Jika Doni Sunarya Handoko adalah anak pertama pimpinan, maka Adimas Sunarya Handoko adalah anak keduanya. Pria itu biasa disebut Adi.
Seorang dokter umum yang dituntut oleh keluarga untuk melanjutkan pendidikan spesialis. Tapi Adi menolak, dia lebih memilih untuk mengejar S2 manajemen rumah sakit daripada harus mengambil spesialis.
Adi mendapat nilai yang cukup baik di tempat kuliahnya. Dia sering dipuji dan selalu mendapat pengakuan dari keluarga mengenai kemampuannya.
Tapi sayang, ada seorang profesor yang sangat sulit untuk dimenangkan hatinya. Sudah berulang kali Adi berusaha mendapat pengakuan dari profesor ini dan hal itu tidak pernah ia dapatkan.
“Cuma Profesor Ethan yang meminta mahasiswanya untuk datang di hari Sabtu dan Minggu!” gerutu Adi di kampusnya.
“Karena Profesor memiliki waktunya hanya di akhir pekan. Nanti sore sampai malam, dia akan berjaga di rumah sakit pemerintah dan melakukan operasi yang telah dijadwalkan untuknya.”
“Aku heran, ada manusia yang masih mau bekerja di akhir pekan seperti dia.”
“Dia sangat misterius, bahkan katanya dia tidak pernah melepas maskernya sekalipun. Profesor Ethan selalu bekerja dengan wajah tertutup!”
“Oh, iya! Bagaimana respons dari profesor Ethan terhadap penelitianmu?” Seseorang bertanya pada Adi saat mereka sedang di kampus.
“Dia mengatakan aku tidak bisa memilih responden, sehingga hasil kualitatif dari penelitianku kurang bisa dipercaya.”
Adi menggeleng kepala sambil memegang pelipisnya. Dia tampak sangat pusing dan uring-uringan karena masalah ini.
“Tapi ... kau benar-benar memilih respondenmu secara acak pada keluarga pasien rawat inap yang ada di rumah sakit, bukan?” tanya temannya lagi.
“Benarlah! Kau pikir aku membayar mereka agar mereka memberi respons sesuai dengan inginku supaya bisa mendapat hasil variabel yang kuinginkan. Kau mengada-ngada!” jawab Adi yang tampak tersinggung. Seakan dia mengaku secara tidak langsung dengan kesalahannya.
“Aku hanya memberi saran saja!” timpal temannya itu.
“Ngomong-ngomong kenapa kau tidak bekerja sama dan meminta pembimbing yang lain saja? Bukankah koneksimu banyak? Kenapa harus profesor Ethan?” tanya teman Adi yang lain lagi.
“Keluargaku sangat mengagungkan profesor Ethan. Dia adalah dokter terbaik di Indonesia yang bekerja secara sukarela di rumah sakit pemerintah. Papaku berkata, jika aku berhasil merebut hati Profesor Ethan dengan keberhasilanku dalam menjadi muridnya, ada kemungkinan akan cukup mudah untuk meminta Profesor Ethan agar bisa bergabung dengan rumah sakit yayasan Sehat Sejahtera!” jelas Adi yang tampak putus asa.
“Padahal, bukannya sukses! Penelitian malah membuang-buang waktu saja!” lanjutnya.
Teman-teman yang lain hanya mengedikkan bahu. Mereka memang tahu jika Profesor Ethan sangat sulit dan perfeksionis, tapi mereka tidak mendapat masalah seperti yang dialami Adimas. Mereka berpegang teguh pada moto dari sang profesor. ‘Selama kalian jujur, kesuksesan bisa didapat dengan mudah! Nilai bisa dicetak, uang bisa dicari, tapi kejujuran ... datangnya dari moral dalam hati!’
Selagi mereka mengobrol, seseorang dengan menggunakan masker hitam dan topi datang ke arah mereka.
“Ada yang mau menunjukkan perkembangan tesisnya pada saya hari ini?”
“Siap, saya, Profesor!”
**
Shina berencana kembali ke Korea esok pagi. Maka dari itu, Sabtu malam ini adalah malam terakhir dia berada di Indonesia. Dia ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai di apartemen saja, akan tetapi keluarga sang om meminta dirinya untuk makan malam bersama keluarga.
Jadi itulah kenapa, Shina berada di ruang makan keluarga Handoko saat ini. Dia sudah sering makan di sini, tapi dulu. Saat bersama dengan kedua orang tuanya! Setelah kedua orang tua Shina meninggal dan rumah ini dikuasai oleh sang om, Shina tak pernah diberi kesempatan untuk makan bersama. Gadis itu menghabiskan waktu makannya bersama para ART dan tukang kebun mereka.
“Kau sudah bekerja cukup lama sebagai dokter kecantikan di Korea! Kenapa kau tidak membuka klinik kecantikan sendiri di Indonesia?” tanya sang om di sela makan malam mereka.
Shina pun menelan terlebih dahulu makanannya, barulah dia membuka mulut untuk menjawab omnya. “Eumh, butuh modal besar jika ingin melakukan itu. Saat ini, saya sudah merasa cukup dengan menjadi dokter yang bekerja di klinik orang lain di Korea!”
“Kalau kau butuh bantuan dana, kau bisa bilang pada kami. Kami akan membantu!” tutur sang tante yang terlihat sekali jika mereka sedang basa-basi.
Padahal, semua yang mereka miliki itu sebenarnya adalah milik Shina. Dengan berbagai macam alasan, mereka menggulingkan Shina dari ahli waris. Mereka mengancam Shina hingga akhirnya dia dinikahkan dengan pria seperti Zul.
Sang om dan tante sengaja membuat Zul menikahi Shina, karena mereka menilai jika Shina dinikahkan dengan pria payah sepertinya, maka Shina tak akan memiliki kekuatan pendukung dalam merebut lagi warisannya.
“Tidak perlu, Tante! Saya sudah senang di Korea,” jawab Shina.
“Ah, ya sudah kalau begitu! Yang penting tante sudah menawari, toh, kamu sendiri yang tak mau menerima kebaikan kami.”
Memang selalu seperti itu! Mereka adalah keluarga toksik yang selalu menempatkan Shina di posisi yang salah. Tujuan mereka melakukan itu hanya satu, mereka ingin menguasai harta warisan dari kedua orang tua Shina.
“Kau untuk membuka klinik saja, tak ada uang! Jadi aku semakin yakin, jika donasi dan hadiah pesawat di ulang tahun rumah sakit yayasan waktu itu, pasti bukan darimu ataupun dari Zul, kan?” celetuk Doni yang juga datang di acara makan malam keluarga bersama sang istri.
Shina pun terkekeh. “Ah, iya! Mana mungkin uang sebesar itu dari kami!”
“Oh, iya! Ke mana, Zul? Kenapa kau tidak mengajaknya?” tanya Doni lagi.
Kali ini Shina menggeleng. “Zul ... sedang ada kerja part time! Dia bilang, dia harus kerja paruh waktu untuk menambah penghasilannya!”
Makan malam kali itu dihadiri oleh seluruh keluarga Handoko, termasuk Shina. Hanya saja, Zul, suami dari Shina absen di acara tersebut. Selain Zul, ada seorang lagi yang tak hadir, yaitu anak bungsu sang pimpinan, Adi.
“Kalau Adi ke mana?” tanya Shina agar meja makan tidak sepi karena dia hanya menjawab terus sejak tadi tanpa mengajukan pertanyaan balik.
“Mas Adi, dia sedang ada bimbingan untuk pengerjaan tesisnya bersama sang profesor. Akhir-akhir ini dia sibuk! Sibuk kuliah dan bekerja, bukan sibuk cari kerja paruh waktu!” timpal istri Adi yang ikut datang.
Akan tetapi perkataan istri Adi tadi berniat untuk menyinggung Shina. Sayangnya, Shina bergeming. Dia seakan tak peduli meski Zul direndahkan secara tidak langsung seperti tadi.
“Kelas kita dan Zul berbeda! Kalian tidak boleh berkata demikian,” potong sang tante yang tak terlihat menjadi penengah suasana. “Jangan diambil hati, ya, Shina!”
Shina hanya tersenyum sambil mengangkat kedua alis. Dia tak peduli dengan ucapan mereka.
Saat sedang bercengkerama seperti demikian, salah satu anggota keluarga yang absen tiba-tiba hadir.
“Mas Adi? Kamu langsung kemari?” tanya istri dari Adi yang langsung menyambut kedatangan sang suami sambil membawakan tas milik Adi.
“Bagaimana tesismu? Kau sudah dapat kemajuan?” tanya sang papa.
“Emmm ....” Adi hanya menjawab dengan gumaman saja.
“Kenapa? Profesor Ethan menyuruhmu revisi gila-gilaan?” tanya sang istri lagi pada Adi.
Adi mengembuskan napas dengan panjang.
“Kau ini! Apa susahnya menarik perhatian satu profesor saja!”
Lalu Adi menggeleng. Lantas ia harus bagaimana jika sudah seperti ini?
“Bisakah aku mengganti profesor yang membimbingku saja? Papa aku mohon, aku tidak mau lagi dengan dia!” Adi sejak tadi bersikeras dengan keinginannya. Jika bukan karena keinginan mama dan papanya, mungkin Adi tidak akan sudi untuk memilih profesor Ethan.
Sang papa kali ini yang mengembuskan napas panjang. “Aku sudah susah payah membayar pada pihak kampus agar kamu masuk dalam tim bimbingannya. Kenapa kamu menyerah di tengah jalan begini?”
Adi duduk dan langsung mengambil jeruk, dia berhadapan dengan Shina. “Ke mana suamimu itu?”
“Dia ... sedang bekerja paruh waktu!”
Adi langsung mencibir sambil mengunyah jeruknya.
“Kerjaan paruh waktu apa? Jadi pelayan lagi? Kau tak memberinya uang yang cukup, ya?” ledek Adi pada Shina.
“Shina bukankah kau pernah beberapa kali bekerja sama dengan profesor Ethan di rumah sakit yang di Korea?” tanya istri dari si anak kedua.
“Ah, itu hanya kunjungan biasa, kami kebetulan bertemu dan menghadiri seminar yang sama.”
“Shina maukah kau membantuku untuk temui profesor Ethan agar dia mau baik kepadaku selama penelitian?” pinta Adi memohon.
Tapi Shina malah menggeleng. “Mana bisa seperti itu .... Aku tidak kenal baik dengannya!”
Sementara itu, sang om pun akhirnya ikut bicara. “Itu benar! Temui Profesor Ethan! Setidaknya jika dia pernah dekat denganmu dan dia tahu jika kau adalah bagian dari rumah sakit kita, maka ada kemungkinan dia mau bekerja sama dengan rumah sakit kita!”
“Tapi ....” Shina Ragu, dia tak kenal baik pada sang profesor.
“Sudahlah, ya, Shina! Kau diam maka kuanggap setuju jika kau akan menemui Profesor Ethan agar mau bergabung dengan kami.”