Chapter 31

2252 Words
Kami tiba di gedung konser. Namun Miguel tidak memarkir mobilnya tepat di area parkiran gedung konser itu, melainkan area yang cukup jauh dari gedung konser berada. Ada sebuah minimarket dengan ruko di samping-sampingnya memiliki area lahan parkir cukup luas. Aku bisa melihat kalau ada banyak sekali mobil dan kendaraan terparkir di sana. Tidak hanya itu, banyak sekali anak muda dengan berpakaian necis duduk di samping mobil-mobil itu. Mereka tampaknya adalah anak-anak yang akan pergi melihat konser sama denganku. Miguel tidak langsung keluar, dia masih duduk di dalam mobilnya. Dia membuka sebuah bungkus rokok, Terlihat masih baru dengan tersegel. Dari dasbor mobilnya di bawah, ada sebuah korek yang ia ambil. Korek dengan motif tengkorak besi, dia menyalakan rokoknya dan menghisap rokok itu. Mungkin dia tidak ingin langsung menghadiri konser namun mencoba untuk bersantai terlebih dahulu. Dia masih terlihat syok dan juga meresapi apa yang baru saja ia lakukan saat berada di jalanan barusan. Aku ikut duduk di dalam mobil bersama dengan Miguel, sesekali meliriknya menghisap rokok itu dengan nikmat. “Apa kau mau?” tanya Miguel sambil memberikan sebatang rokok yang masih baru kepadaku. Aku pun langsung mengambilnya dan menyalakan itu dengan korek yang digunakan oleh Miguel tadi. Selama aku berada di SMA, aku ingat sudah tidak pernah merokok. Aku benar-benar tobat sampai oarng-orang heran bagaimana aku bisa berhenti merokok dengan semudah itu. Namun mereka tidak tahu, bahwa orang yang membuatku berhenti merokok waktu itu adalah Miguel. Dia setiap hari mengingatkanku untuk berhenti merokok karena kandungannya yang berbahaya. Dan lama-kelamaan aku luluh karena anjuran yang diberikan oleh Miguel, serasa nasihatnya benar-benar manjur kepadaku. Namun sekarang, Miguel lah yang malah memberikanku batang rokok ini. Dia benar-benar berubah, tidak seperti Miguel yang aku kenal dulu. Aku sekarang bahkan sudah lupa bagaimana rasa rokok itu sebenarnya, pait yang mengumpul di ujung mulutku dan juga rasa adrenalin tipis muncul di otakku. Aku malah merasa berdosa saat melakukan ini. namun di sisi lain, aku tidak bisa membuang rokok ini begitu saja ke tempat sampah dan mematikan apinya. Akan sangat tidak sopan bila aku melakukan itu di depan Miguel. “Kau tahu Killa, aku tidak membeli tiket itu secara gratis loh.” Sahut Miguel sambil menatap ke depan dan menghisap rokoknya. Dia kemudian mengeluarkan tiket konser itu. “Faktanya, tiket ini tidak dijual dengan bebas, hanya beberapa orang yang memiliki akses boleh membelinya. Dan aku adalah salah satu orang spesial itu” lanjut Miguel lagi. Aku tak tahu apa orang dalam yang dia maksud adalah kumpulan orang-orang kaya atau tidak. Karena setahuku The Gist merupakan band anti kemapanan dan benci terhadap orang-orang kaya. Bahkan salah satu lagu mereka ada yang menyindir keelitan kaum-kaum borjuis suka bertindak semena-mena terhadap orang bawah. Dan orang-orang seperti Miguel dan Andin lah orang yang band itu sindir. “Apa, kau mengenal salah satu orang di konser itu dan membeli tiketnya?” tebakku dengan asal. “Hampir benar,” jawab Miguel, “Aku mendapatkannya dari salah satu temanku. Mereka akan bermain di atas panggung hari ini. Aku cukup beruntung bisa memiliki koneksi seperti merek kau tahu. Tanpa mereka aku mungkin tidak akan dapat tiket ini”. Dalam konser itu, akan ada banyak sekali band-band yang akan tampil di luar dari The Gist. Dan kebanyakan band-band itu adalah band-band indie yang tidak populer. Mungkin Band milik Miguel adalah salah satu band indie tersebut. “Lalu mengapa kau tidak ikut tampil bersama mereka? Bukankah merupakan suatu kebanggaan tersendiri bisa tampil di konser sehebat ini?”. “Ya, tapi sayangnya aku memiliki masalah dengan Band itu,” jawab Miguel sambil bernafas panjang. Kemungkinan dia masih memiliki sakit hati dengan band tersebut sehingga sulit untuk menjawabnya, “Jika kau tidak mau menceritakannya, tidak masalah kok”. “Tidak, aku berniat untuk menceritakannya kepadamu kok Killa,” Miguel menaruh rokoknya di asbak terletak di dasbor mobilnya. Dia menatapku dan menarik nafas dengan panjang mencoba untuk berbicara dengan jelas. Aku pun berusaha untuk mendengarkannya dengan seksama takut kalau dia mengulang hal yang penting, “Aku berbuat sesuatu yang sangat fatal. Bahkan sangat fatal sampai-sampai hal yang kulakukan bisa membahayakan nyawa para personil. Ya, kau mendengarnya dengan benar, para personil. Namun untuk bisa mengompensasi apa yang kulakukan dan membuat semuanya menjadi aman. Aku memutuskan untuk mengundukan diri dari band tersebut, meskipun aku sangat mati-matian untuk bisa tampil di konser ini. Keselamatan para personilku jauh lebih berharga daripada egoku sendiri. Tapi maaf Killa, aku tidak bisa menceritakan apa yang sudah kulakukan kepada mereka. Itu terlalu personal untukku”. “Tak masalah. Kau boleh bercerita sebanyak dan sesingkat yang kau mau. Tidak ada paksaan untukmu ingin melakukannya atau tidak.” Responku dengan bijak meskipun aku sungguh penasaran dengan apa yang dilakukan Miguel. Aku menduga kalau itu ada hubungannya dengan keluarga Miguel dan perusahaan yang menaunginya. Karena kudengar, keluarga Miguel berlaku sangat protektif kepada Miguel dan mereka tak segan-segan untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi mereka. Suara sound sudah terdengar dari minimarket yang letaknya cukup jauh ini. Miguel langsung saja membuka pintu dan keluar dari mobil, aku juga pergi dari mobil ini dan membuka pintu itu. Kami berjalan menuju ke tempat konser itu. selama berjalan, Miguel beberapa kali mencoba untuk menggenggam tanganku, namun aku terus saja menolaknya dan mengalihkan pandanganku. Aku merasa tak enak dengan Miguel, tapi aku juga merasa tidak nyaman saat memegang tangannya di tempat ini, karena akan ada banyak orang yang akan memandangi kami seraya kami berjalan menuju tempat konser. Kami tiba di depan gedung. Tampak banyak orang yang mengantri membeli tiket, dan mereka berbaris dengan sangat panjang sampai-sampai tak bisa dihitung berapa jumlahnya. Aku mencoba untuk berbaris di salah satu barisan itu, namun Miguel menarik tanganku. Ternyata ada barisan lain yang disiapkan untuk kami orang-orang dengan tiket di tangannya. Aku mengira kalau aku akan masuk ke dalam barisan itu, tapi ternyata salah, aku diseret lagi ke barisan lain, dengan jumlah orang yang lebih sepi. Di atas gerai tempat orang berjaga tertulis kata “VIP” dengan sangat besar. Ternyata tiket yang kami gunakan adalah tiket untuk orang-orang penting. “Kau tidak perlu mengantri panjang di barisan itu. Karena kita memiliki tiket khusus di sini.” Sahut Beno kepadaku. Aku merasa cukup malu karena mengantre cukup panjang bersama dengan yang lain. Tak kuduga kalau tiket yang aku miliki adalah tiket khusus dengan hanya orang-orang khusus dimilikinya. Saat kami lolos dari tiket itu, kami diantar ke sebuah lorong khusus. Lorong dimana hanya orang-orang VIP yang boleh memasukinya. Tampak di dalam ruangan ada banyak sekali poster The Gist tertempel di sana, semua personil yang terkenal akan personality mereka yang ekstrim nampak sangat menikmati sesi pemotretan itu. Pose mereka terlihat sangat enerjik dan penuh dengan semangat sesuai dengan personalitas mereka. “Andin, kamu sudah datang!” Aku menyapa Andin yang tengah menunggu sendirian di tengah lorong. Aku langsung memeluknya rindu. Aku melihat penampilan Andin dengan seksama, ia memakai pakaian yang sangat keren dan juga mengerikan di saat yang bersamaan. Sebuah pakaian yang hanya cocok dipakai oleh anak band bergenre punk, lengkap dengan aksesoris serba hitam. Namun anehnya aku yang biasa melihat Andin dengan pakaian cantik dan elegan juga cukup terkesima dengan penampilannya saat ini yang ternyata benar-benar cocok dan tetap cantik. “Kamu kok dandannya biasa saja sih Kill? Apa kamu gak punya baju lain?” tanya Andin kepadaku. Aku hanya memakai sebuah baju blouse panjang berwarna merah mirip seperti baju yang digunakan anak-anak saat melakukan pesta prom. Cukup menyelekit bagiku saat Andin mengatakan kalau bajuku nampak biasa-biasa saja. Karena menurutku ini adalah baju yang cukup spesial dan jarang untuk aku gunakan. “Bukankah tema konser ini adalah “Jadilah dirimu sendiri”? aku sekarang adalah versi terbaik diriku sekarang. Jadi aku merasa cocok dengan yang aku gunakan. apakah kau merasa aku tidak cocok memakai baju seperti ini?” jawabku kepada Andin. Aku sebenarnya merasa putus asa untuk mencari baju dan kostum apa yang harus kugunakan, karena aku sendiri tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Aku menggunakan Dress ini hanya berharap aku bisa menjadi seseorang yang aku inginkan seperti sekarang ini. “Cocok sih. Hanya saja aku merasa kalau ini bukanlah dirimu.” Aku sedikit setuju dengan ucapan Andin. Hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kugunakan lagi. Aku adalah orang yang tidak memiliki koleksi baju ataupun kostum yang banyak. Aku sudah membeli kostum ini sudah cukup lama, hanya saja aku tidak tahu kapan aku harus memakai baju ini di saat yang tepat. Tak lama kemudian, Miguel datang menghampiriku. Dia menyapa Andin karena dia sudah mengenalinya sebelumnya, “Halo, gadis pemberi nomor! Terima kasih ya karena berkatmu aku bisa datang bersama dengan Killa hari ini!” Dia terlihat sangat senang dan mencoba berterima kasih kepada Andin dengan sangat besar. Mungkin nomorku yang Andin kasih kepadanya benar-benar berarti banyak buatnya. Namun Andin memasang wajah kebingungan. Dia tidak tahu kalau aku mendapatkan tiket ini dari Miguel, dia mengira kalau aku mendapatkan tiket ini karena diberikan oleh Beno. Aku tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Namun aku juga mencoba menutup mulut Andin dengan memberikan kode kepadanya mengedipkan mata berkali-kali agar dia bisa diam. Andin sepertinya sadar dengan apa yang kumaksud. Dia diam tanpa mengatakan satu katapun. Hanya menjawab sapaan Miguel menjawab, “Hai juga. Sama-sama kok. Sebenarnya jangan berterima kasih kepadaku, terima kasihlah kepada Killa karena menerima permintaanmu untuk pergi ke konser ini bersama-sama” Dari luar, aku mendengar suara penonton bersorak dengan gembira. Sang pembawa acara mulai menghitung mundur. Tampaknya mereka akan memanggil The Gist sebentar lagi. “Hey apa kau dengar itu? sepertinya The Gist akan tampil. Ayo sebaiknya kita cepat bergegas ke sana!” tukas Andin dengan tergesa-gesa. Andin langsung saja pergi masuk ke dalam pintu itu. Sementara Miguel menggandeng tanganku, masuk ke dalam pintu itu bersama-sama seperti dua orang pasang kekasih. Benar saja, para personil mulai datang. Mereka melakukan atraksi mereka masing-masing. Dan mulai melantunkan lagu pembukaan yang sangat ikonik. Para penonton juga tak kalah ikut bereaksi dengan berjoget cukup gila dan dahsyat. Aku yang berada di samping Miguel merasa kalau dia terlalu overprotektif kepadaku, karena dia terus saja mencoba untuk menjagaku terlalu banyak dari tendangan dan pukulan orang-orang di sekitar. Padahal sebenarnya aku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Bahkan aku pernah berada di situasi yang lebih brutal dari ini semua. Seraya drum dan juga beat musik berlantun semakin kencang dan cepat, aksi para penonton juga bertindak semakin di luar hukum. Mereka saling memukul dan juga menendang satu sama lain, namun anehnya tidak ada dari mereka yang saling emosi dan saling bertarung satu sama lain. Seakan-akan semuanya sengaja untuk melakukan aksi pukul-pukulan itu. Aku sering melakukan dan hadir di konser seperti ini, namun aku tidak pernah melihat konser segila dan setertib ini di saat yang bersamaan. Tidak ada orang yang sakit hati ataupun emosi meskipun pipi dan tubuh mereka berakhir babak belur. Aku tak tahu sihir apa yang The Gist lakukan kepada kami sehingga mereka bisa berlaku dengan sangat tertib seperti itu, padahal mereka adalah band papan atas. Dan hampir semua band papan atas yang aku dengar selalu berakhir dengan fatal. Aku tidak pernah melihat konser seperti ini sebelumnya. Dan akhirnya lagu musik keras berganti. The Gist tidak hanya terkenal akan musiknya yang jedag-jedug, namun juga musik mellow namun romantis. Aku yakin banyak pasangan yang menantikan lagu ini agar dimainkan. Suasana para penonton mulai menjadi hening, mereka memegang tangan pasangan mereka masing-masing. Aku tidak memiliki pilihan lain selain memegang tangan Miguel saat ini. Aku merasa alunan musik saat ini benar-benar menyihir seakan-akan kami dipaksa untuk jatuh cinta. Anehnya, saat aku menatap mata tampan Miguel, aku merasa kalau hanya dia yang berada di tempat ini sekarang. Tidak ada orang lain padahal kami berada di tengah-tengah lautan kerumunan. Kami saling berpengangan tangan sambil berdansa mengikuti alunan lagu, berdansa kecil dan menghentakkan kaki beberapa kali. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, namun entah kenapa aku bisa mengikuti dansa ini. Bagaikan terhipnotis, aku menatap jauh ke mata Miguel. Hanya ada refleksiku tergambar di matanya. Tidak ada yang lain. Aku yakin Mata Miguel memandang pandangan yang sama sepertiku. Aku juga yakin kalau apapun hati yang dia rasakan saat ini, dia pasti memendam rasa yang sama denganku. Lagu mulai menuju Klimaks. Ada jeda cukup panjang di lagu ini sehingga The Gist bisa membiarkan penonton berkata apapun yang akan penonton lakukan kepadanya. Aku tak mempunyai kalimat apa-apa untuk aku katakan kepada Miguel, namun Miguel sepertinya memiliki sesuatu untuk dia katakan kepadaku. “Killa, aku benar-benar mencintaimu.” Larut dalam suasana penuh keromantisan ini, Miguel langsung saja menciumku. Dan aku yang juga terlena, tak menolak dan menampik mencium bibir Miguel yang indah itu. Larut dalam lantunan emosi yang mendayu-mendayu, baik aku dan juga Miguel pun saling menikmati waktu kami sekarang. Aku melepaskan ciuman itu, menatap mata Miguel, yang terlihat seperti menunggu sesuatu untuk keluar dari mulutku sekarang. Aku tak tahu apa yang akan dia harapkan, dan aku lupa kalau Miguel baru saja menyatakan kata cinta kepadaku di sana. Aku benar-benar tidak sadar akan hal itu sampai-sampai Miguel mungkin juga ikut menjadi bingung dengan kelakuanku. Tapi kemudian alunan lagu berhenti berputar. Semua orang mulai bersorak-sorak mendengar apa yang telah The Gist perbuat kepada mereka saat itu. Aku yang terlalu gugup dan juga canggung pun juga ikut untuk menoleh dan tepuk tangan ke arah Band itu. Aku tahu mungkin perbuatanku tidak bisa dimaafkan, namun aku tak bisa menahan situasi yang benar-benar canggung seperti sekarang. Aku mendengar kalau Miguel mencoba untuk mengatakan sesuatu lagi kepadaku. Tapi karena suara sorakan yang benar-benar gaduh, aku mencoba untuk tidak mendengarkan sekaligus mengabaikannya nanti. Aku tak ingin jika nantinya dia ingin berkata suatu kejelasan dari apa yang dia baru saja ucapkan tadi. Karena memang, aku belum siap untuk menjawab pernyataan sekaligus ungkapan itu dari Miguel.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD