Bab 7

843 Words
"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?” Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan. “Assalamu’alaikum ....” “Wa’alaikumsalam!” “Eh, ini ada pizza dari siapa?” “Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra. Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada. “Buang, Mas!” “Lho, kenapa? Mubazzir Res.” “Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus jelasin dulu.” Aku tak mau berdebat lama. Percuma juga menjelaskan panjang lebar karena tetap saja akan berakhir dengan ceramahnya Mas Indra. Kuambil potongan pizza yang kuyakini sisa itu. Aku tidak membuangnya di tempat sampah yang di dalam, aku membawanya ke depan gerbang. Kebetulan p***y, kucingnya Bu RT sedang melenggang santai. Aku berjalan ke arahnya dan memberikan potongan pizza ini. Mubazzir, betul kata Mas Indra. Lebih baik di makan p***y saja. Aku merasa ada yang mengawasi. Justru bersyukur jika itu benar, setidaknya biar kedua orang itu tahu, jika makanan dari mereka tetap berguna menjadi pengisi perut p***y malam ini. Aku kembali berjalan memasuki gerbang rumah. Kukunci pagarnya. Mas Indra dan Dinda rupanya sudah masuk. Segera kulepas sandal dan masuk ke dalam rumah. Terlihat Mas Indra tengah tiduran pada karpet bulu sementara Dindi meringkuk di depannya sambil memainkan janggut Mas Indra yang ada beberapa biji saja. “Mas, bisa nggak sih, kalau ada Lela itu Mas Indra pergi? Jangan diladeni terus.” Sebelum dia membahas mengenai Bu Minah, aku mendahuluinya mencecar dengan komplenan. “Hmmm ....” “Apaan itu, bisa atau enggak?” “Hmmm ... bisa kalau kamu sudah berhenti berantem sama Bu Minah.” “Menyebalkan, huh!” Aku melengos meninggalkannya ke kamar. Teringat pada laman f*******: baruku yang belum selesai. Aku muncul dengan akun baru dengan embel-embel Hartawan, ingin tahu apa yang dia katakan dan lakukan jika berhubungan dengan pewaris utama Hartawan grup—tempat suaminya bekerja. Sudah ada sekitar dua ratus pertemanan. Kukirimkan beberapa komen sehingga terlihat natural. Beberapa sahabatku, aku chat agar mereka ikut meramaikan f*******: baruku. Pastinya sahabat-sahabat terbaikku pada masa kuliah dulu. Tiba-tiba pikiran jahilku datang Aku akan menggunakan akun baru ini untuk dua tujuan. Satu, untuk memberi pelajaran pada ibu-ibu sosialita itu. Kedua untuk menguji kesetiaan Mas Indra. Ah, gimana kalau nanti Mas Indra nggak setia dan meladeni akunku ini? Menjelang pukul sembilan malam ternyata tampilan laman sosial mediaku ini sudah cukup meyakinkan jika mengaku sebagai pewaris hartawan grup, aku segera menambahkan akun Bu Minah dan kini hanya tinggal menunggu konfirmasi pertemanan. Dinda sudah menyusul ke kamar. Segera kusimpan gawaiku di atas nakas. Aku meraih tubuhnya dan menaikannya ke atas dipan. Putri kecilku sudah cukup berat ternyata. Aku membacakannya sholawat sebelum dia tidur sambil kuusap-usap kepalanya. Walaupun aku agak sedikit bar-bar, tapi pastinya berharap memiliki anak sholehah dan penyabar. Semoga Dinda seperti ayahnya, tidak sepertiku. Akhirnya aku terlelap sambil memeluk tubuh kecilnya. *** Keesokan harinya, Mas Indra pergi kerja seperti biasa. Aku pun seperti biasa sudah kembali sibuk berkutat dengan pekerjaannku. Dinda sudah selesai kumandikan dan kini bermain sendiri di tengah rumah. Aku sudah mengirimi pesan Haira pegawai daeler untuk mengirim sepeda motornya ke rumah. Bagiku malas sekali harus mencari ojol dan berjalan ke sana. Beruntung Haira setuju. Sementara menunggu sepeda motor baruku, aku iseng-iseng mengintip laman sss-ku. Eh, ternyata Bu Minah sudah mengirimkan pesan terlebih dulu. [Hai, selamat malam ... Wah, Ibu pasti pemilik Hartawan grup, ya? Salam kenal, Bu. Suami saya juga seorang manager di sana.] Pesan yang di kirimkannya semalam. Umpan sudah mulai termakan. [Oh, salam kenal ... benar, saya pewaris tunggal Hartawan grup, maaf manager yang mana,ya? Manager saya banyak.] Ah, tersenyum puas rasanya. Sepertinya wanita itu sedang tidak online, tidak ada jawaban pesan masuk. Aku beralih fokus pada layar laptopku. Tidak lama, notifikasi pesan messenger masuk. Tring Tring Tring Dia mengirimkan beberapa fotonya bersama Pak Dermawan. Aku tahu, itu ketika acara santunan di panti, kemudian beberapa foto mereka liburan dan ada juga foto Pak Dermawan yang sedang duduk di kursi di kantornya. [Maaf, saya tidak kenal, Bu ... level manager di Hartawan grup banyak sekali ... bahkan saya tidak hapal siapa namanya.] [Pak Dermawan, Bu ... dia adalah manager kepercayaan dari bos, beda dari yang lain ... mungkin Ibu jarang ngurusin urusan kantor jadi maklum kalau ga kenal.] Balasnya dengan emoticon tersenyum. [Oh, bisa jadi ... saya ga ada waktu buat ngurusin level rendahan sekelas itu, setiap hari saya sibuk mengurusi tender milyaran sih, Bu ... jadi mohon maaf ga terlalu kenal ... saya kira Ibu adalah grup sosialita se-level saya, makanya saya tambahkan, eh, ternyata baru kelas sosialita kelas rendahan.] Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD