Bab 5

954 Words
"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku. “Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku. “Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya. “Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai. “Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan. “Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali. “Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.“ “Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah Hana entah mau ada keperluan apa dia. Risih sekali mendengar wanita lain, apalagi adik sepupu sendiri selalu memuji-muji suamiku. Karena itulah aku sangat tidak suka ketika Lela selalu mengirim pesan pada Mas Indra, dengan dalih apapun. Dan satu hal lagi yang akhir-akhir ini kutahu tentang Lela, dia termasuk dalam grup ibu-ibu bermuka dua. Dia bisa masuk kemana saja dan mendukung yang sedang di dekatinya. Aku membeli tiga buah tomat dan sisanya untuk membeli penyedap rasa. Segera kulangkahkan kaki untuk pulang, mengingat sebentar lagi Mas Indra datang. Namun hari ini memang benar-benar sial. Dari jauh terlihat mobil Bu Susi sudah terparkir di depan rumah Bu Minah. Bu Susi pun lebih senior usianya dariku dan Hana, mungkin beda sekitar enam atau tujuh tahun. “Hey, Mbak Resti!” Bu Susi memanggilku sebelum aku berhasil sampai di depan pintu gerbang. “Eh, Bu Susi, maen Bu?” Aku berbasa-basi sambil meladeninya cipika cipiki. “Iya, Mbak Indah ngajakin kami kumpul di sini. Biasa bos textile abis gajian, mau traktir pizza katanya,” ucap Bu Susi sambil tersenyum. “Hai Jeng Susi, ayo masuk!” Bu Minah muncul membukakan pintu gerbang rumahnya. “Mba Resti, ayo gabung aja, ajakin Dinda ... pasti jarang kan makan-makanan seperti ini.” Bu Susi menawariku, namun kenapa nadanya terasa merendahkan ya? “Makasih, Bu Susi, aku emang gak suka junk food, waktu kecil keseringan jadi udah bosen,” jawabku seadanya. Karena sejak kecil aku penyuka junkfood ternyata ada kadar batas kebosanan sehingga jangankan beli, gratis saja aku sudah tidak berminat saat ini. “Elah ... bilang aja gak kebeli, gak usah bilang bosen juga Mba, saya sih ngerti secara gaji staff gak sebesar gaji suami-suami kami yang levelnya tinggi,” cibir Bu Minah kembali menyulut emosiku. “Bu Minah, meski lidah emang gak ada tulangnya, tolong dijaga, jangankan se-dus pizza, kalau saya mau, satu outlet saya beli, saya masih mampu.” Aku kembali terpancing emosi. Bu Minah tersenyum sinis sambil meraih lengan Bu Susi masuk. “Tuh kan Jeng, saya bilang apa, semakin kesini semakin gak tahu diri dan besar kepala tetanggaku yang satu ini,” ucapnya sambil menutup pintu gerbang. Ingin rasanya kulemparkan tomat ini ke wajahnya. Namun otakku masih sedikit waras. Tetapi aku tidak menjamin jika terjadi perdebatan berikutnya aku masih bisa menahan diri. Selama ini memang aku adalah orang yang ekspresif dan tidak bisa memendam masalah. Ketika aku marah aku akan mengomel, ketika tidak suka, aku akan mengatakan tidak suka, begitupun ketika ingin menangis aku akan menangis sepuasnya. Segera kubuka gerbang rumah. Terdengar suara televisi sudah menyala. Ah, rupanya Dinda sudah bangun. “Mah darimana?” tanyanya dengan wajah masih muka bantal dan rambut berantakan. “Habis dari warung beli tomat, Sayang.” Aku menyempatkan mengecup pucuk kepalanya sebelum berlalu ke dapur. “Dinda mau nonton TV aja, tga mau bantu masak.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Biasanya dia kuminta membantu hal-hal kecil agar terbiasa. Namun tidak juga kuwajibkan karena usianya memang masih lima tahun. “Iya, Sayang, mamah masak dulu, ya!” Aku berlalu setelah mengusap pucuk kepalanya. Hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan semuanya. Pukul setengah lima sore, sayur sop jamur campur baso, tempe goreng krsipi, lalap labu siam muda, dan sambal goreng tomat sudah tersedia di meja makan. Kulihat nasi di magic com sudah matang juga. Aku segera memandikan Dinda. Mengganti pakaiannya dengan yang bersih dan wangi. Meski umur sudah lima tahun, aku masih memakaikannya minyak telon bayi. Wangi khas bayi selalu mengingatkanku pada Dinda lima tahun lalu. Mungil, cantik dan lucu. Aku pun membersihkan diri. Menyisir rambut, merias sekedarnya dan mematut penampilan. Senyum di bibirku mengembang ketika melihat bayangan wajahku tidak banyak berubah seperti lima tahun lalu. Masih terlihat manis dan tidak bosan di pandang. Memuji diri sendiri ternyata bisa membuat hati senang dan menambah awet muda sepertinya. Pukul lima lewat tiga puluh menit, kudengar motor Mas Indra tiba. Aku hanya menunggunya di dalam, biasanya dia memang membuka gerbang sendiri. Namun sudah lima belas menit belum juga muncul batang hidungnya. Aku beranjak dari duduk, membiarkan Dinda yang tengah asyik tiduran di sofa dan memainkan piano kecilnya. Aku membuka pintu, tapi gerbang masih tertutup. Kemana dia, pikirku. Kuberjalan melewati halaman kecilku yang hanya cukup untuk parkir satu mobil, jika sudah punya nanti. Terdengar orang yang sedang mengobrol di depan gerbang. Aku segera membuka kuncinya, suara gerbang membuat obrolan terhenti. “Udah, dulu ya, Mas.” Kulihat Lela berjalan tergesa menuju rumahnya yang berdampingan dengan rumah Bu Minah. Mas Indra menoleh ke arahku. Aku menghampirinya dan mencium tangannya seperti biasa. Namun di tangan kirinya dia menenteng sesuatu. “Beli apa itu, Mas?” “Ini, sambel tomat dari Lela.” DEG Entah kenapa mendengar Lela memberikan sambel pada suamiku membuat darahku mendidih. Kurebut plastik itu tanpa permisi dan kulemparkan pada tempat sampah besar yang ada di tepi gerbang. “Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD