10. Tawaran Dan Dilema

1292 Words
Di sebuah apartemen di daerah Gangnam, tak jauh dari klinik kecantikan tempat Shina melakukan praktik. Pintu lift terbuka, perempuan berambut pendek sebahu dengan warna coklat kehitaman itu keluar. Dia berjalan sambil menenteng tas kerja, plastik belanja, dan jas putih yang harus dicuci. Drrrt drrrt! Perempuan itu menyadari jika ada pesan yang masuk ke gawai. Tapi ia sedang tanggung menekan kode pintu, masuk apartemen, lalu melepas sepatu. Dengan wajah penuh lelah, dia letakkan semua yang ia bawa di atas kitchen island bercorak marmer. Matanya yang sayu menatap pada semua buku dan kertas-kertas yang tercecer di mejanya. Meski tulang punggung terasa agak sedikit kaku untuk membungkuk, tapi ia memaksakan diri untuk merapikan benda-benda tersebut. “Aku tahu kamu lelah, istirahat saja! Biar aku yang melakukan ini!” Mendadak suara seseorang terputar dalam memori perempuan tersebut. “Seandainya ada Zul!” ceplosnya tiba-tiba. “Ah, kenapa aku jadi teringat dia?” Dia bergidik sembari menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian dia melanjutkan hingga semua buku tertumpuk rapi di atas meja dan tak ada lagi kertas yang tercecer. Usai beres-beres, dia masih belum bisa beristirahat. Pindah ke dapur dan dia merapikan belanjaan, lalu membawa tas kerjanya ke kamar. “Mari kita lihat, siapa yang mengirimi pesan tadi?” ‘Drrrt! Drrrt!’ Ternyata ponselnya bergetar lagi. “Siapa, sih?” Shina pun terburu-buru mengambil ponsel dari dalam tas. Dia keluarkan dan ia melihat ada dua pesan baru yang terima. [Saya menunggu keputusan Anda, Nona Shina. Sebaiknya Anda pertimbangkan matang-matang tawaran saya dan saja bisa menjamin kesuksesan yang Anda dapatkan akan lebih dari yang bisa Anda bayangkan jika bergabung saya] ~ Prof Ethan. “Ah, iya! Ini sudah satu minggu dari waktu yang ditentukan. Aku masih tidak tahu harus menerimanya atau tidak?” Shina merebahkan diri di atas kasur, dia menatap langit-langit sambil berpikir. “Apa dia tahu jika aku adalah pewaris Rumah Sakit Sehat Sejahtera, sehingga dia mencoba memanfaatkan aku?” Sifat penuh curiga dari Shina mulai kambuh. “Ini sedikit aneh, bahkan keluargaku sendiri tidak pernah mengakuiku! Aku tidak punya tempat dan pengakuan apa-apa di Indonesia. Tapi sekarang, ada seorang profesor menawariku bergabung tanpa syarat apa-apa?” Dia pun berguling lalu melihat lagi ponselnya. “Ah, aku lupa, tadi ada pesan satu lagi dari Om Hadi,” gumamnya. [Om pikir kamu akan sedikit terbuka pada keluarga! Ternyata sama saja! Kau diam-diam menerima tawaran dari Profesor Ethan tanpa berdiskusi dengan kami! Jika kau tak berhasil membawa dia bergabung dengan kita, maka jangan harap kerja samamu dengannya bisa berjalan mulus!] ~ Om. Kali ini Shina benar-benar mengembuskan napas panjang. Dia tampak lelah dengan keluarga yang penuh drama ini. “Aku hanya ingin hidup tenang!” Begitu ungkap Shina yang tanpa basa-basi langsung mengetik pesan untuk kedua orang tersebut. Kepada: Profesor Ethan. [Maaf, Prof! Saya sudah memikirkan baik-baik, saya tidak bisa menerimanya! Terima kasih.] Kepada: Om. [Saya tidak sanggup menjalankan perintah om! Lagi pula saya sudah berniat menolak tawaran profesor sejak awal!] Akhirnya Shina mencari jalan tengah untuk ketenangannya. Ia tidak peduli jika sang om akan menyebutnya sebagai anak yang pemberontak atau apalah! Dia hanya ingin hidup tenang! Memang keputusan untuk pulang ke Indonesia kemarin adalah sebuah kesalahan. Begitu pikirnya. ** Semalam tak bisa tidur, Zul memikirkan kenapa istrinya itu bisa menolak tawaran dari Profesor Ethan. Padahal di awal, Shina tampak antusias dengan sang profesor, bahkan perempuan itu tampak girang sekali saat Profesor mengiakan pertemuan mereka tempo hari. “Kenapa Shina menolaknya?” gumam Zul sambil mengepel lantai koridor rumah sakit di pagi hari. “Selamat pagi, Dok!” Seseorang yang berada di belakang Zul menyapa dokter yang lewat. Zul melirik ke belakang dengan sudut mata, dia pun tahu jika ada Dokter Hadi sedang lewat. Maka spontan, dia langsung menggeser ember tempat air pel agar menepi. “Selamat pagi, Dok!” Dia juga ikut menyapa sang dokter untuk formalitas saja. Tapi yang didapat, dokter pimpinan rumah sakit itu hanya berjalan dengan wajah yang lurus dan tampak sedikit kesal. “Pagi-pagi, tapi suasana hatinya sudah buruk saja,” lirih Zul sambil masih lanjut mengepel lantai. Tak lama, seorang nenek dengan tongkat di tangan kanan dan tiang infus di tangan kiri, berjalan melewatinya. “Hati-hati, Nek!” Zul spontan menyimpan alat pel yang dipegang, dia spontan membantu sang nenek untuk melewati bagian yang basah. “Terima kasih, ya, Mas. Kau baik sekali,” ucap si nenek dengan suara lirih dan sedikit serak. “Memangnya nenek ingin ke mana? Aku akan membantu,” tawar Zul. “Aku ingin kembali ke kamarku, di ruang Dahlia 406,” jawabnya. “Ah, itu ada di lantai 4! Aku akan mengantarmu, tapi maukah kau menungguku selama aku menyimpan peralatan ini?” “Bolehkah? Aku sebenarnya tidak tahu harus berjalan ke arah mana!” Zul tersenyum, dia pun dengan sigap menyimpan alat pel miliknya. “Ayo!” Setelah menyimpan semua peralatannya, Zul pun mengantar sang nenek. Wanita tua itu sangat senang, ketika ada yang menuntunnya berjalan. Dia bercakap-cakap dengan Zul di sepanjang jalan, bahkan saat menaiki lift. Zul sangat pengertian dan bisa menjadi teman semua orang. “Kalau saja tulang punggungku ini tidak sering sakit, aku tidak akan butuh tongkat ini untuk berjalan. Anak-anakku selalu sibuk, aku tak tega merepotkan mereka di tengah kesibukan mereka.” Sang nenek mencurahkan isi hatinya. “Ini kamarmu?” Zul mengantar sang nenek pada bangsal kelas dua dengan dua orang penghuni. Teman sekamar sang nenek melambaikan tangan. Tampak nenek itu juga mengenali wanita tua lain yang tidur di samping ranjangnya. “Ayo, masuk,” ajak Zul dengan lembut hingga si nenek sampai di ranjang. Bahkan pria itu juga membantu sang nenek melepas sandalnya, lalu menaikkan kaki wanita tua itu juga ke ranjang. “Biar aku yang memasang kantong infusnya lagi!” Zul dengan sigap menyimpan kantong infus ke tiangnya. “Duduklah menghadap ke sana, Nek! Aku akan bantu pijat punggungmu yang sakit!” “Ah, tak perlu! Kau harus lanjutkan pekerjaanmu.” “Tidak apa-apa! Ayo, setidaknya agar rasa sakitmu berkurang!” Zul melihat riwayat penyakit sang nenek yang ditulis di papan nama ranjang. Sang nenek ternyata menderita diabetes. Dia pun segera memijat punggung sang nenek mulai dari belikatnya. Dengan hati-hati, dia menekan beberapa titik meridian yang memberi pengaruh terhadap rasa sakitnya selama ini. “Tanganmu hangat sekali anak muda,” puji sang nenek. Mendengar itu Zul hanya tersenyum. Ia memang mengalirkan tenaga dalam untuk membantu peredaran darah sang nenek, tentu itu memberikan sensasi hangat di punggungnya. “Bersiaplah, aku akan memberimu totok terakhir dari pijat ini!” ungkap pria tersebut. Mungkin terdengar seperti totok biasa, tapi sebenarnya Zul sedang benar-benar mencoba mengobati sang nenek. “Nah, sekarang tidur dengan nyenyak! Kau akan merasa lebih baik saat bangun nanti!” “Kau menyuruhku tidur di pagi hari! Ada-ada saja!” Zul hanya tertawa. “Wah, apa ini? Punggungku terasa lebih ringan untuk digerakkan!” “Kan ...?” “Pijatanmu, manjur sekali mas!” Zul hanya bisa terkekeh mendengar dia dipanggil dengan sebutan mas. Tapi kemudian, dia pun meninggalkan sang nenek untuk kembali ke pekerjaannya. Bagi Zul, pekerjaan menjadi tukang bersih-bersih ini lebih berarti daripada menjadi seorang pegawai. Karena dia bisa lebih bebas menolong orang tanpa harus melewati prosedur administrasi yang ribet. “Papa mengancam Shina agar dia mau merayu Si Ethan itu untuk bergabung dengan kita! Papa bilang, jika dia tidak berhasil maka aku akan menghalanginya untuk bisa bergabung dengan si profesor sombong itu!” Sambil melewati ruang presdir, Zul samar mendengar hal tersebut. “Ah, sekarang aku mengerti kenapa dia menolakku,” batin Zul. “Lihat saja! Jika si profesor yang sok itu sampai mengambil pasienku, aku akan memberinya informasi yang salah! Dia akan tahu akibatnya!” Zul pun melengos mendengar umpatan dan ancaman dari Hadi Handoko di ruangan presdir. Tapi pria itu hanya tersenyum miring sambil berjalan pergi. “Dia belum tahu saja, jika si profesor sombong itu mendengar ucapannya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD