Keyakinan Hati

2011 Words
Satu jam sebelum pulang, keduanya malah asyik menggambar di kertas yang sama. Anne menggambar perempuan yang memakai jas dokter sementara Hasan menggambar laki-laki yang menggambar jas dokter. Kedua sosok itu hanya setengah badan. Terlihat di mana sosok yang digambar Anne melihat lurus ke depan dengan kacamata yang menghiasi matanya, seperti Anne. Anne memang menggambarkan dirinya sendiri. Ia sedang membayangkan dirinya akan seperti apa beberapa tahun mendatang. Tentu menjadi dokter bukan? Walau ia tak yakin. Akhir-akhir ini pikiran kritisnya mulai membawanya ke arah lain. Omong-omong selama beberapa hari ini, ia mulai agak akrab dengan Hasan. Alasannya? Tidak lebih dari sekedar akrab antara anak magang dan dokter pembimbingnya. Anne tak menyangka kalau lelaki ini yang akan menjadi pembimbingnya. Ia pikir yang akan menjadi pembimbingnya mungkin dokter senior yang sudah setia tantenya, Aisha. Tapi ternyata tidak. Ia baru tahu alasannya kenapa ia mendapat pembimbing seusia Hasan adalah karena dokter senior sudah penuh dengan harus membimbing anak yang magang untuk tesis atau skripsi atau anak koas. Pantas saja, pikirnya. Tangan Hasan menari-nari di atas kertas dengan senyuman tipisnya. Ia sedang menggambar satu sosok yang merupakan cerminan dirinya di sebelah gambar milik Anne. Anne menoleh ke arah Hasan eh maksudnya sosok yang digambar oleh Hasan itu. Keningnya mengerut-ngerut melihat sosok itu tersenyum ke arah perempuan. Gambar perempuan itu adalah Anne. Dan gambar itu memang tampak nyata. Seolah menggambarkan kejadian sebenarnya. Hasan memang sering mencuri pandang pada Anne namun Anne tak pernah menyadarinya. "Minus berapa, Ann?" Anne berdeham. Ia sebetulnya merasa agak ganjil dengan gambar Hasan itu. Maksudnya, Hasan yang menggambar dirinya sendiri dengan tatapan seperti itu. Cowok itu kan jago gambar dan gambarnya benar-benar terlihat seperti nyata. "Dua, dok." "Keduanya sama, Ann?" Anne mengangguk. Hasan tersenyum kecil. Ia masih melihat gambar-gambar itu. Tampak puas sekali. Karena gambar itu sebetulnya seolah menyatakan bagaimana perasaannya terhadap Anne. Ya secara tidak langsung memang begitu. "Ann udah selesai, dook!" Hasan mengembangkan senyuman kecil miliknya. Ia juga sudah sedari tadi menyudahi bagian miliknya. Mereka menggambar di satu kertas gambar yang sama dan Hasan yang berinisiatif untuk dapat melakukan itu. Ia ingin membuat kenangan bersama gadis ini. Barangkali gambarnya bisa disimpan. "Buatku boleh, Ann?" tanyanya. Anne hanya mengangguk, ia tak masalah. Ia tak bersemangat seperti Hasan. Sementara Hasan tentu girang sekali karena ia mendapat gambar milik Anne. Hal yang semakin membuatnya berharap untuk bisa mendapatkan gadis ini suatu saat nanti. Ya, ia tak berharap kalau akan patah hati lagi. "Semester depan akan sibuk, Ann?" Namun gadis itu tak menjawab karena masih sibuk membubuhi tandatangan di dekat gambar miliknya. "Ann," ia mengulang panggilannya. "Lumayan padat, dok." Hasan mengangguk-angguk, ya semester depan pasti sudah lumayan padat. "Tapi masih akan melanjutkan magangnya kan?" Anne hanya berdeham. Gadis itu menutup semua pulpen warnanya. "Kalau ada mata kuliah yang bingung, tanya kan saja sama saya ya, Ann." Ia tak keberatan sama sekali kalau Anne rajin bertanya beberapa hal padanya. Toh mereka ini kan dari kampus yang sama meski tak pernah berada di tahun yang sama. Karena jarak usianya dan Anne tentu berbeda jauh. Dokter muda sepertinya sudah menyelesaikan koas sementara Anne bahkan masih duduk di semester tiga. Anne memberesi barang-barangnya kemudian pamit padanya. Hasan membiarkan gadis itu pergi sementara ia bersiap-siap untuk kunjungan pasien. Ia mengikuti langkah Anne hingga mereka berpisah di koridor. Anne akan berjalan menuju pintu ke luar. Kalau Hasan malah sebaliknya. Namun langkahnya terhenti saat melihat sahabatnya berdiri di dekat pintu lift. Baru saja membiarkan seorang gadis berjalan pergi dari sana. Ia malah melangkah ke arah Eza lantas menahan tawa. Eza mendelik lantas mendengus. Matanya masih menatap sosok perempuan yang baru saja berjalan ke arah parkiran mobil khusus staf rumah sakit. "Bagaimana? Ada perkembangan?" ledeknya. Ia menaruh lengannya di bahu Eza dan itu membuat Eza melepaskan diri darinya secara kesal. Ia sebetulnya agak kasihan pada sahabatnya ini. Meski terlihat memiliki status namun tampaknya, hati perempuan itu tidak sepenuh bisa sahabatnya miliki. "Urus saja Ann-mu itu," sungut Eza yang kini sudah melangkah di depannya. Hasan terkekeh ia melangkah juga tapi tak terlalu cepat seperti Eza. Ia hendak menyahut tapi tiba-tiba urung kemudian terpikir hal lain. Akhirnya, ia malah menyusul langkah Eza kemudian menepuk bahu sahabatnya itu ketika berhasil menyamakan langkahnya. "Mendekati perempuan itu perlu strategi, bro. Walau harus menunggu," tuturnya lantas berjalan mendahului Eza dan berbelok. Eza menghentikan langkah lantas memandang punggung Hasan dari kejauhan. Lo belum tahu rasanya sakit hati, pikirnya dalam hati kemudian ia melanjutkan langkahnya. Aaah, Eza tak tahu saja kalau Hasan sudah pernah merasakan itu. Sakit hati? Iya. Hasan pernah sakit hati dikala masa kuliah lalu. Ia pernah menyukai gadis yang merupakan adik tingkatnya. Mahasiswi dari fakultas lain yang sejenis di kampusnya. Gadis itu membuatnya terpesona ketika pertama kali melihatnya di masjid kampus ketika acara kumpul organisasi bersama anggota baru. Gadis itu tentu menjadi salah satu anggota baru di organisasi itu. Eza tak pernah tahu kalau Hasan sakit hati soal itu. Karena Hasan memang enggan menceritakan detil kejadian lamarannya yang tak terjawab. Eza hanya diberitahu oleh Hasan kalau gadis itu sudah tak terlihat lagi dan tak ada kabarnya. Saat didorong-dorong Eza untuk mencari gadis itu, Hasan memilih menyerah. Eza rajin memotivasinya untuk tidak menyerah mengejar perempuan tetapi Hasan sudah bertekad untuk berhenti. Eza hanya menepuk-nepuk bahunya kala itu tanpa tahu kalau Hasan menyimpan lukanya sendiri. "Siapa? Siapa? Siapa?" Para ikhwan tentu heboh kala itu dengan kehadiran gadis yang kalau dibilang paling cantik sih tidak juga. Ada banyak perempuan yang jauh lebuh cantik darinya. Tapi entah kenapa, aura kesalehannya sangat memikat juga keanggunannya. Bahkan caranya menjaga dirinya hingga Hasan pun terpesona. Ia ikut mendongak, sama seperti ikhwan lain yang sedari tadi sudah menunggu giliran gadis itu untuk memperkenalkan diri depan puluhan anggota organisasi Islami kampus ini. Gadis itu berdiri perlahan kemudian mengucap salam sebelum memperkenalkan dirinya. "Perkenalkan, saya Faradina Saleha Az-Zahra, angkatan 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat." Dan semua lelaki di sana langsung mengingat namanya. Begitu pula dengan Hasan. Bahkan hingga sekarang. Meski sudah terbiasa melupakan. Hasan menarik nafas dalam sebelum memasuki salah satu ruang rawat pasiennya. Tiba-tiba saja sosok perempuan itu muncul dikepalanya. Apa kabar kamu, Far? @@@ Anne baru tahu kalau sepupunya punya pacar baru. Ia memang tak begitu perduli dengan asmara para sepupunya. Itu kan urusan mereka. Namun biasanya, ceritanya akan sampai dengan cepat ke telinganya. Lah ini? Ia bahkan baru melihat wajahnya untuk pertama kali. Ya memang sih para sepupunya bukan orang-orang yang hobi mengenalkan pacar pada keluarga besar. Tidak seperti kakak sulungnya dulu. Hanya saja yang ini terasa begitu ganjil. Sementara itu, Hasan tertawa melihat reaksi Anne yang mengerutkan kening. Tatapannya seolah menunjukan ada keanehan yang terjadi pada isi otak Eza yang kini salah tingkah sambil menggaruk-garuk leher. "Bisa gak, Ann?" tanyanya sekali lagi. Melihat wajah Anne yang malah merasa aneh dengan tingkahnya, membuatnya tak berani berharap. Benar kata Hasan, pikirnya. Gadis ini misterius dan agak unik. Maksudnya, tidak seperti perempuan cantik kebanyakan. Atau itu hanya penilaian awalnya saja? Anne menggeleng sebagai jawaban. Ia malas ikut campur dalam asmara orang lain. Sekalipun hanya diminta untuk melakukan kejutan untuk Dina. Dan lagi, acara seperti itu tidak perlu dilakukan menurutnya. Para sepupunya bukan orang-orang yang hobi melakukan hal-hal yang menurutnya tidak berguna. Meski kadang mereka suka ghibah. Eeh itu termasuk hal yang tidak berguna bukan? "Susah ya deketinnya," keluh Eza dikala ia dan Hasan akhirnya memilih makan di kantin dan meninggalkan Anne di ruangan itu. Keduanya mana tahu kalau Anne justru pergi ke halaman belakang rumah sakit. Ada gazebo dan banyak buku di sana. "Gue jadi bersimpati sama lo," tuturnya yang setengah meledek. Hasan sih hanya terkekeh. Ia santai saja. Karena apa? Untuk apa menherja Anne sekarang? Ia melihat Anne masih begitu kecil untuk mengerti persoalan asmara. Bahkan ia bisa menebak kalau Anne belum pernah jatuh cinta. Ia yakin akan hal itu karena Anne tidak seperti anak-anak magang lain yang suka mencari perhatian para dokter di sini. Anne terlihat berbeda mungkin karena ia tak mau terlalu perduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. "Lo yakin mau ngejar dia?" tanya Eza. Matanya sudah berpaling ke arah gadis yang sedang berjalan dengan para dokter senior. Ada Aisha, Fahri dan direktur, Fadlan. Ia sungkan kalau melihat Dina sudah bergabung dengan mereka. Hasan berdeham. Urusan mengejar cinta itu urusan nanti. Toh ia juga lebih suka jika Anne fokus dengan magang juga kuliahnya. Dan lagi, gadis itu akan lama magang di sini. Ia punya banyak waktu mengakrabkan diri dengan Anne. Tak perlu terburu-buru. "San!" "Urusan ngejar cewek sih nanti lah." "Kalo gak dipepet entar keburu diambil orang, San." Hasan malah tertawa. Ia baru saja meledek pernyataan Eza itu dengan tawanya. Eza hanya mendelik. Kesal dan jengkel tapi ya sudah lah. Toh ia sudah memberitahu. "Kita harus pandai-pandai membedakan mana cewek yang perlu dikejar dan mana cewek yang hanya perlu didekati," ujarnya dengan bijak ketika keduanya sudah duduk di bangku kantin khusus. Eza tertawa mendengarnya. Omongan Hasan ini sudah macam orang yang sangat profesional soal cinta. Padahal kosong juga pengalamannya. Hihihi. "Dan menurut lo si Ann?" Hasan berdeham. "Dia bahkan masih kecil, Za. Dikepalanya hanya soal belajar." Eza mengangguk-angguk. Percaya. "Lalu?" "Ya nanti lah. Mungkin kalau dia udah koas?" "Keburu tua, lo," semprotnya kemudian terbahak melihat wajah masam milik Hasan. "Lo sama dia beda jauh, San. Dari segi usia dan juga muka." Mendengar itu membuat tangan Hasan melayang untuk menoyornya. Eza terbahak. Hasan sudah bisa menoyor kepalanya semenjak setengah tahun terakhir. Selama ini, lelaki ini terlalu kaku. "Tapi jujur lah. Dia emang baby face. Gak cuma itu, kelihatan polos dan gak tahu apa-apa soal cinta," tutur Eza. "Tapi lo yakin?" tanyanya dengan tatapan sangsi. "Dia itu cantik, San. Yang di kampus, pasti banyak yang suka. Gue yakin. Dan lo gak berpikir ke arah sana? Mungkin dia udah suka sama cowok lain atau gimana? Karena di kampus kita itu, bro, cowok ganteng bertebaran. Cewek cantik juga bertebaran. Yang ganteng sama cantik bersatu udah lumrah." Hasan terkekeh. Ia menggeleng lemah. Tetap pada keyakinannya kalau gadis itu masih sangat polos untuk urusan asmara. "Dan lagi, kita gak tahu apa-apa soal dia, San. Ditanya ini-itu pun gak begitu menanggapi. Lo ngerasa ganjil gak sih?" Lagi-lagi Hasan menggeleng. "Dia memang orangnya kayak gitu." Tapi kok Eza merasakannya berbeda? Maksudnya, sikap Anne terlihat tak begitu antusias dan juga tak begitu perduli. "Orang pendiam itu susah ditebak, San." Hasan tertawa. Ia juga pendiam jadi ia tahu. Tapi Hasan lupa kalau manusia tak pandai membaca isi hati orang. Namun ia tetap pada keyakinannya untuk firasat ini. "Ye lah serah lo dah serah," ungkap Eza yang akhirnya malah menyerah. Terkadang Hasan itu terlalu keras kepala, enggan mendengar apa yang orang lain katakan dan terlalu percaya diri pada hatinya. Oke untuk beberapa hal mungkin bagus dengan sikap itu karena terlihat memiliki prinsip. Namun Hasan harusnya tahu kalau pergaulan anak muda jaman sekarang berbeda jauh dengannya. Anne boleh saja terlihat seperti anak-anak pendiam dan kutu buku yang tak tahu asmara. Tapi hati manusia siapa yang tahu? Anne menghela nafas pelan ketika pulang. Ia terpaksa harus berjalan dengan kedua orang dokter yang menjadi sahabat ini. Memang jarang-jarang bisa jalan pulang bersama mereka karena biasanya, mereka lebih sibuk di rumah sakit. Terkadang mereka lembur. Terkadang mereka jaga malam. Kini malah terasa aneh karena keluar bersamanya di jam sore seperti ini. Jam lima yang merupakan jam pulang beberapa staf juga anak-anak magang sepertinya. "Ann, pulang naik apa?" Kening Anne berkerut. Ia masih berjalan di belakang kedua lelaki itu tapi mendadak, salah satu di antaranya menjajari langkahnya. "Kalo naik umum, mendingan bareng kita aja, Ann. Naik mobilnya Hasan biar nanti dianterin sampai ke rumah," tuturnya lagi. "Gak usah, dok." "Gak usah ngerepotin maksudnya?" ledek Eza yang terdengar garing tapi anehnya Hasan juga tertawa. Anne mengerutkan kening. Lagi-lagi ia mengeluarkan jenis tatapan yang membuat Eza menggaruk tengkuk. Ia sepertinya baru saja mempermalukan diri di depan Anne. Padahal Anne hanya mengerutkan kening sebagai pertanda bingung. Tapi mereka sering salah paham. "Gak usah, dok. Saya bisa pulang sendiri," tuturnya lantas pamit dengan membungkuk kemudian segera berlari kecil. Ia tak mau berurusan lebih lama dengan mereka. Bukan apa-apa sih, Anne masih tidak nyaman dengan keduanya. Sementara itu, bibir Hasan berkedut-kedut menahan tawa. Hal yang membuat Eza ingin sekali menjitak kepalanya. "Puas lo?" dumelnya yang membuat Hasan akhirnya tak kuasa menahan tawanya lagi. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD