Chapter 9

2076 Words
“Duh... maaf ya mbak. Ini saya ganti deh” ucap ibu penjual Mie ayam meminta maaf kepada kami berdua. Aku sebenarnya malu karena dia meminta maaf kepada kami, karena itu bukan kesalahan yang dia perbuat. Dua nenek lampir yang menjahili kami sepertinya memang tidak memiliki sebuah empati atau naluri sebagai manusia. Tumpahan mie ayam itu tentu saja membuat perhatian seluruh orang yang berada di kantin memandangi kami. Sebagian orang menatap sambil menutup mulutnya mencoba untuk menahan tawa, dan sebagian lainnya merasa iba dengan nasib kami yang begitu sial. “Ibu nggak perlu minta maaf. Itu perbuatan mereka berdua di belakang yang nyenggol ibu” ucap Andin dengan sangat berani menuduh dua cewek itu. Walaupun dengan beberapa mie yang masih menempel di bajunya, Andin dengan lantang menyerukan itu kepada mereka. Aku tahu perasaan Andin sekarang dia pasti sangat marah dan emosi dengan mereka berdua. “Kalo ngomong dijaga ya! Seenaknya nuduh orang! Kita nggak ngapa-ngapain padahal. Salah ibunya sendiri yang ceroboh ngasih makanan ke kalian!” Tukas Cewek bergincu marun kepada kami. “Memang dasar babu sama majikan sama-sama gak bermoral. Ngomong-ngomong, kalian kelihatan cocok dan lebih cantik tahu pakai aksesoris begini. Gw yakin kalo desainer Louis Vitton lihat kalian, pasti jadi desain masterpiece. Hahahaha” lanjut cewe berambut merah. “Sudah mbak gapapa. Ini memang salah saya kok, saya agak oleng tadi. Jangan bikin keributan sama mereka yah” bisik Ibu penjual itu kepadaku. Aku rasa, ibu itu telah mengenal mereka. Dan dari ucapan yang baru saja ia katakan, kemungkinan besar cewek-cewek itu adalah orang berpengaruh di universitas ini. Saat ibu itu membisikku, aku langsung mengangguk paham dengan apa yang ia coba katakan. “Liz, mending kita cabut sajalah ya. Buat apa kita mantengin cewe yang jadi model parfum kuah ayam. nggak banget” ucap cewek bergincu marun. “Iya Rose, gw juga sudah gak selera makan di kantin ini. Kita cabut saja kuy” balas cewek berambut merah. Mereka kemudian pergi dari kantin ini sambil dilihat oleh semua orang di dalam kantin ini. Terutama para cowok yang sepertinya melupakan perbuatannya terhadap kami dan hanya memandang fisiknya saja. Mereka memang cantik sih, tapi buat apa kecantikan dari luar namun memiliki hati yang busuk di dalam. “Kill... kamu gak papa kan?” tanya Andin kepadaku khawatir. Untungnya saja, kuah mie ayam tadi tidak terlalu panas. Aku masih bisa menahannya dengan mudah. Tapi aku tetap merasa tidak nyaman untuk terus memakai baju yang kupakai sekarang. Karena lengketnya masih bisa kurasakan. “Gak papa kok Din. Kamu bagaimana?” Tanyaku balik kepada Andin ikut khawatir dengannya juga. “Agak lengket sih. Tapi ya cuman bagaimana lagi, untung aku bawa baju ganti di mobil” Aku benar-benar bersyukur kepada Andin karena dia ternyata merupakan kenalan yang memang aku butuhkan di saat seperti ini. Aku bisa cepat-cepat lepas dari menggunakan baju ini dan memakai baju baru, meskipun itu bukanlah baju baru milikku. “Mbak, ayo kemari ke gerai saya sebentar” bisik Sang Penjual Mie Ayam kepadaku. Dia menyeret kami berdua ke dalam gerainya sambil mindik-mindik seperti takut akan sesuatu. Padahal saat aku melihat di sekitar, orang-orang yang memandangi kami dengan aneh sudah mulai berkurang. Aku penasaran mengapa dia bertingkah seaneh itu kepada kami. Kami pun masuk ke dalam gerai mie ayamnya. Tak kusangka, di gerai yang terlihat sempit itu ada sebuah pintu di belakangnya. Dan pintu itu berisi banyak sekali perabotan berhubungan dengan makanan termasuk bumbu-bumbu yang sangat luas. Hampir seperti garasi. Ibu itu menyuruhku duduk di sebuah karpet plastik di bawah. Dia terlihat benar-benar sedih dan ketakutan. “Mbak, maaf banget ya sudah memberikan mbak pengalaman yang kurang baik. Saya nggak bisa berbuat apa-apa jika harus melawan dua cewek tadi” ucap ibu itu sambil terisak-isak seperti hendak menangis. Di depanku ada sebuah tisu. Aku langsung mengambilnya untuk aku gunakan sebagai lap mengeringkan kuah yang menempel di pakaianku. Tisu itu terlihat sekali kalau kualitasnya murah dengan permukaannya yang sangat kasar dan cepat sekali basah saat aku lap. “Memangnya mereka siapa buk sampai Ibu setakut itu kepada mereka?” tanya Andin kepada ibuk itu yang mulai mengusap sebagian air matanya turun ke pipi. “Mereka adalah Rosaline dan juga Eliza, anak dari pemilik kantin ini” ungkap Sang Ibu penjual Mie ayam. Aku tidak paham dengan konsep yang baru saja ibu ini sebutkan. Karena bagaimana mungkin seseorang bisa menguasai sebagian wilayah di dalam sebuah kampus? Bukankah semua wilayah yang berada di dalamnya berarti menjadi kepunyaan kampus? Namun Ibu itu belum selesai untuk berbicara, dia kemudian lanjut mengatakan, “Dulu waktu kampus ini dibentuk. Ada banyak sekali investor yang ingin menyumbang untuk menjadikan kampus ini benar-benar berfungsi. Hingga akhirnya ada satu kelompok konglomerat yang hanya berfokus untuk mengambil satu wilayah di kampus ini. dan bisa kalian tebak dengan mudah. Wilayah itu adalah Kantin ini” “Pada saat kampus akan selesai pembangunan, Ada sebuah semacam undian atau lotre yang berisikan siapa saja yang ingin berjualan di kantin ini kepada para penjual di dekat kampus. Dan sang investor berkata bahwa siapapun yang mendapatkan lotre ini maka akan mendapatkan gerai gratis tanpa biaya apapun. Saya tergiur dengan tawaran itu dan berniat untuk mencobanya. Hanya bermodalkan 500 ribu saja untuk mendapatkan tiketnya. Dari 300 orang yang membeli tiket, hanya 30 saja yang lolos dan bisa mendapatkan hadiah utama dari tiket ini” “Tunggu, bukankah itu malah justru menguntungkan ibu?” tanyaku kebingungan. Orang mana yang tidak bahagia jika mendapatkan sumber rezeki yang sangat besar. Apalagi kampus ini merupakan kampus besar dengan banyak sekali pengunjung dari berbagai kalangan, akan sangat mungkin bagi seorang pedagang seperti ibu ini untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari tempat ini. “Tawaran yang mereka berikan memang sangat menarik. Namun itu hanya di awal saja, mereka menyembunyikan model bisnis lain di tempatnya. Lagian, konglomerat mana yang mau membiarkan aset punya mereka bisa dan i akses oleh orang biasa seperti kami?” ucap ibu penjual mie ayam. Aku agak kurang setuju dengan ucapan ibu ini, mungkin beberapa dari penjual di kantin ini memang orang biasa, namun diantara mereka merupakan sosok koki ataupun chef yang luar biasa memasak makanan mereka dengan luar biasa. “Saat awal kami berdiri, tiba-tiba ada sebuah pajak keamanan yang kami harus bayar kepada pria-pria berbadan besar. Kami cukup ketakutan saat itu, dan menelepon pihak konglomerat tadi. Dan mereka memang mengiyakan tentang pajak keamanan itu. Tak lama kemudian, beberapa orang datang lagi ke gerai kami dan meminta pajak lagi. Sampai entah beberapa kali kami tidak pernah tahu berapa banyak jumlahnya, dan mereka terus saja datang silih berganti” Aku tak bisa membayangkan untuk bekerja dengan lingkungan yang separah itu di tempat ini. “Karena tahu setiap bulan ada sebuah ‘pajak’ yang kami harus bayar. Kami tentu saja menyisihkan sebagian uang dari penghasilan kami untuk berjaga-jaga bila kami harus membayar lagi. Hingga satu kejadian datang. Anak-anak cewe yang kalian hadapi tadi, memakan sebuah makanan di gerai soto yang sekarang menjadi gerai makanan eropa. Mereka mencoba memakan makanan di sana, dan protes karena ada sebuah cicak berada di dalam mangkok. Aku berpikir saat itu, tidak mungkin seorang penjual tanpa sengaja mencelupkan atau tidak sadar ada sebuah cicak di mangkok yang akan mereka hidangkan. Namun saat penjual Soto ini tidak terima, mereka langsung diusir dari gerai dan digantikan oleh gerai makanan eropa tersebut” ungkap ibu penjual mie ayam yang mulai membongkar semuanya. Aku mulai paham apa yang terjadi di tempat ini. “Hmm... apa mungkin para cewe itu dengan sengaja masukkin cicak di mangkok mereka?” tanya Andin kepada ibu penjual Mie Ayam. Cukup niat memang bagi seorang cewek yang terlihat modis untuk mencari cicak dan memasukkannya ke mangkok mereka sendiri. “Dan setelah usut punya usut, Cicak itu hanyalah sebuah cicak mainan. Mereka dengan sengaja memasukkan ke dalam mangkok. Dan kami semua bingung kenapa mereka melakukan itu. Ternyata jawabannya benar-benar singkat, tanpa alasan. Mereka melakukannya hanya demi kesenangan mereka semata.” Sebuah jawaban yang benar-benar memukul batinku. “Fix sih. Mereka pasti psikopat” balas Andin. Entah kenapa Andin sepertinya punya obsesi terhadap kata-kata psikopat. “Yaudah deh bu. Maaf ya kalo kami sudah ngerepotin ibu. Maaf juga karena ibu jadi rugi sekarang ini” ujarku meminta maaf. Aku melihat ada sebuah figura berisi foto ibu itu dan juga lelaki paruh baya yang terlihat seperti suaminya. Foto itu terlihat cukup lawas karena masih menggunakan warna hitam putih dan juga sebagian kertasnya sudah hampir habis dimakan rayap. “Loh... justru saya yang harus minta maaf kepada kalian karena sudah berani mengalah,” ibu itu membalik badannya, dan mengambil sebuah dompet di dalam laci. Dia mengambil sejumput uang dan lalu memberikannya kepada kami, “Loh bu.. ngapain ngasih kita uang?” tanyaku kebingungan. “Anggep saja ini sebagai uang ganti rugi saya ke kalian. Sudah terima saja gapapa. Saya ikhlas kok” balas ibu itu, tapi aku tidak bisa uang pemberian ibu itu. Begitu juga dengan Andin. Kami berdua kompak untuk menolaknya. Itu bukan hak kami agar bisa menerima uang semacam itu. “Mending ibu pakai uang ini buat simpenan kalo ada tagihan pajak lagi tiba-tiba. Kan sayang bu uangnya kalo dikasih ke kita. Lagian, kita sudah ikhlas kok sama kejadian tadi. Kami menganggapnya hanya sebagai musibah semata, ibu nggak perlu merasa gak enak hati setelah kejadian itu. Kami ikhlas seikhlas-ikhlasnya bu. Beneran sudah suer, ya kan din?” aku sambil mengacungkan dua jariku kepada ibu itu. Andin pun mengangguk dan setuju dengan ucapanku. Ibu itu kemudian tak bisa membendung air matanya lagi. Dia benar-benar menangis haru karena kejadian itu. “Makasih ya mbak... sudah mau menolong saya. Ibu gatau lagi harus berterima kasih dalam bentuk apa. Ibu juga bingung ada orang secantik kalian yang juga punya hati sangat mulia. Ibu akan mendoakan kalian hidup sukses di dunia dan akhirat nanti” Syukur ibu itu sambil menangis sesenggukan. Sampai-sampai dia harus memakai tisu miliknya sendiri untuk menyumpal air mata yang terus saja bercucuran. “Yaudah, kami balik saja dulu ya bu. Kami nggak nyaman kalau pakai baju ini terus, agak lengket-lengket begitu soalnya” ucap Andin. Ibu itu pun langsung saja membuka pintu di dalam gudangnya dan membiarkan kami keluar. Aku pun tidak lupa untuk mengucapkan salam sembari keluar dari ruangan, aku masih ingat adab dan tata krama tentang bagaimana orang yang sopan harus bertindak. *** Kami keluar dari pintu, matahari yang terik menerangi kami dengan sangat panas. Dan aku melihat dari kejauhan, barisan anak-anak yang ikut ospek tadi ternyata sudah bubar. Beberapa dari mereka membawa tas mereka menuju ke luar gerbang kampus, dan beberapa dari mereka juga menggunakan motor untuk pergi ke masjid di dalam universitas. “Loh, sudah waktunya pulang ya?” tanyaku refleks. “Kill, mau ke mobil aku dulu nggak? Kita ganti baju di situ? Apa kamu masih merasa nyaman pakai baju kayak begitu?” Tanya Andin menawariku. Aku sebenarnya ingin menolak tawaran itu, tapi aku benar-benar risih memakai baju ini terus-terusan. Kalau pulang ke rumah, aku juga tidak memiliki baju ganti yang bagus untuk bisa aku kenakan sebagai ganti. “Boleh deh din kalo kamu nawarin. Emangnya kamu punya baju ganti berapa?” tanyaku kepada Andin, percuma saja kalo dia Cuma punya satu baju ganti. “Ada dua kok. Tenang saja, aku yakin muat kalo kamu pakai” jawab Andin meyakinkanku. Aku pun langsung mengangguk, dan kami berdua berjalan menuju parkiran mobil di pinggir gedung kuliah. Kami telah sampai di parkiran. Dan berhenti di sebuah mobil mewah sedan yang aku tahu harganya tidak mungkin bisa dibeli oleh orang kaya biasa. Untuk memastikan sesuatu, aku pun bertanya kepada Andin, “Din, ini mobil kamu?” “Iya, memang kenapa? Cepet masuk saja gapapa kok sudah aku buka kuncinya” jawab Andin dengan mudahnya. Dia pun memencet sebuah tombol di kunci membuat mobil itu berbunyi. Dia pun masuk duluan ke dalam mobilnya. Kaca mobil itu cukup gelap bila dilihat dari luar, aku tak bisa melihat apapun yang ada di dalam. Hingga akhirnya aku masuk lewat kursi bagian belakang. “Itu kill bajunya” Andin menunjuk sebuah Kaos polos bermerk mahal. Aku tahu karena merknya sangat terkenal dan masih masuk ke dalam wishlisht keranjang Shapiku. Dan aku mengenakannya sekarang. Kami berdua membuka baju, dan kaget melihat Paydara Andin sama besarnya sepertiku. Untung saja, bajunya muat saat aku kenakan. Aku yakin dengan begitu benar sekarang, Andin memang mungkin bukan orang kaya biasa. Minimal, dia memiliki pengaruh besar di kota ini. Kami sudah berganti pakaian sekarang. Keadaan sunyi di dalam mobil membuatku cukup santai. Hingga aku mencoba bertanya sesuatu kepada Andin melihat situasi seperti ini, “Din, kamu tahu gosip yang beredar tentang aku ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD