"Cium gue!"
Rafa mengangkat sebelah alisnya. Sedangkan Sasa menatap Rafa penuh tantangan. "Gue cuma mau mastiin sesuatu. Kalo lo emang---"
Cup!
Ucapan Sasa langsung terhenti, ketika Rafa langsung mencium bibirnya. Kali ini, Rafa tidak mencium sepihak, karena Sasa akhirnya juga membalas ciuman Rafa.
Meskipun Sasa adalah ciuman pertamanya, tapi Rafa seolah ahlinya dalam hal mencium.
Sasa belum begitu pandai melakukannya, ia membalas ciuman Rafa dengan agak kaku. Tapi hal itu malah membuat Rafa semakin semangat melumat bibir Sasa.
Kening Sasa langsung mengerut ketika mengingat masakannya di dapur.
"Mmhh, s-stop dulu--" Rafa tidak mendengarkan. Pria itu malah memperdalam ciumannya dan semakin mengeratkan pelukan mereka.
Sasa menepuk d**a Rafa berkali-kali. Ia hampir kehabisan nafas, dan untunglah Rafa mengerti. Pria itu melepaskan tautan bibir mereka, membuat Sasa langsung mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Ia terengah.
Rafa? Pria tampan itu malah tersenyum miring. Ia juga masih belum melepaskan pelukannya pada Sasa. Meskipun pelukannya sedikit ia longgarkan agar gadis itu mendapatkan sedikit ruang untuk bernafas.
Salah satu tangan Rafa terangkat dan mengelus bibir mungil Sasa yang terbuka karena masih terengah.
"Lo mau bunuh gue?!" sembur Sasa dengan wajah kesalnya.
Wajah Rafa kembali tenang tanpa ekspresi, seperti biasa. Pria itu membawa Sasa keluar kamarnya, kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Sasa.
Ya, pria itu mengusir Sasa keluar dari kamarnya.
"Rafa!!" pekik Sasa dengan emosi yang menggebu-gebu. Tapi Rafa tidak menjawab.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai, barulah Rafa keluar dari kamar dan segera menyusul Sasa di dapur. Ia bisa melihat saat gadis itu mencepol rambutnya. Matanya menatap pakaian Sasa yang sudah berganti. Gadis itu mengenakan baju kaos kebesaran miliknya dengan celana yang cukup pendek. Mungkin dia mengambil baju Rafa yang ada di sofa. Sudah dikenakan sekali dan belum dicuci.
Rafa tidak peduli apa saja yang gadis itu kenakan jika bersamanya. Asalkan tetap berpakaian saja.
Rafa menghampiri Sasa yang berada di dapur. Gadis itu rupanya sudah selesai memasak.
"Bahan dapur lo gak ada. Ke supermarket ya? Ntaran aja tapinya," ucap Sasa setelah Rafa menyuapkan sesendok ke mulutnya.
Rafa hanya berdehem pelan. Ia tidak begitu suka diganggu ketika tengah melakukan hal-hal yang ia sukai.
Setelah makan, Rafa menggenggam tangan Sasa lembut, membawanya kembali ke ruang tamu. Mereka
duduk bersampingan, dengan tangan Rafa yang tiba-tiba melingkari pinggang Sasa.
Jika Sasa fokus pada TV yang menyala di depannya, Rafa malah memeluk Sasa dan menenggelamkan wajahnya ke leher gadis itu.
“Inget tunangannya, Pak,” sindir Sasa ketika Rafa malah langsung menempel padanya.
“Jangan kaya tadi, Sa.” Suara itu terdengar begitu pelan. Rafa baru saja bergumam dengan sangat lirih di telinga Sasa.
“Kaya gimana?” Dengan sengaja Sasa ingin memancing emosi Rafa.
“Deket-deket Vino,” cicit Rafa dengan suara teredam.
Sasa tersenyum tipis. “Emang kenapa? Hak gue, kan? Lagian lo juga udah tunangan, tuh sam----“
“Enggak, enggak! Gak gitu, Sa!” Rafa menyela dengan cepat. Laki-laki itu bahkan menjauhkan kepalanya. Kedua tangannya mencengkram pundak Sasa namun tak menyakiti.
Kepalanya menggeleng keras. “Enggak gitu!”
Sasa membuang muka. “Terus gimana?” desisnya kesal.
Rafa menunduk. “Maaf.”
Sasa menatap Rafa penuh selidik. “Kenapa minta maaf? Gue cuma mau lo jelasin. Kenapa tiba-tiba mutusin gue, kenapa tiba-tiba hilang kabar, dan yang paling penting..... kenapa lo tunangan sama cewek lain, Raf?” Sasa mulai serius.
Rafa mendongak. Tangannya beralih menangkup kedua pipi Sasa. Mengelusnya dengan begitu lembut. “Maaf, Sa. Gue gagal..... gue gagal pertahanin hubungan kita,” lirihnya merasa bersalah.
Sasa menatap dalam wajah Rafa yang selalu menundukkan kepala. “Jadi lo---“
“Kamu, Sa! Ngomongnya jangan gitu. Ngomongnya kaya dulu aja, ya?” Rafa menyela tapi tak mau menatap gadis itu. Menekan kata 'kamu' pada kalimatnya.
Senyum tipis langsung terukir di wajah cantik Sasa. “Okey. Jadi kamu....” Ia bisa melihat senyum tertahan di wajah Rafa saat ia mengubah gaya bicaranya. “Kamu gak ngekhianatin hubungan kita, kan?”
Rafa mengangguk cepat. “Maaf. Aku terlalu pengecut,” ucapnya kaku.
Rafa merupakan laki-laki dingin dan kaku. Ia tidak begitu tau bagaimana cara berlaku pada perempuan. Ia tidak tau bersikap romantis, ia tidak tau bagaimana mood perempuan, dan masih banyak lagi. Ia hanya takut ditinggalkan Sasa. Tapi keadaan memaksanya untuk meninggalkan Sasa yang jelas-jelas bukanlah keinginannya. Melihat Sasa yang jauh darinya dan dekat dengan orang lain, membuat Rafa tak kuat dan takut kehilangan gadisnya itu untuk selamanya.
Tangan Sasa terangkat, mengelus pipi Rafa yang refleks memejam menikmati. “Terus hubungan kamu sama Syela apa, Raf? Dia bahkan cerita udah pacaran sama kamu dari lama. Dua tahun lalu aku kenal sama dia, dan dia bilang hubungannya udah dua tahun, yang berarti kalau
sekarang hitungannya udah empat tahun lebih.”
Rafa menggeleng cepat. “Enggak, Sa. Aku sama Syela gak ada hubungan apa-apa. Dia Cuma sahabat kecil aku dulu, tapi.... tapi dia tiba-tiba berubah dari empat tahun lalu itu. Aku gak tau kenapa,” cicit Rafa pada kalimat akhirnya.
Sasa mendesis pelan. “Jadi tentang hubungan kalian yang katanya pacaran itu, cuma pengakuan sepihak dari Syela?!” semburnya kesal.
Rafa tak menjawabnya. “Sasa....”
“Apa?” Sasa melirik. Masih merasa kesal akan tingkah Syela yang ternyata mengaku-ngaku.
Rafa mendongak. Ia menatap Sasa ragu-ragu. Gadis itu terlihat masih kesal. “J-jangan deket-deket Vino, ya? Sama cowok lain juga.”
"Kenapa? Kalau lo aja udah tunangan sama orang lain, kenapa aku gak boleh sama cowok lain?”
Rafa terdiam. Tangannya menjauhi Sasa. Pria itu mencoba mengatur pernafasannya yang mulai memburu karena emosi. Hal itu membuat Sasa justru keheranan.
“Raf, kamu....” Sasa memindai Rafa dari kepala hingga ujung kakinya. Gadis itu meraih tangan Rafa yang entah sejak kapan terkepal begitu erat. Memaksa agar kepalan tangan itu terbuka.
“Raf,” panggil Sasa mencoba menenangkan Rafa yang terlihat semakin marah. Bahkan mata dan wajahnya pun memerah dengan rahang yang mengatup kuat.
“K-kamu marah? Maaf. Aku becanda aja tadi,” panik Sasa berusaha menenangkan Rafa.
Rafa terlihat sedikit tersentak seolah terkejut. Ia mengerjapkan matanya dan langsung menaruh penuh atensinya pada Sasa. Tangannya yang terkepal pun telah terbuka, hingga mata Sasa langsung menangkap bekas luka yang cukup besar di telapak tangan laki-laki itu.
“Tangan kamu!” Sasa melotot saat Rafa malah menjauhkan tangannya dari Sasa.
“Ck, siniin gak tangannya?!"
Rafa menghela nafas kasar. Sepertinya laki-laki itu sudah kembali ke mode sebelumnya. Lihatlah, ia malah berdiri dan menuju dapur. Terlihat sekali jika tengah menghindari pertanyaan yang akan Sasa ajukan padanya.
“Rafa!!” pekik Sasa kesal.
Rafa menoleh. “Apa?” tanyanya tanpa dosa, membuat Sasa semakin kesal.
“Sini!” geram Sasa.
Dengan ogah-ogahan, Rafa akhirnya kembali ke tempat duduknya semula. Sasa tidak bertanya lagi perihal telapak tangan Rafa. Ia tidak mau membuat Rafa pergi lagi karena tak mau menjawab pertanyannya. Sasa yakin, jika telah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.
"Jadi.... Syela gak tau gedung ini punya kamu?" Sasa membuka suara dengan pertanyaan yang mengalihkan pembicaraan.
Rafa berdehem pelan. “Hm.”
Sasa menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan senyuman yang ingin merekah lebar.
"Kita pacaran gak, nih?" Sasa lagi-lagi bertanya.
"Hm." Kali ini Sasa tidak bisa menahan senyumnya.
"Aku ngerti sekarang, Raf. Emang bener, aku selalu percaya sama kamu. Omongan kamu emang gak semuanya harus dipercaya, tapi tindakan kamu yang harus selalu aku percaya," tutur Sasa yang lagi-lagi membahas hal yang berbeda.
Rafa kembali memeluk Sasa. “Masa perkataan aku gak dipercaya?” desisnya pelan, pelukannya bahkan semakin mengerat. Wajahnya pun kembali tenggelam pada leher gadis itu. Memberikan kecupan-kecupan kecil dan menghirup aromanya yang candu.
“Gimana mau percaya kalo kamu aja belum bilang kenapa tiba-tiba tunangan sama Syela,”
ketus Sasa judes.
Rafa menghela nafas pelan. Tangannya terangkat untuk mengelus pipi Sasa. Kebiasaan yang begitu ia rindukan. "Aku jelasin semuanya. Kamu bisa mutusin mau tetap atau pergi setelahnya," ucap Rafa yang tidak menjawab pertanyaan Sasa.
Laki-laki itu tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Sasa yang tentu saja menurut. Ia membawa Sasa kembali ke kamarnya.
Begitu mereka telah berada di dalam kamar yang didominasi warna gelap itu, Rafa beralih berdiri di belakang Sasa. Berbeda dengan Sasa yang tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca melihat isi kamar Rafa. Rafa beralih memeluk Sasa dari belakang, dan menenggelamkan wajahnya ke leher gadis itu.
"Maafin aku, Sa. Maafin aku yang gagal pertahanin hubungan kita," bisik Rafa dengan suara beratnya. Pria itu menyeka air mata Sasa yang mulai berlomba keluar dengan lembut.
Cup!
Mata Sasa terpejam ketika Rafa mengecup keningnya. Hingga tiba-tiba Rafa kembali menarik tangan Sasa, membawa gadis itu agar duduk di atas ranjangnya. Sedangkan Rafa beralih duduk di belakang Sasa. Memeluk gadis itu dari belakang. Membiarkan punggung Sasa bersandar pada d**a bidangnya. Sedangkan ia bersandar pada kepala ranjang. Rafa juga beberapa kali mendaratkan kecupan pada puncak kepala Sasa.
"Syela.... dia bisa dibilang temen kecil aku. Dia besar di Berlin."
“Terus profesi kamu, kenapa bisa kamu jadi CEO? Aku masih inget kamu dulu kuliah ke Oxford karena pengen jadi Dokter.” Sasa bergumam dengan tangannya yang mengelus lengan Rafa yang melingkari perutnya.
"Waktu berangkat ke Oxford, aku emang niat kuliah kedokteran. Tapi Papa gak ijinin. Gak ada yang bisa nerusin perusahaannya kalo aku jadi Dokter," bisik Rafa tepat di telinga Sasa.
Sasa bergerak untuk menoleh dan menatap wajah Rafa. Sedangkan mata Rafa tidak beralih sedikit pun dari wajah gadis itu. Ia terus menatap mata Sasa dengan begitu intens.
Tangannya terangkat untuk mengelus pipi Sasa. "Aku sama Syela dijodohin. Apalagi setelah orang tua Syela meninggal karena kecelakaan pesawat empat tahun yang lalu."
Rafa bisa melihat wajah terkejut Sasa. Memang selama ini Sasa tidak pernah tau tentang orang tua Syela. Karena mereka tidak pernah membicarakan perihal keluarga masing-masing.
"Bukannya Kamu bisa nolak, Raf?" Sasa bertanya kemudian menggigit bibir bawahnya, membuat tangan Rafa beralih mengelus bibir Sasa, agar gadis itu berhenti menggigitnya.
"Maafin aku. Dua tahun lalu, aku bener-bener gagal mertahanin hubungan kita. Semuanya gak mudah." Rafa memilih merubah posisi Sasa agar duduk di pangkuannya.
"Kamu kenapa gak kasi tau aku sih, Raf? Kita bisa berjuang sama-sama."
Rafa langsung memeluk Sasa dari depan ketika melihat mata gadis itu yang kembali berkaca-kaca. Membiarkan kaki gadis itu melingkari pinggangnya. Sedangkan ia menenggelamkan wajahnya ke leher Sasa.
"Dua tahun lalu, aku harap kamu bisa dapet cowok lain setelah aku ngirim email itu, meskipun aku ngerasa gak rela kamu sama orang lain.” Rafa terkekeh miris mengingat isi email yang ia kirimkan pada Sasa dua tahun lalu.
____
Hubungan kita berakhir sekarang.
____
Rafa menerawang sebelum melanjutkan ucapannya. “Ngeliat kamu deket sama temen aku aja, aku gak suka. Apalagi sama Vino yang jelas-jelas pernah ada di hati kamu.”
Sasa mengelus rambut Rafa. Membiarkan pria itu banyak bicara kali ini. Untuk sekarang, Sasa tidak mempermasalahkan lagi tentang Rafa yang tidak memberitahunya apa-apa dulu.
Mendengar kejujuran Rafa tentang kecemburuannya, Sasa jadi ingin menggoda Rafa dengan membuatnya cemburu. Tapi ia tidak mau mengundang serigala mengamuk. Jadi lebih baik diam.
Rafa menjauhkan wajahnya dan menangkup kedua pipi Sasa. “Kamu gak akan deket cowok lain lagi, kan?”
Sasa mengerjap, baru tersadar dari lamunannya. "H-hah?"
Rafa mendengus pelan. Pria itu menatap datar pada Sasa yang kini mengulum bibir menahan senyum.
"Aku gak akan deket cowok lain, kok! Asal kamu jaga jarak sama Syela, meskipun dia tunangan kamu!” Gadis itu beralih memeluk Rafa dan menjatuhkan wajahnya pada pundak Rafa.
Rafa mengangguk pasti. Ia mengecup sayang puncak kepala Sasa.
"Tapi kenapa kamu ngirim email waktu itu? Kenapa gak lewat telpon atau SMS atau chat? Kamu malah ganti nomor. Sepengen itu kamu ngelupain aku?" Rafa tersenyum tipis tanpa sepengetahuan Sasa. Ia malah semakin mengeratkan pelukan mereka.
"Sa, kamu masih mau netep?"
Sasa berdecak pelan. "Alihin pembicaraan," cibir Sasa dengan bibir mencebik.
Rafa tetap tenang dan kaku. "Jawab!"
"Ya netep, lah! Sebelum denger penjelasan kamu aja aku tetep gak ninggalin kamu," omel Sasa dengan kesal.
"Aku ceritain ini bukan berarti hubungan kita kembali baik lagi. Ini baru awalnya, Sa." Tatapan Rafa sungguh dalam, membuat Sasa beberapa kali menelan salivanya susah payah.
Rafa kembali melanjutkan ucapannya. "Kalo kamu masih mau netap. Kita gak bisa kaya dulu yang kemana-mana bebas. Sekarang, kita gak bisa kaya gitu." Salah satu tangan Rafa beralih
mengelus pipi Sasa dengan lembut. "Aku cuma takut. Kedepannya kamu bakal lebih banyak sakit hati, Sa. Aku masih terikat sama Syela--"
"Tapi kamu juga gak mau kan, Raf? Kamu gak mau kan kalo aku sama cowok lain? Aku juga gak mau kamu sama Syela. A-aku terlalu egois." Sasa menundukkan kepalanya, membuat tangan Rafa di pipinya terlepas.
Rafa memberikan kecupan pada puncak kepala Sasa. Kemudian menarik gadis itu kembali ke pelukannya.
“Bukan kamu, tapi aku, Sa. Di sini jelas-jelas aku yang egois.” Rafa menghela nafas kasar. “Tapi kalau kamu mau terus bareng sama aku, hubungan kita gak bisa kaya dulu lagi yang bebas kemana-mana berdua."
Mendengar itu, tangan Sasa mencengkram baju Rafa tepat di bagian d**a pria itu. "Aku tetap gak akan ngerubah keputusan aku, Raf!"
Rafa yang mendengar itu tersenyum tipis. Sasa berbicara tanpa keraguan. Rasa bersalah langsung memenuhi dirinya ketika mengingat saat ia berusaha mempertahankan hubungannya dengan Sasa. Di mana ia harus rela hidup di bawah tekanan kuat. Tapi ia tidak ingin menceritakan hal ini pada Sasa. Sudah cukup membuat pikiran gadis itu terbebani. Rafa tidak ingin menambahnya lagi.
Setidaknya, untuk saat ini.
Sasa kembali menjauhkan wajahnya dan memilih bergerak untuk pindah. Ia berbaring di atas ranjang Rafa. Tak lupa menarik tangan pria itu agar ikut berbaring di sampingnya.
Sasa membiarkan ketika Rafa memeluknya saat pria itu sudah berbaring. Sasa memilih memerhatikan setiap dinding kamar Rafa yang dipenuhi banyak foto.
"Jadi? Kenapa semua foto aku ada di sini?"
Iya, setiap dinding di kamar Rafa dipenuhi foto-foto Sasa. Dimulai dari foto gadis itu ketika tertidur, marah, tertawa, tersenyum tipis, dan berbagai macam ekspresi lainnya. Kecuali foto ketika Sasa menangis saja yang tidak ada.
Foto-foto itu sangat banyak. Foto ketika Sasa dan Rafa masih sekolah. Sebelum mereka ke negeri orang untuk mengejar pendidikan. Tapi ada juga foto yang saat Sasa ada di Berlin. Bagaimana bisa? Apa Rafa pernah ke Berlin sebelumnya?
"Foto aku yang di Berlin kok bisa ada? Kamu pernah ke Berlin, Raf?"
Rafa yang ditanyai hanya bergumam malas. Pria itu malah memejamkan matanya. Merasa nyaman memeluk Sasa sambil berbaring.
Rafa suka ketika Sasa menemaninya berbaring. Karena rasa kantuk cepat menghampirinya. Hal itu membuat Sasa terkekeh pelan.
Percuma bertanya pada Rafa lagi. Karena pria itu benar-benar malas berbicara panjang lebar. Rafa sudah kembali ke mode irit ngomongnya.
Jika saja penjelasan Rafa tadi tidaklah penting. Maka Rafa pasti tidak akan sudi berbicara sepanjang tadi.
"Jangan tidur dulu! Kita ke supermarket!" ketus Sasa ketika merasa Rafa tidak mau melepaskan dirinya.
"Ck, besok aja lah," balas Rafa ikutan kesal
"Gak mau! Sekarang aja.” Sasa bergerak lasak agar Rafa mau melepaskannya.
"Aku mau tidur, Sa! Mumpung aku bisa lagi sekarang!"