1. Demi anak laki-laki.
Langit malam terlihat begitu gelap, tanpa bintang juga tanpa rembulan yang bersinar terang seperti malam sebelumnya. Hembusan angin di malam yang semakin larut, membuat seorang lelaki tiga puluh delapan tahun itu kembali menghalau gundah dalam hatinya. Pria itu adalah Heksa Kamran Sultan.
Usai perdebatan dengan kedua orang tuanya selepas makan malam tadi, Heksa memasuki ruang kerjanya di lantai atas. Selalu begini, Heksa tak suka diganggu apabila moodnya hancur saat topik mengenai anak laki-laki diangkat ke permukaan.
Kedua orang tua Heksa menuntut Heksa agar Heksa kembali membujuk istrinya, Medina Setyarini supaya memberikan izin Heksa menikah lagi. Demi garis keturunan laki-laki yang akan meneruskan marga dan perusahaan keluarga.
Medina, istri Heksa yang telah berusia tiga puluh tujuh tahun itu sudah memberikan dua orang putri yang cantik-cantik untuk Heksa. Sayangnya, setelah melahirkan anak keduanya, Dina mengambil keputusan untuk berhenti memiliki anak lagi.
Sebenarnya bagi Heksa tak masalah dengan keputusan sang istri, toh laki-laki ataupun perempuan sama saja. Hanya saja hal itu ditentang keras habis-habisan oleh kedua orang tua Heksa. Bagi sepasang sepuh itu, kelahiran anak laki-laki sebagai penerus generasi adalah sebuah kewajiban.
Sekali lagi, Heksa menghela napas kasar.
Pintu di ketuk dari luar, membuat Heksa bergegas bangkit dan membuka pintu. Sosok Medina muncul, dengan tersenyum lembut dan penuh dengan keramahan.
"Mau aku temani?" tanya Medina dengan lembut, kelembutan yang membuat Heksa tentunya bertekuk lutut tanpa Sudi menoleh pada yang lain.
"Hmm," jawab Heksa membuka pintu selebar mungkin, membiarkan istri tercintanya masuk sebelum menutup pintu dengan pelan.
Heksa berbalik, memeluk Medina dan menumpukan dagunya diatas kepala sang istri.
"Menikahlah lagi jika memang itu yang harus mas lakukan sebagai jalan keluar, aku memberi izin," tandas Medina hingga membuat jantung Heksa seolah nyaris keluar dari rongga dadanya.
**
Suara hingar bingar musik terdengar memekakkan telinga. Aroma parfum yang bercampur baur dari satu orang ke orang lainnya, menjadi ciri khas dunia malam yang penuh dengan maksiat namun terasa nikmat.
Seorang wanita yang menjabat sebagai mucikari, tengah menyesap red wine sedikit demi sedikit. Wanita awal empat puluhan itu, Renata namanya. Wanita yang membuat banyak anak buahnya memuji kesuksesan dan kerendahan hatinya.
Tidak semua wanita malam memiliki g***o yang kejam, licik dan penuh intrik. Di tempat ini, Renata adalah wanita yang didewakan karena ia tidak pernah memaksa anak buahnya untuk melayani tamu-tamu p****************g. Kebanyakan dari para kupu-kupu malam itu datang sukacita atas kehendak diri, untuk dijual dan menjajakan diri demi segepok uang sebagai jalan pintas menuju hidup enak dan masa depan dengan kejayaan.
Di kota metropolitan seperti ibukota saat ini, tidak ada yang namanya kehidupan layak dengan penebusan secara gratis. Segalanya butuh uang dan tidak semua tempat menjanjikan keuntungan yang di damba banyak orang. Satu-satunya jalan pintas adalah mengais rejeki dengan menjajakan diri.
Kepuasan maksimal adalah jargon bisnis Renata. Siapapun pria kaya maupun pejabat elit sekalipun, tidak segan-segan mencari Renata, mereka datang demi menghibur diri dari penat pekerjaan setelah seharian mengabdi untuk keluarga. Ya, sesekali kenikmatan perlu dinikmati, bukan? Bahkan yang katanya itu najis, tak segan-segan di terjang saja tanpa pikir panjang.
"Mam, ada yang mencari. Teman lama mami," bisik seorang lelaki dengan tubuh tinggi tegap dan wajah sangar. Ekspresinya datar dan ia seolah layaknya robot yang bisa Renata kendalikan.
Renata mengangguk, menatap pria matang dengan tatapan matanya yang tajam. Meski telah belasan tahun berlalu mereka tanpa bertemu, tetapi Renata belumlah pikun. Masih tercetak jelas dalam ingatannya, bahwa pria tampan yang melangkahkan kaki ke arahnya itu, adalah pria dengan predikat tambang emas bagi anak buah Renata belasan tahun lalu.
"Heksa?" tanya Renata seraya menyipitkan mata, menatap sosok rupawan yang ada di depannya. Pesonanya masih sama seperti terakhir kali Renata menjumpai Heksa, tetap tampan dan penuh wibawa.
Heksa hanya mengangguk sebagai jawaban, "Aku datang kemari dengan sebuah tujuan. Mari berbincang lebih santai."
Renata tak segera merespons. Wanita itu lamat-lamat menatap Heksa. Pastilah Heksa datang tanpa tujuan sederhana. Jika ia butuh seorang wanita malam untuk menyenangkannya, Heksa pasti akan segera memintanya pada Renata tanpa menunggu Renata mempersilahkannya ke ruangannya.
"Baiklah, ayo ke ruanganku," ajak Renata. Wanita itu mengibaskan tangan tanda tak ingin di kawal oleh pengawal. Renata tahu betul, siapa sosok Heksa dan menebak kasar apa tujuan Heksa menemuinya tiba-tiba malam ini.
"Selamat datang di ruanganku. Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu, Heksa? Lama kita nggak ketemu," sapa Renata ramah sembari mengedipkan sebelah matanya pada Heksa. Firasatnya mengatakan, Heksa datang dengan keuntungan besar padanya.
Tangan Renata mengisyaratkan pada Heksa agar duduk di sofa empuk dalam ruangannya. Keduanya duduk, dengan posisi saling berhadapan. Tak lupa, Renata juga menyajikan red wine kualitas terbaik untuk tamu istimewanya kali ini.
"Baik. Tak perlu berbasa-basi lagi," jawab Heksa seraya melirik jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangannya, "Aku butuh wanita malam dengan kualitas terbaik dan tarif paling mahal, tetapi yang tidak sering melayani banyak lelaki. Aku ingin wanita yang sehat dan bersih."
Renata mengedipkan kedua matanya beberapa kali, mencerna dengan terlambat maksud Heksa kali ini.
"Untuk melayani kamu?" tanya Renata bodoh demi bisa memastikan.
"Ya," memangnya Renata pikir, Heksa mencari wanita malam untuk siapa? Diam-diam Heksa mencibir dalam hati.
"Baiklah. Aku memiliki seorang wanita dengan ciri yang kamu sebut barusan. Dia belum genap setahun bekerja sama aku. Paling banyak, ia hanya melayani tamu tiga sampai empat kali dalam sebulan. Tapi mesti begitu, tarifnya nggak murah. Wajar sih, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki bahkan oleh semua anak buahku selama aku disini," Ungkap Renata serius. Tubuh wanita itu condong ke arah Heksa, menatap Heksa tepat pada manik tajam pria itu.
"Panggil kesini. Aku mau ngobrol sama dia!" tegas Heksa tak lama.
"Tunggu sebentar, aku panggil dia dulu di kamarnya. Malam ini dia bersantai karna dua malam lalu ia baru melayani tamu," Renata bangkit berdiri meninggalkan Heksa. Ia tak ingin menunda lama keuntungan yang datang padanya itu.
Heksa tercenung di tempatnya. Sepanjang hidup, ia tak ingin salah mengambil langkah. Satu-satunya wanita yang bisa ia sewa rahimnya adalah wanita yang tidak boleh memiliki jiwa keibuan. Jika ia memilih wanita yang memiliki hati nurani dan bermoral, akan sulit baginya nanti memisahkan wanita itu dari anak yang dilahirkannya. Setelah memiliki anak laki-laki, wanita itu sudah harus out dari hidupnya.
Yang Heksa butuhkan hanya anak laki-laki demi memenuhi tuntutan keluarganya.
Mengingat itu, Heksa menghembuskan napasnya kasar.
Izin dari Medina untuk ia menikah lagi, cukup membuat Heksa tak memiliki jalan lain. Tekanan demi tekanan dari orang tuanya pada Medina, membuat Heksa mana bisa tahan? Ia tak ingin berpihak pada Medina atupun orang tuanya.
Pintu terbuka, menampakkan sosok Renata diikuti seorang wanita muda bergaun kuning pucat dibelakangnya.
"Perkenalkan, dia Berliana Mega dan berusia dua puluh lima tahun!"
**