Chapter 4

2083 Words
Setelah Ketua Hima dan komplotannya pergi. Aku tidak langsung keluar dari gedung itu. Melainkan berdiam diri di sana sampai semua orang benar-benar pergi. Hanya aku dan Beno yang ada di dalam sana. “Hei, apakah kau benar-benar berpikir kalau cerita hantu itu nyata?” tanya Beno yang sepertinya terganggu dengan rumor cerita tersebut. “Entahlah, aku tidak peduli dengan cerita semacam itu” balasku. Obrolan kami pun selesai. Kami tidak mencari topik ataupun membicarakan hal lain selain itu. Hanya duduk diam di sana. Beberapa kali saling memandang, namun aku mengalihkan pandanganku saat dia melihatku juga. Saat aku mencuri pandang melihat ke arah Beno, aku bisa tahu kalau dia adalah anak laki-laki yang atletis. Tubuhnya yang membidang dengan beberapa tonjolan otot di perutnya memang sangat kentara di imbangi oleh kemeja ketat yang ia pakai. Lengannya yang berisi penuh otot bak pemain gulat yang aku sering lihat di tv. Tubuhnya benar-benar sangat indah, seperti model Sedangkan wajahnya. Aku benci mengatakan ini, namun dia adalah salah satu orang tampan yag pernah aku temui dalam hidupku. Rambut tipis di sisi ujung kiri dan kanan dan tebal di bagian atas memang populer di kalangan anak-anak muda jaman sekarang. Tapi entah kenapa bila gaya rambut itu dipakai oleh Beno, terasa spesial ataupun berbeda. Terasa lebih baik dan juga cocok di saat bersamaan. Mungkin banyak sekali artis atau aktor yang sering mondar-mandir di TV jauh lebih tampan daripada dirinya, namun bagiku melihat ketampanannya membuatku seringkali tersipu malu saat kami saling memandang. Aku tak tahu apa yang harus kuucapkan atau kukatakan saat melihat paras indahnya. Seperti patung yang terkena sihir medusa. Aku benar-benar tidak berpikir untuk mencari topik atau mengetahui sesuatu tentang dirinya. Aku juga tidak sekalipun mengucap terima kasih. Hanya tiba-tiba aku sadar kalau hari sudah berganti menjadi sore. Aku tidak bisa kembali ke barisan jurusanku. Aku hanya menunggu sampai universitas benar-benar bubar tak ada mahasiswa lagi di sana. Beno juga menungguku. Dia mungkin khawatir bila gerombolan anak-anak Hima itu datang lagi kepadaku. Jika dia mencari rasa simpati kepadaku. Aku rasa itu percuma saja. Perasaan tak enak terus saja berkecamuk dalam batinku. Aku tak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya aku berdiri, berjalan pergi dari gedung tua ini. Meninggalkan Beno sendirian. Tanpa mengucapkan pamit ataupun selamat tinggal. “Hei Tunggu!” sahut Beno dari belakang. Namun aku tidak menoleh, nadanya benar-benar terdengar seperti seseorang yang kebingungan. Aku malah mempercepat langkahku. Berjalan keluar, hanya lampu jalan dengan tiang-tiang tinggi yang menyambutku. Kendaraan yang sebelumnya padat terlihat sangat jarang hanya beberapa saja. Aku bisa menduga kalau itu adalah milik pegawai universitas. Sedangkan Beno, tak berusaha untuk berlari mengejarku. Aku sendiri tak tahu apa yang kuperbuat. Aku hanya merasa kalau apa yang kulakukan saat ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Saat melihat langit berwarna jingga kebiruan dan awan-awan bergumul. Aku bertanya kepada diriku sendiri. Sudah berapa lama aku diam di sana bersama Beno berdua? Karena waktu terasa begitu cepat. Meskipun aku tidak melakukan apapun bersamanya. Aku merasa kalau itu adalah bagian dari kutukan gedung itu yang terkena imbasnya padaku. Tapi itu bukan sesuatu yang terlalu penting, sebuah waktu yang tepat untuk berjalan pulang menuju rumah sambil melihat padatnya kota penuh dengan keramaian dan klakson kendaraan membentuk orkestra. Meskipun di dalam perjalanan aku mencoba untuk memikirkan apa yang sudah kulakukan dan apa yang terjadi di hari ini. +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Keesokan harinya aku datang kembali ke universitas. Tidak ada yang tahu soal kasus dan kejadian kemarin. Aku tidak memberi tahukan siapa-siapa soal hal itu. Namun berbeda ceritanya jika orang-orang Hima sudah mengadukannya duluan kepada para petinggi ospek. Saat aku datang ke barisan ospek. Semua nampak baik-baik saja. Aku tergabung dalam sebuah kelompok, terdiri dari 15 orang. Aku tidak mengenal siapa mereka, namun aku hanya berusaha untuk bersikap seramah mungkin. Aku tidak tahu siapa diantara mereka yang benar-benar memiliki hati yang baik atau hanya palsu di luarnya saja. Maka dari itu aku hanya harus bersikap ramah sewajarnya saja kepada mereka. “Ehh... nama kamu Killa kan? Kamu kemaren kenapa kok tiba-tiba ngilang? Kami sempat mengkhawatirkan kamu loh!” tanya seorang gadis di kelompok itu yang ternyata sadar akan kehilanganku secara tiba-tiba dalam acara ospek. Aku tidak bisa mengatakan alasan yang sesunggnhnya kepada mereka. “Ehhh ya... kemarin Orang Tuaku tiba-tiba menelfonku. Mereka menyuruhku untuk segera pulang dan mengurus sesuatu tersebut” ucapku kepada mereka yang tentu saja sebuah kebohongan. Dengan beralasan acara keluarga, aku hampir bisa kabur dari segala acara yang aku tidak inginkan. Bahkan aku selalu melakukannya saat orang tuaku masih hidup dahulu wkwk. “Hmm... padahal kau melewatkan sesuatu yang seru. Aku mendengar ada seorang mahasiswa dari jurusan teknik bertengkar dengan para hima jurusan kita. Dia sendirian melawan mereka sampai berakhir babak belur!” sahut gadis berkacamata di sampingnya. Aku langsung kaget dan tak menyangka setelah dia mengucapkan hal itu. Apakah yang dia maksud adalah Beno? “Ya benar. Jika kau lihat sekarang, para anak laki-laki yang mengurus ospek kita sekarang tidak ada di sini. Aku mendengar mereka semua sekarang sedang beristirahat di rumah masing-masing. Untuk sementara, hanya para hima wanita yang akan mengurus kita sekarang” sahut anak laki-laki bertubuh pendek di sampingnya lagi. Aku bisa melihat kalau topik ini sudah berkembang luas bagi para mahasiswa di jurusanku. Hal itu terlihat dengan tiba-tiba banyak mahasiswa yang menimbrung ingin mendengar gosip itu lagi. “Apakah kau tahu penyebab mereka bisa bertarung? Aku mendengar kalau itu adalah perkara seorang wanita” “Ya. Aku dengar itu. anak teknik itu memperebutkan wanita incaran Sang Ketua Hima” Suara-suara dari para mahasiswa rumpi ini saling bersahutan dari berbagai arah. Mulai dari para mahasiswa udik sampai dengan mahasiswa paling beken sekalipun. Aku tiba-tiba merasa sesak berada di dalam gerumbulan itu. Meskipun aku tahu kalau mereka tidak tahu kalau wanita yang mereka sebutkan itu adalah aku, tapi aku merasa muak emndengar obrolan yang berkembang dengan liar sangat cepat seperti ini. Aku pun seketika berusaha untuk keluar dari kerumunan itu, mencari tempat yang lebih luas dan lega untuk bernafas. Tapi tiba-tiba seorang gadis yang mengkhawatirkanku tadi ikut keluar dari kerumunan itu. dia sepertinya sadar kalau aku sedang merasa tidak nyaman sekarang. Aku bisa melihat kalau dia adalah gadis yang cantik dan rapi, semua atribut ospek yang ia kenakan benar-benar sama persis dan presisi tak ada satupun yang salah. Aku juga yakin kalau saat kuliah berlangsung nanti, pasti akan banyak cowok yang berusaha mengejar mendekatinya. “Hei, kau kenapa? Apakah kau merasa tidak nyaman?” tanyanya “Ya... aku tidak cocok berada dalam kerumunan seperti itu” jawabku dengan menghela nafas panjang. “Ohh... aku tahu. Apakah mungkin kalau kau adalah seorang Introvert?” tanyanya lagi “Entahlah... aku tidak merasa demikian. Aku juga lebih suka berada di tempat umum timbang selalu berada di rumah” “Jika tidak. Apakah berarti kalau kau adalah seorang Anti-sosial?” “Tidak juga. Buktinya aku masih bisa dan mampu untuk berbicara denganmu” “Oh tidak... jika kau bukan keduanya. Apakah itu berarti kalau kau adalah seorang psikopat?” “Ya... aku rasa begitu. Aku sudah membawa cutter di tangan kananku sekarang” tiba-tiba gadis itu terdiam. Namun aku langsung tertawa melihat ekspresi konyolnya. Dia pun juga ikut tertawa bersamaku. Tapi tiba-tiba dia terdiam. “Tunggu. Kau tidak benar-benar membawa cutter kan?” “Tentu saja tidak!” kali ini aku benar-benar kesal. “Ahh... syukurlah. Karena aku merasa ada yang aneh dengan dirimu. Kau terlihat berbeda daripada saat kutemui sebelumnya” balasnya dengan cepat. Aku tidak mengira dia memperhatikanku dari kemarin. “Apanya yang berbeda? aku terlihat sama seperti kemarin” sangkalku kepadanya. “Itu, kancingmu” balasnya, lantas aku pun langsung melihat ke bawah, “Kau mengenakan sebuah peniti untuk menutupinya. Apa kau baru saja telah terjadi sesuatu sampai bajumu robek?” aku tak menyangka kalau gadis ini benar-benar memerhatikan itu. Setelah kejadian kemarin. Bajuku sudah layak untuk dipakai karena sudah robek. Terpaksa aku harus mengenakan kemeja putih yang lain. Tapi aku tidak memiliki uang untuk membeli baju lain yang baru, dan terpaksa aku pun harus menggunakan kemeja lamaku saat masih sekolah. Hanya saja aku harus melepas bet osis di depannya agar terlihat seperti baru. Namun sialnya, saat aku memakainya kembali, ternyata baju ini sudah tidak muat. Entah karena pertumbuhan yang sangat cepat sehingga p******a terlalu besar sampai-sampai kancing yang berusaha untuk menutupinya hingga lepas sendiri, atau mungkin saat libur menunggu masuk ke dalam kuliah aku sudah terlalu banyak menambah berat badan. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain, aku tetap memaksa untuk memakai baju ini sampai hari ini. Dan dengan nekat menggunakan peniti untuk menutupinya. “Oh ini. Ya, bajuku sedang di cuci kemarin. Jadinya aku harus menggunakan baju ini sebagai cadangan. Tapi tiba-tiba kancingnya lepas dan aku tidak memiliki pilihan lain selain mengenakan peniti untuk menutupinya. Sebuah pilihan yang tidak bisa aku elak lagi” jawabku sejujurnya walaupun dengan beberapa kata yang harus aku manipulasi. “Ah.. aku lupa. Aku belum memperkenalkan namaku kepada dirimu. Perkenalkan, namaku Andin” Dia menyodorkan tangannya padaku. Aku tak tahu apakah dia gadis yang bisa aku percaya atau tidak. Namun di situasi seperti sekarang ini dimana aku tidak mengenal siapapun, aku mungkin memang perlu untuk mengenal seseorang. “Ya, namaku Aquilla. Dan kau boleh memanggilku dengan Killa. Aku sudah terbiasa dipanggil seperti itu” jawabku kepada Andin. “Sebaiknya kau berhati-hati saat memakai baju seperti itu. Karena sejak kau masuk ke dalam kerumunan tadi, aku sadar kalau banyak sekali anak laki-laki yang memandang ke arah dadamu itu. Aku tahu kalau kau memiliki ukuran yang besar, jadi sebaiknya kau memperhatikan itu oke” Andin memberi nasihat kepadaku. Baru kali ini aku mendapat nasihat tentang penampilan dari seseorang yang baru aku kenal. Aku bisa yakin kalau Andin berasal dari latar belakang lingkungan yang benar-benar sehat. Berbeda dengan diriku ini yang sudah kotor dan tercemar. Namun hal ini justru membuatku berpikir, apakah mungkin aku membutuhkan Andin suatu saat nanti di dalam hidupku? “Ya. Aku tidak akan mencoba untuk bergerak terlalu banyak. Aku juga takut bila tiba-tiba peniti ini lepas dari tempatnya” balasku kepada Andin. Tapi sejujurnya aku tidak peduli dengan penampilanku, bahkan aku sering sekali berpakaian lebih minim daripada yang aku kenakan sekarang. Hanya saja aku mencoba untuk mengubah sikapku di depan Andin yang berusaha berniat baik menasihatiku. “Ngomong-ngomong apakah kau tahu sesuatu tentang anak teknik yang anak-anak itu katakan? Aku mendengar kalau dia adalah seseorang yang sangat tampan. Jika rumor yang mengatakan kalau dia memperebutkan seorang wanita dengan ketua Hima. Maka aku yakin kalau wanita itu benar-benar wanita paling beruntung di kampus ini” ucapnya yang tak mengerti apa-apa dengan kejadian sebenarnya. “Aku belum melihat anak teknik itu secara langsung sih, tapi yang jelas aku bisa yakin kalau ketua Hima jauh lebih tampan daripada anak teknik itu. Saat ospek kemarin berlangsung, aku bahkan tak bisa berhenti menatap wajahnya. Dia benar-benar mirip artis korea yang sering aku temui di dalam internet. Aku benar-benar merasa tidak salah memilih kuliah di tempat ini” ekspektasiku tentang andin tiba-tiba berubah. Aku benar-benar merasa ada yang salah dengan dirinya. Bagaimana mungkin dia bisa mengidolakan orang yang jelas-jelas telah melakukan pelecehan terhadap diriku ini. Tapi aku berusaha untuk meredamkan emosiku sebelum semuanya berubah menjadi lebih runyam “Hei Andin. Omong-omong apakah kau tahu siapa anak Teknik yang kau sebutkan tadi?” tanyaku penasaran. “Tunggu sebentar..” Andin memalingkan wajahnya ke atas sambil menggerakkan matanya mencoba untuk mengingat. Ia menaruh jari telunjuk di dagunya. Terlihat begitu imut dan manis berada dalam pose seperti ini. “Kalau tidak salah namanya adalah Beni, Ruben, Gaben, Obeng?” “Beno?!” sahutku seketika tak sabar mendengarnya mengeja setiap nama dalam pikirannya. “Ya, benar, Beno. Tunggu, bagaimana kau bisa tahu. Apakah kau mengenalnya?” tanya Andin bersamaku. Seketika aku langsung merasa keringat dingin. Sudah dipastikan Beno berada dalam bahaya sekarang. Aku harus menyelamatkannya untuk membalas budiku kepadanya. Mana mungkin dia bisa selamat begitu saja sendirian melawan birokrasi kampus semacam itu. “Dimana dia sekarang?” tanyaku kepada Andin sambil berteriak. Andin pun tiba-tiba tersentak. Dia benar-benar kaget sekaligus takut melihat ekspresiku yang begitu paniknya. “Ah maaf Andin. Aku tidak seharusnya membentakmu seperti itu. Aku hanya perlu tahu dimana dia sekarang. Aku ada urusan dengannya” ujarku sambil memegang pundaknya dengan tulus. Aku tahu dia mungkin merasa kalau aku benar-benar bertingkah aneh sekarang. Namun ekspresi yang aku pasang sekarang ini benar-benar mengindikasikan kalau aku benar-benar membutuhkan kepercayaan darinya “Aku rasa dia di ruang Dekan sekarang. Tapi entahlah, aku tidak yakin.” Jawab Andin seadanya. “Baiklah itu saja sudah cukup” aku membalik badanku, dan lekas berlari ke arah gedung dekan mencoba menemui Beno jika ia memang benar-benar ada di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD