Chapt 4. Desire

2010 Words
---**--- Rumah Pradipta Salaman, Jakarta, Indonesia., Dapur., Malam hari.,             Saat ini mereka tengah makan malam bersama. Dan seperti biasa, wanita berusia 44 tahun itu selalu menyiapkan makan malam untuk keluarganya.             Termasuk untuk kedua putranya, Gilang dan Galang. Walaupun mereka sudah memasuki usia kepala 2, dia tetap memperlakukan kedua putranya seperti selayaknya seorang anak kecil.             Dia yang tengah menyiapkan gelas di meja makan, kedua matanya melihat ke arah putranya yang tengah melamun. Dia menyapanya lembut. “Mas ?” “Kok melamun, Sayang ?” Tanya wanita bernama Nursinta Salaman kepada putra sulungnya, Gilang Santoso. Dia mengambil piring Papanya, Pradipta Salaman. Dan hendak mengambilkannya makanan.             Namun Leta, dia segera membuka suaranya. “Biar Mama aja yang ambilkan. Itu, urus mereka dulu.” Ucap Leta seraya menyuruh putrinya, Sinta. Dan diangguki iya oleh Sinta.             Dipta dan Leta yang juga berada disana, mereka juga melirik cucu mereka, Gilang. Yah! Walaupun Gilang bukan cucu kandung mereka, tetapi mereka sangat menyayanginya seperti cucu kandung mereka sendiri. Mengingat putri mereka, Sinta juga sangat menyayanginya sejak mereka menjadi satu keluarga.             Dan Leta, melihat cucunya diam. Dia juga ikut membuka suaranya. “Ada masalah, Nak ?” Tanya Leta pada cucunya, yang duduk tepat di sebelahnya. Dia mengambil makanan  untuk suaminya.             Gilang, dia yang masih sadar. Dia menghela panjang nafasnya, menggelengkan pelan kepalanya. Dia membuka suaranya. “Gak ada, Eyang.” Jawab Gilang singkat lalu mengambil nasi yang tersedia disana.             Galang yang juga berada disana, dia membuka suaranya. “Mikirin ceweknya dia, Yang.” Ucapnya menyahut tanpa berdosa. Dan direspon lirikan tajam oleh Gilang.             Sinta segera melerai mereka. “Sudah. Ayo ambil makanannya, Galang.” Ucap Sinta lalu memutari meja makan, meletakkan sayur udang pedas manis favorit keluarga mereka. Dia kembali membuka suaranya. “Kalo ada masalah, cerita ke Mama.” Ucap Sinta yang tengah meletakkan sayur di piring Galang. Dia melirik putranya, Gilang sekilas.             Galang menyahut cepat. “Ma, udangnya lagi.” Pintanya mengambil alih sendok, dan mengambil sendiri udang pedas manis itu.             Tiba-tiba suara seorang pria terdengar di telinga mereka. Pria itu masuk ke dapur, dan mendekati Sinta. “Masalah apa, Sayang ?” Tanya pria itu langsung mendekati sang istri. Dan mencium pipinya sekilas. Dia lalu duduk tepat di sebelah putranya, Galang.             Pria itu, Ivan Santoso. Pria berusia 51 tahun yang akrab disapa Ivan. Dia memilih untuk tinggal dirumah sang istri. Sekaligus menemani Papa dan Mama mertuanya yang juga sudah berusia senja. Mengingat kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.             Semua orang melirik Gilang yang tengah memainkan sendoknya. Memakan makanannya.             Sinta, dia berjalan menuju putranya, Gilang sambil membawa sepiring sayur udang pedas manisnya. Dan kembali membuka suaranya. “Mikirin apa sih Mas ?” “Nanti curhat ke Mama ya ?” Ucap Sinta serius dengan nada sedikit mengejek sang putra.             Gilang, dia mendengus kesal. Dan membuka suaranya kembali. “Apaan sih, Ma…” “Mas gak apa-apa.” Jawab Gilang singkat, menyendokkan makanan ke mulutnya.             Sinta, dia hanya mengulum senyumannya. Dan memberikan sayur favorit sang putra di piringnya.             Ivan, dia hanya menggelengkan pelan kepalanya. Dia lalu mengambil sendok miliknya.             Setelah selesai, Sinta duduk tepat di sebelah sang suami juga putranya, Gilang.             Gilang, dia kembali membuka suaranya. “Ma, dikit kali udangnya.” Ucapnya dengan kening berkerut, hendak menjangkau sepiring sayur udang pedas manis itu.             Sinta melirik sang putra dengan tawa pelannya. Dan mendekatkan sepiring udang pedas manis itu ke tangan sang putra. Dia juga ikut membuka suaranya. “Ternyata masih fokus sama udang ya ?” Ucap Sinta seraya bertanya dan menggoda sang putra, dan direspon diam oleh Gilang.             Semua orang yang ada disana hanya senyam senyum saja. Dan kembali melanjutkan acara makan malam mereka.             Sinta, dia mengambil makanan untuk suaminya. Dan dia kembali membuka suaranya. “Mas…” “Dek Ken ada kabar ?” Tanya Sinta seraya bertanya pada putra sulungnya, Gilang.             Seketika Gilang melambatkan gerakannya. Dan melirik sang Mama sekilas.             Semua orang menatap Sinta dan Gilang secara bergantian.             Ivan, dia juga ikut membuka suaranya. “Iya, ya…” “Sudah berapa hari ini Chandly tidak beri kabar…” “Kamu tidak kabari Adek Ken, Mas Gil ?” Tanya Ivan kepada putra sulungnya, Gilang.             Semua orang masih menatap Gilang. Termasuk Galang, dia ikut membuka suaranya. “Mas Gil, beneran Kak Ken gak ada kabar ?” Tanya Galang masih mengunyah makanannya, sambil melirik Gilang sesekali.             Gilang, dia segera membuka suaranya. “Bukan tidak ada kabar. Tapi belum beri kabar sudah tiga hari.” Ucapnya memperjelas dan direspon langsung oleh Dipta. “Di telepon lah, Mas…” “Jangan cuma dikirim pesan surel aja.” Ucap Dipta seraya menyuruh sang cucu.             Leta, dia juga membuka suaranya. “Tante Chan ?” “Apa kata Tante Chan ?” “Dia uda diberi kabar belum sama Adek Ken ?” Tanya Leta ikut menimbrung percakapan mereka saat ini.             Gilang menggelengkan pelan kepalanya. Dan menyendokkan makanan ke mulutnya. “Tadi sore Mas Gilang uda telepon Tante Can. Tapi dia juga belum diberi kabar sama Adek Ken…” “Dan Mas Gilang juga bilang, kalau Adek Ken pasti sibuk…” “Mas Gilang gak mau buat Tante Chan khawatir, Yang.” Ucapnya sekilas melirik Eyangnya, Leta.             Galang, dia membuka suaranya lagi. “Jadi Mas Gil mikirin Kak Ken ?” Tanyanya melirik sang Abang sekilas.             Gilang mengangguk iya. “Ya iyalah, Galang. Kak Ken biasanya selalu kasih kabar sehari sekali. Atau nelepon dua hari sekali…” “Tapi ini, tidak ada sama sekali. Ya Mas khawatir sama dia.” Ucap Gilang sambil terus memakan makanannya.             Dipta ikut menyahut. “Yauda, nanti kita telepon Chandly…” “Eyang juga sudah lama tidak bicara sama dia…” “Rindu, Eyang.” Ucap Dipta dengan nada menahan rindunya pada cucu kesayangannya, Chandly Yuria Afnan.             Ivan mengangguk iya, dan ikut membuka suaranya juga. “Iya, Papa juga mau bicara sama dia…” “Mas Gil jangan lupa. Kasih uang jajan untuk Adek Ken.”  Ucap Ivan seraya mengingatkan sang putra, dan direspon anggukan iya oleh putra sulungnya, Gilang. “Iya, Pa. Mas Gil gak lupa kok. Kalau lupa pasti langsung kenak denda sama Chandly.” Ucapnya bersuara datar, dan direspon tawa besar oleh Galang.             Leta langsung membuka suaranya. “Galang! Ketawanya! Nanti tersedak!” Ketus Leta memukul pelan lengan cucu laki-lakinya, Galang Santoso.             Mereka semua tertawa renyah. Dan kembali melanjutkan acara makan malam mereka. … Beberapa menit kemudian., Ruang keluarga.,             Setelah selesai dari acara makan malam mereka. Mereka berkumpul di ruang keluarga.  Seperti biasa mereka melakukan kegiatan mereka masing-masing.             Galang mengerjakan tugas kuliahnya. Gilang juga sibuk dengan pekerjaannya. Juga Ivan yang tengah mengecek semua dokumen pentingnya. Leta dan Sinta tengah melipat pakaian yang tadi siang dijemur. Sedangkan Dipta, dia tengah menonton televisi dengan acara berita favoritnya.             Selang beberapa detik, deringan ponsel terdengar di telinga mereka. Dddrrrtttt…             Ponsel Gilang berdering. Dan Gilang segera menjangkaunya. Aunty Chan is calling…             Dia membuka suaranya. “Tante Chan menelepon.” Ucapnya seraya memberitahu semua orang yang berada disana.             Semua orang mengalihkan pandangannya pada dirinya. Dan dia segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Dia membuka suaranya. “Hallo. Assalamu’alaikum, Tante Chan. Ada apa ?” Tanya Gilang tanpa berbasa-basi. Dia langsung menekan tombol loudspeakernya. “Waalaikumsalam. Mas Gilang, Chandly barusan telpon Tante. Dia bilang, dia sibuk. Makanya tidak mengabari kita. Banyak tugas kuliah, sampai lupa mengecek pesan surel dari Mas Gil…”             Semua orang saling melirik, dan menghela nafas lega.             Gilang juga sudah lega. Bagiakan duri yang terlepas dari jantungnya. Dia mengelus dadanya dengan tangan kanannya. Dia kembali membalas kalimat sang Tante, Chandani Oyuri. “Alhamdulillah, Tan. Mas Gil, lega. Tadi juga Mas Gilang ada bahas sama orang Mama. Yaudala, Tan. Mas Gilang mau nelepon dia sekarang…” “Iya, Mas Gil. Jangan lupa pesankan ke dia. Kalau ada apa-apa suruh hubungi Mas Gil aja. Mana tahu dia gak mau cerita ke Tante…”             Gilang mengangguk iya. “Iya, iya, Tante. Nanti Mas Gilang bilang sama Ken…” “Yauda ya, Mas. Tante tutup dulu…” “Iya, Tante.” Ucap Gilang dan disahut cepat oleh Leta. “Eh, Eyang mau ngomong…” Sela Leta cepat.             Gilang langsung membuka suaranya. “Tante, Eyang mau ngomong…” Ucapnya lalu memberikan ponsel itu kepada sang Eyang, Leta. “Iya, iya…”             Leta, dia langsung membuka suaranya. “Hallo, Nak. Kamu sehat ? Zhain ? Yang lainnya ?” Tanya Leta seperti biasa melontarkan pertanyaan beruntun kepada sang putri angkat kesayangannya. “Iya, Ma. Alhamdulillah sehat semua, Ma. Tapi kemarin Ica sempat sakit juga, mikirin Chandly. Dia gak ada kabar sampai berhari-hari. Buat khawatir…”             Semua orang saling melirik satu sama lain. Termasuk Ivan yang melirik sang Mama mertua. Dia tahu, Mama mertuanya sangat menyayangi Kakak sepupu iparnya, Chandani.             Sinta, dia juga khawatir. Dan hanya bisa memanjatkan doa untuk keponakannya yang tengah berada di New York untuk melanjutkan pendidikan dokter spesialisnya. “Yauda. Pokoknya ingat makan, jangan sampai telat. Mas Gilang juga selalu hubungi Chandly. Nanti Mas Gilang yang selalu mantau Chandly. Iya kan, Mas Gil ?” Tanya Leta pada cucu sulungnya. Seakan menenangkan sang putri, Chandani.             Gilang mengangguk iya. “Iya, Tante. Tante jangan khawatir berlebihan.” Ucapnya seraya mengingatkan sang Tante. Walaupun tidak munafik, dirinya juga selalu khawatir berlebihan pada sang Adik sepupu kesayangannya, Chandly.             Mereka kembali melanjutkan waktu santai mereka, sambil menelepon Chandani. Seperti ini lah keluarga kecil mereka, selalu harmonis dan menyempatkan waktu bersama di malam hari. ..**..             Chandly Yuria Afnan, cucu perempuan satu-satunya di keluarga Pradipta Salaman dan Zhakaria Afnan. Dia tengah melanjutkan pendidikan dokter spesialisnya di New York.             Dan itu membuat semua keluarganya menjadi overprotektif menjaganya dari kejauhan. Itulah sebabnya mereka selalu menghubunginya hampir setiap hari.             Seperti sekarang ini, bahkan Gilang hampir dibuat gila karena tidak mendapat kabar dari Adik sepupu kesayangannya itu. Karena sejujurnya, dirinya sendiri juga tidak setuju dengan keputusan sang Adik sepupu yang melanjutkan pendidikannya ke New York. Karena dia hanya seorang diri disana.             Walaupun dia sendiri merasa curiga, jika sesuatu terjadi dengan sang Adik saat berada di Jakarta. Dan menyebabkan Adik sepupunya membuat keputusan secara tiba-tiba untuk pergi ke New York. ---**--- New York, USA., Di dalam perjalanan.,             Mobil berwarna oren itu masih terus melaju kencang membelah jalanan kota New York. Genggaman tangan kekar itu masih terus mencengkeram erat stiur berlogo perusahaan mobil sportnya, Althafa Sport Car.             Gertakan kecil terus dia lakukan pada rahang tegasnya. Netra tajam miliknya terus menatap lurus ke depan, seakan tengah menantikan sesuatu yang sudah dia rencanakan dengan matang.             Mengingat semua rencana yang akan dia lakukan, membuatnya menjangkau ponsel yang ada di samping kanannya. Membuka kunci layar ponselnya dengan lensa matanya, dia mengetik nama seseorang pada layar ponselnya. “…” “Apa semuanya sudah siap ?” “…” “Kau tahu. Aku tidak menyukai sesuatu yang tidak lengkap, Dom…” “…” “Good…” “…” Tutt.. Tutt.. Tutt..             Dyrta memutuskan sambungannya secara sepihak. Dan melempar sembarang ponselnya kembali ke samping kanannya. Informasi dari Domba, membuat emosi Dyrta semakin menggebu untuk menghancurkan seseorang yang sudah berani merusak rencana dan bisnis illegalnya.             Domba Milan, pria yang akrab disapa Dom atau Domba. Pria berusia 28 tahun yang sudah bekerja selama hampir 7 tahun sebagai sekretaris pribadi Dyrta, sekaligus orang kepercayaan Dyrta untuk menjaga segala bisnis liar dan illegalnya.             Kesetiaan Dom selama ini membuat Dyrta semakin sukses merambah bisnis liarnya tanpa sepengetahuan keluarga Abraham Althaf. Dan hal itu membuat Domba semakin dipercayai kinerjanya oleh Dyrta.             Dyrta, kedua jari telunjuknya mulai bermain mengetuk-ngetuk pelan stiur berlogo Althafa itu. Dia menerbitkan smirknya. “Ternyata kau ingin bermain denganku, wanita sialan.” Gumam Dyrta pelan dengan sorotan matanya menembus pada jalanan tol panjang yang mulai membawanya pada sebuah jalan rahasia khusus.             Dia menghela panjang nafasnya. Dan kembali bergumam pelan. “Kau tidak akan aku beri ampun!” Gumamnya lagi, mengeraskan rahangnya.             Dan semakin mempercepat laju mobil mewah miliknya. Membelah jalan aspal rahasia dengan pepohonan tinggi di sekitarnya.             Bisikan hatinya seakan tidak sabar untuk mempraktekkan apa yang sudah menjadi rencana tersusunnya. Gumam dari bibir seksinya kembali lolos. “Kehancuranku, malapetaka bagimu. Baby.” Gumam Dyrta, menunjukkan smirk iblisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD