahkan Raveno sangat menyukai rambutnya ini. Ah! Mengingat Raveno membuat mood Khatrine memburuk. Ia jadi memikirkan Raveno. Sedang apa pria itu? Apa dia sudah sampai? Entahlah! "Jangan melamun," tegur Thomas. Bertepatan dengan boat yang berhenti di tengah laut. "Aku tidak mau naik, Thom." pinta Khatrine sekali lagi pada Thomas. Jawaban Thomas tetap sama. Ia menggelengkan kepalanya. "Kau tidak bisa menolak, Khat. Kita sudah sampai di sini," Khatrine memasang ekspresi wajah memelas. "Tapi aku takut, Thom." "Tenang saja. Peralatan disini aman, lagipula ada aku yang akan menjagamu." Dengan berat hati, Khatrine akhirnya mengizinkan pengawas parasailing memasangkan beberapa peralatan keamanan ditubuhnya. "Kau siap?" tanya Thomas begitu peralatan keamanan sudah lengkap ditubuh Khatrine. Khatrine menggeleng lemah. “Tidak!” "Ayolah. Jangan lemas begitu, kau harus tersenyum." Ia menarik kedua pipi Khatrine. Membuat wanita itu jadi tersenyum aneh. "Kita akan terbang hari ini." Khatrine memukul lengan Thomas yang berada di pipinya. "Aku takut, Thom. Bagaimana jika—" "Hey!" Tegurnya. "It’s okay. Everything gonna be fine." ucapnya menenangkan Khatrine. Khatrine menarik nafas, sebelum menghembuskannya perlahan dan berusaha untuk mengurangi rasa takutnya. Dan sepertinya itu berhasil. Pengawas kemudian memberi aba-aba kepada mereka berdua jika parasailing akan di terbangkan. Khatrine otomatis memejamkan mata lantaran takut. Ia seketika berteriak kencang saat tiba-tiba kakinya tak lagi menapak di kapal, tangan Khatrine berpegangan kuat pada tali pengaman di sisi kanan dan kiri. Ia bisa merasakan tubuhnya melayang, namun ia belum mau membuka mataku lantaran takut. "Khat, buka matamu!" "Tidak mau, Thom. Ini pasti tinggi sekali!" Thomas tertawa. "Ayolah, kau akan takjub saat melihatnya nanti. Ini benar-benar indah, Khat. Aku bersumpah." Mau tak mau nada riang Thomas itu membuat Khatrine penasaran akan bagaimana keindahan yang pria itu maksud. Khatrine membuka mata perlahan-lahan. Dan pemandangan laut yang membentang luas di bawah kakinya ini benar-benar indah. Thomas benar! Ini...ini sangat menakjubkan. "Huaaaa...ini sangat indah, Thom." Thomas tertawa. "Apa aku bilang. Kau pasti tak akan menyesal." "Kau benar, Thom!" "Khat, lihat itu." Tangan Thomas terulur melewati d**a Khatrine. Menunjuk ke arah awan yang berbentuk seperti orang tersenyum. "Awan saja tersenyum, jadi kau juga harus tersenyum." Khatrine tersenyum. "Aku sedang tersenyum sekarang." Thomas tersenyum. "Bukan hanya untuk sekarang. Tapi untuk selamanya, kau harus terus tersenyum. Tak peduli apa yang kau alami." Kini giliran Khatrine yang tertawa. "Kau terlihat seperti motivator, Tuan Henderson." Thomas berdecak. "Aku serius, Khat." Tak ada tanggapan dari Khatrine, karena wanita itu tengah sibuk menggoyang-goyangkan kedua kakinya sambil menatap ke sekitar. Senyum lebar terlukis jelas dibibirnya. Entah kenapa disaat-saat seperti ini, Khatrine jadi merindukam kedua orangtuanya. Ia kemudian menengadahkan kepala menatap langit dan berucap dalam hati. Angin laut, tolong sampaikan pada kedua orang tuaku untuk tidak perlu khawatir karena aku memiliki malaikat pelindung di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD