Bab 2. Kesombongan Elia

1339 Words
Dengan langkah tergesa-gesa, Elia memasuki klub malam. Matanya menyapu area klub bagai anak panah. Ketika menemukan yang dicari, sudut bibirnya terangkat. Langkah angkuhnya berjalan ke arah tersebut. Saat berpapasan dengan seorang wanita bahu rampingnya bertabrakan. Tanpa memedulikan tatapan kesal wanita itu, Elia berlalu begitu saja. “Hei!” teriak wanita itu hanya mendapatkan lambaian tangan. Elia terus berjalan, hidungnya mencium bau asap rokok dan parfum menjadi satu, memenuhi udara dalam klub malam ini. Ia seakan menikmati aroma khas tempat ini. Matanya menyipit kala sampai di meja, di mana seorang wanita duduk dengan raut heran. “Kenapa tuh muka di tekuk?” tanya Emine, sambil melirik Elia mendaratkan tubuhnya di kursi. Elia mendengus mengingat kejadian tadi, ia tak bisa menerima perkataan pria itu yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya. “Tidak butuh uang? Dasar munafik,” batin Elia kembali memaki sosok itu. “Apa kau tidak dengar atau kau mendadak tuli?” Kali ini suaranya sedikit lebih kuat. “Iya aku dengar cuma aku lagi kesal! Kau tau tadi aku bertemu siapa?” Elia berbalik bertanya, nada suaranya terdengar kesal. “Nggak tau, emangnya siapa?” Emine mengangkat kedua bahunya. Pikir Emine, temannya itu akan bercerita tentang cowok-cowok yang mengejarnya atau bertemu mantan yang minta balikan. Drama seperti itu sudah biasa dan terkesan membosankan bagi Emine. “Barusan aku dicopet,” ungkap Elia lalu menceritakan semua kejadiannya dengan nada dramatis. Bagaimana ia menganggap apa yang dilakukan pria tadi hanya drama. “Elia, kau benar-benar gila!” seru Emine menggeleng tak percaya. “Bagaimana kalau dugaan kau itu salah dan dia memang berniat menolongmu, apa kau tidak malu?” “Itu cuma akal-akalan mereka supaya dapat uang dari orang kaya sepertiku,” jawabnya sombong. Elia, pewaris tahta bisnis keluarganya. Ia putri tunggal dari Zahir Abbas, seorang pengusaha sukses di kota Dallas. Rambut hitamnya yang berkilau dan mata biru menawan, selalu membuatnya menjadi pusat perhatian. Kekayaan yang berlimpah serta kecantikan Elia menjadikan idaman para lelaki. Ia salah satu primadona di kampusnya. Sayangnya, sikapnya yang sombong dan meremehkan orang lain seringkali di jauhi. “Kau terlalu sering melihat dunia dari sudut pandangmu sendiri, El. Kadang, orang lain tidak seburuk yang kau pikirkan.” Menatap Elia dengan tatapan kecewa. “Mulai deh berkhotbah," keluh Elia menutup telinganya. “Kuharap kau tidak kena batunya,” lanjut Emine, mengangkat alisnya. Nada suaranya terdengar datar, tetapi sarat makna. “Em, apa kau bosan hidup?” Wajah Elia memerah menahan amarah seolah-seolah sedang dihakimi. Jarinya menunjuk-nunjuk Emine. “Apa ada yang salah? Kau terlalu meremehkan orang, El? Ingatlah kesombonganmu itu tidak akan menyelamatkan hidupmu.” Tangan Elia menggenggam erat gelas koktail di depannya. Rasanya ia ingin menyiram minuman itu ke wajah Emine agar sadar sedang bicara dengan siapa. Namun, urung dilakukan Elia yang ingat Emine berbeda dari gadis-gadis yang dikenalnya. Emine tersenyum sinis, ia tahu apa ada di kepala Elia. “Lakukan saja, jika kau tak menginginkanku lagi. Aku bisa pergi.” Hanya Emine yang tak pernah takut digertak Elia bahkan kalimat kasar sering dilontarkan. Mereka berteman sejak pertama kali menginjakkan kaki di universitas Dallas. Dan satu-satunya orang yang bertahan di sisi Elia. Sebab, tak ada seorang punya bertahan diperlakukan semena-mena oleh Elia. Elia memaksa tersenyum, mencoba meredam emosinya. “Aku tak suka kau mengguruiku. Kita ke sini untuk bersenang-senang bukan mendengar khotbah.” “Dan aku tidak suka menghadapi sikap angkuhmu,” balas balik Emine, menyeringai tipis. “Sorry,” bujuk Elia merendahkan suaranya lalu mengembalikan minuman itu ke meja Emine. “Oke.” Singkat Emine sejenak melupakan kekesalan pada Elia. “Nah itu baru Emine Bowie.” Menarik dagu Emine. “Tumben kau sendirian, di mana kekasihmu itu?” tanya Emine melihat kedatangan Elia hanya seorang diri. Elia tak pernah sendiri saat ia bepergian, kadang bersama kekasihnya atau pria-pria yang ingin merebut hatinya. “Sebentar lagi dia datang.” Tatapannya menyusuri kerumunan, mencari sosok yang dimaksud Emine. “Bagaimana perasaanmu setelah menaklukkan Mateo?” “Biasa saja, dia tak sekeren yang aku bayangkan,” jawab Elia sambil menyilangkan tangan di d**a, sudut bibirnya terangkat sedikit. “Sepertinya kau menikmati bermain-main dengan Mateo,” tebak Emine tahu betul seperti apa Elia. “Lumayan, setidaknya gadis-gadis menyebalkan itu iri padaku. Bukan kah aku hebat?” Senang Elia merebut sesuatu yang diimpikan orang lain. Emine tertawa terkesan meremehkan ketrampilan Elia yang mampu menaklukkan para pria di kampusnya. “Kau ....” Tunjuk Elia tertahan di udara. Ia tak suka cara Emine memandanginya. Apalagi tawa itu, seperti orang yang mengejek. Entahlah, ada sesuatu yang aneh dari Emine. Sesuatu yang kadang membuat Elia takut membayangkannya. Dibalik mata misterius itu, Elia suka berteman dengan Emine yang sefrekuensi, menyukai tantangan. “Apa?” “Sudahlah. Kapan kau membawaku ke rumahmu?” Alih Elia yang memang agak penasaran seperti apa rumah Emine. “Nanti kalau aku sempat.” Jawaban yang selalu sama. Di tengah kerumunan yang bergoyang l*ar, sosok yang dibicarakan Elia dan Emine menampakkan batang hidungnya. Mateo dengan aura ketampanan yang tak terbantahkan itu langsung menemukan posisi Elia. Senyumnya yang merekah seraya melambaikan tangan. Di saat yang sama seorang bartender berjalan ke arah Mateo. Ia yang terlalu bersemangat hingga tak memperhatikan sekitarnya. Terjadinya tabrakan kecil yang membuat minuman itu tumpah. Pecah beling berserakan dan cairan berwarna merah menjijikkan membasahi kakinya. Mateo menatap nanar ke arah bartender itu, raut wajahnya berubah merah marah. Elia dan Emine saling bertukar pandang, siap menyaksikan drama yang akan terjadi selanjutnya. Namun, apa yang diharapkan kedua gadis itu tidak terjadi. Kemarahan di wajah Mateo hilang berganti penyesalan. “Oh my God!” seru Mateo panik lalu buru-buru membantu bartender mengumpulkan pecahan itu. “Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Mateo sangat menyesal atas kekacauan yang dibuatnya. Bartender itu mengamati bagian punggung tangan Mateo yang kotor. Namun, ada yang menarik perhatiannya, bekas luka yang cukup banyak. Mateo mengeluarkan lembaran dollar kemudian meletakkan di atas nampan. “Anggap saja ini ganti rugi semua gelas dan minuman yang rusak.” Mateo langsung pergi tidak memperhatikan perubahan raut wajah bartender itu. “Baby, sorry sudah membuatmu menunggumu.” Mendaratkan kecupan mesra di pipi Elia. Elia membalas kecupan Mateo, tetapi matanya tidak lepas dari bartender yang berdiri di kejauhan, mengamati mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. “It’s ok, Baby.” Emine mendengus melihat adegan kecupan yang penuh kepalsuan. *** Di toilet, Dane membersihkan tangan dan kemejanya yang kotor terkena tumpahan minuman tadi. Ternyata benar, hari sial tak pernah tertulis di kalender. “Oh sh*t!” Kesalnya noda minuman itu tak bisa hilang. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dane menjawab panggilan itu, nada suaranya terdengar murka. “Sialan! Aku segera ke sana.” Dane melempar asal seragam kerjanya dan bergegas keluar dari pintu belakang. Pria itu berlari begitu kencang, detak jantungnya seirama dengan langkah kakinya. Sesampainya di sebuah ruko tua yang kumuh, Dane menghentikan laju kakinya. Nafasnya tersengal-sengal, pandangannya mencari-cari sosok yang menjadi tujuannya. Tatapan matanya yang merah padam memancarkan amarah yang membara. Darahnya mendidih melihat kekacauan di depan matanya. Urat-urat di leher Dane terlihat, tangannya mengepal erat, dan buku-buku jarinya memutih. “Tolong, jangan hancur dagangan saya,” pinta pria tua itu memohon, tubuh yang gemetar takut. Ia memeluk erat kaki seorang preman bertubuh kekar yang sedang mengacungkan tongkat kayu. Oliver, begitulah nama preman itu, menyeringai lebar. “Hei, kakek tua! Kalau mau nyawa lo selamat, serahin duit keamanan sekarang juga!” teriaknya, suara beratnya menggema di lorong sempit ruko. Tongkat kayu di tangannya terangkat tinggi, siap melayang mengenai kepala si kakek tua yang malang. “Saya tidak punya uang, dagangan saya belum laku,” jawab kakek itu lirih. Sudut matanya yang berkerut mengeluarkan air mata melihat buah-buahannya berserakan di tanah. Oliver mendengus keras. “Dasar pembohong!” Sebelum tongkat itu menyentuh kepala si kakek sebuah tangan kuat mencengkeram kerah baju Oliver dari belakang. Tubuh kekar itu terhuyung ke belakang dan sebuah p*sau meluncur menembus kemeja Oliver, menghunjam tepat di bawah tulang rusuk. “Berapa kali aku bilang, jangan pernah sentuh orang-orangku." Suara dingin itu menusuk telinga Oliver. Darah segar merembes dari luka itu, membasahi kemeja. Oliver menatap dengan tidak percaya ke arah sosok di belakangnya. Matanya perlahan kehilangan fokus, tubuhnya lunglai dan ambruk ke lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD