Chapter Eleven

1083 Words
Siang itu Khatrine habiskan waktunya untuk mengabaikan Raveno. Ia hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan tiap kali pria itu berbicara padanya. Kemudian dari sudut matanya, ia melihat jika Raveno tengah memijat pelipisnya sambil menghela nafas. Khatrine berusaha tak peduli, lalu ia kembali menonton TV. Tapi mau bagaimana pun ia berusaha untuk tak peduli, Khatrine tetap saja melirikkan matanya ke pria itu. Ia lantas menghela nafas lantaran tak tega, ia pun memilih menghadap Raveno. "Kau sakit?" Raveno yang tadinya tengah memijat pelipisnya langsung menoleh. Pria itu tersenyum tipis dan menggeleng sambil menurunkan tangannya dari pelipis. "Aku tidak sakit. Kenapa kau bertanya seperti itu?" Bahkan dengan wajah yang terlihat pucat seperti itu, Raveno masih saja bilang tidak apa-apa. Khatrine jadi merasa kasihan. Ia pun berdiri, berjalan ke kamar untuk mengambil termometer dan juga obat demam. Tak lama, ia sudah kembali dengan termometer dan juga obat demam di tangannya. Wanita itu meletakkan kotak obat diatas meja lalu mulai mengukur suhu tubuh Raveno. "Khat, aku sungguh tidak apa-apa." Raveno berusaha untuk melepaskan termometer itu dari tubuhnya. "Diam, jangan banyak bergerak!" Sentak Khatrine. Ia mengambil kembali termometer tadi dan melihat suhu tubuh Raveno. Ternyata benar, pria itu sedang demam. Bahkan suhu tubuhnya diatas normal. "Kau demam, Rav." "Tidak terlalu parah," Khatrine berdecak. "Jika didiamkan saja akan semakin parah!" Ia memandang Raveno serius. "Jadi lebih baik kau diam. Jika tidak mau diam, lebih baik pulang sana!" "Ya ampun. Baiklah aku akan diam," ucap Raveno pada akhirnya mengangkat kedua tangannya di depan d**a sambil memandang Khatrine hangat. "Tunggu di sini. Aku akan mengambil minum dulu," Khatrine berjalan ke dapur, mengambil segelas air untuk Raveno. Setelah itu ia kembali lagi. Ia memberikan segelas air dan obat tadi pada Raveno. "Cepat minum. Setelah itu kau harus istirahat." "Kau terlihat seperti seorang ibu yang memarahi anaknya," Canda Raveno. "Cepat minum, tidak usah banyak bicara!" Raveno berdecak. Namun tetap menuruti ucapan Khatrine. Seketika pria itu mengernyit saat rasa pahit menyerang lidahnya. Ugh! Inilah alasan kenapa Raveno benci minum obat! "Kau tidak punya permen, Khat?" "Permen? Untuk apa?" "Lidahku terasa sangat pahit." Khatrine lantas memutar matanya malas. "Tentu saja pahit, kau kan baru meminum obat." "Ini benar-benar pahit, Khat." "Ck! Jangan seperti anak kecil, Rav." "Baiklah," Raveno memegang kedua bahu Khatrine. "Bagaimana jika ini saja?" Dengan cepat ia langsung mencium pipi Khatrine. Tubuh Khatrine mematung. Ia mengerjap, memandang Raveno yang saat ini tersenyum lebar. Pria itu tampak senang sekali karena berhasil mencuri ciuman dari Khatrine. "Dasar perayu!" ejek Khatrine sambil berusaha meredakan detak jantungnya yang menggila sebelum membereskan bekas obat Raveno tadi. "Ayolah, Khat. Jangan diamkan aku seperti ini," Raveno memandang Khatrine dari samping. "Aku minta maaf untuk semalam." Lirihnya. "Tapi kau bisa menghubungiku, Rav. Agar aku tidak menunggumu seperti orang bodoh." Khatrine menghela nafas. "Kau yang bilang akan datang, tapi ternyata kau tidak datang." Raveno mendekat untuk memeluk Khatrine dari belakang. Ia lantas menenggelamkan wajahnya dibahu Khatrine, mencoba mencari sebuah ketenangan. "Maafkan aku," "Selama ini kau selalu meminta maaf. Tapi kau terus mengulanginya," "Maaf," "Berhenti mengucapkan kata itu, Rav!" Khatrine manarik diri. Ia berbalik memandang Raveno dengan mata berkaca-kaca. "Aku benci tiap kali mendengarmu mengucapkan kata maaf. Untuk apa kau meminta maaf, jika kau tidak merasa benar-benar menyesal?" "Kondisi Shasa memburuk." Ucapan itu mampu membuat Khatrine terdiam. Ia hanya memandangi Raveno yang sekarang tengah menunduk, menyembunyikan wajah diantara jarinya. "Semalam dia kesakitan lagi. Aku tidak sempat menghubungimu karena harus membawanya ke rumah sakit." Raveno menghela nafas. "Sabrina juga terus menyalahkan dirinya, Khat. Dia merasa bersalah pada Shasa karena masa lalunya,” lalu memandang Khatrine sedih. "Sabrina seorang pecandu rokok. Dia tidak tahu jika tengah hamil waktu itu." Raveno menarik rambutnya. "Aku bingung harus bagaimana, Khat." Satu informasi itu mampu membuat Khatrine bungkam. Perlahan ia pun mendekat untuk memeluk Raveno dari samping, sembari menepuk-nepuk punggung Raveno. Ya Tuhan! Ia merasa menjadi orang yang begitu jahat karena terus marah saat Raveno tidak bisa menemuinya dan malah berpikir jika Raveno tengah bersenang-senang bersama Sabrina. Padahal nyatanya pria itu tengah kalut memikirkan kondisi putrinya. "Maaf," ucap Khatrine pelan. "Aku sudah bertindak egois." "Tidak, Khat." Raveno membalas pelukan Khatrine. "Kau tidak salah. Semua ini salahku, andai dulu aku tidak melakukan kesalahan pasti—" Ia menghentikan ucapannya dan memilih untuk menenggelamkan kepalanya dihelaian rambut Khatrine. "Aku menyayangimu, Khat." "Aku juga menyayangimu, Rav." Dalam pelukan Raveno hanya bisa memejamkan matanya. Ia makin mengeratkan pelukannya sambil mengecupi rambut Khatrine. "Terima kasih, Khat." "Untuk apa?" "Untuk semuanya," "Iya," Ia menepuk-nepuk punggung Raveno pelan. "Kau harus istirahat, Rav." "Sebentar lagi, Khat. Aku masih ingin memelukmu," Khatrine menganggukan kepalanya pelan. Sementara kedua tangannya mengusap punggung Raveno. Berharap bahwa itu bisa membuat Raveno lebih tenang. **** Ketika kedua mata kesukaannya itu tertutup, Khatrine hanya bisa memandanginya dalam diam sambil berbaring diam di sebelah Raveno, menelusuri wajah pucat pria itu. Helaan nafas Raveno yang terlihat tenang membuat Khatrine tersenyum tipis lalu menggerakan tangannya untuk mengusap rambut dan kening Raveno. Pria itu sepertinya tampak terganggu dengan apa yang Khatrine lakukan, tapi untungnya mata Raveno tetap tertutup. "Apa kita akan terus bersama, Rav?" Khatrine bertanya seperti orang bodoh pada Raveno yang tertidur. Ia tersenyum miris, menertawakan dirinya sendiri yang terlalu mudah memaafkan Raveno. Mau disakiti berapa kali pun, Khatrine pada akhirnya akan tetap memaafkan Raveno. Entah apa yang membuatnya selemah ini terhadap Raveno. "Apa kita bisa bahagia nanti? Atau kita akan berpisah?" Meski tahu ini percuma, Khatrine tetap berbicara. Khatrine menutup mulutnya saat isakan hanpir keluar dari mulutnya. Ia segera bangun dan berdiri di dekat jendela. Ia menangis tanpa suara disana. Ya Tuhan! Dadanya sesak sekali. Ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya agar ia merasa lega. Tapi—” "Jangan menangis." Sebuah pelukan yang Khatrine rasakan dibalik tubuhnya membuat ia seketika menegang. Ia menggigit bibirnya agar isakannya tak keluar. Ia juga mempertahankan posisinya agar membelakangi Raveno. "Jangan seperti ini, Khat. Aku mohon." "Lalu aku harus bagaimana?" Ucap Khatrine dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku menyayangimu. Sungguh." Raveno mengeratkan pelukannya. "Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Sabrina. Shasa akan sedih jika ia tahu. Aku mohon, Khat. Mengertilah..." "Aku selalu mengerti, Rav. Tapi seberapa mengertinya aku, aku tetap yang tersakiti. Rasanya tidak adil." Raveno membalik tubuh Khatrine. Ia menatap wajah Khatrine yang sudah badah oleh air mata. Lalu perlahan ia mendekatkan wajahnya untuk mengecup kedua mata wanita itu. "Aku berjanji akan selalu ada di sampingmu, Khat." "Jangan berjanji lagi, Rav. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan janjimu. Tapi aku mohon buktikan ucapanmu itu," Raveno mengangguk pelan. "Aku akan berusaha, Khat." Ia kembali memeluk Khatrine, menghirup aroma rambut Khatrine yang harum. "Aku menyayangimu, Khat." "Aku juga," Ucap Khatrine lalu membalas pelukan Raveno.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD