5. Mata-Mata

1582 Words
Sepulangnya Indra dan Tasya dari acara pernikahan Helen, tanpa Tasya tahu ternyata Indra mengajaknya ke Ambarukmo Plaza. Sebagai wanita, Tasya heran kenapa Indra masuk mall. Padahal biasanya, lelaki itu paling malas dengan tempat yang berhubungan dengan pusat perbelanjaan. Hanya saja, sedari tadi Indra meminta Tasya diam. Dan yang dilakukan Tasya sekarang adalah diam tanpa bertanya, walau sebenarnya dalam hati dia sangat penasaran. "Lo apa-apaan sih?" Tasya berusaha berontak saat Indra tiba-tiba menggamit pinggangnya. "Syut, lo diem saja deh. Soalnya dari tadi itu, kita diikutin sama orang suruhan Papa gue." bisik Indra di dekat telinga Tasya. Perlahan, Tasya menoleh ke arah di mana Indra menunjukkan bahwa orang suruhan Farhan ada di sekitar sana. Benar saja, ada beberapa orang memakai pakaian serba hitam yang menatap sedang mengawasinya. "Kok mereka bisa tahu sih kalau kita pergi bareng?" Tasya tak kalah berbisik di dekat telinga Indra. "Gue yakin, mereka ngikutin kita dari awal kita pergi ke nikahannya Helen tadi. Soalnya pas kita keluar hotel, enggak sengaja gue lihat mereka parkir enggak jauh dari tempat gue parkir mobil." Keduanya terus saja bicara secara bisik-bisik. Takut-takut kalau di antara lelaki suruhan Hanung atau Farhan itu akan mendengar apa yang Tasya dan Indra katakan. "Biar orang tua kita percaya kalau kita menerima perjodohan ini dan hubungan kita baik-baik saja, mending kita nonton. Supaya mereka berspekulasi kita lagi nge-date." usul Indra. Kata-kata Indra mengganggu hati Tasya. Gadis itu tidak terima dibilang setuju dengan perjodohan ini. Dia saja menolak keras, walau tidak ada hasil. "Gue kan enggak...!" Tasya berusaha berontak, dia bahkan menjauh dan mendorong tubuh Indra sebagai bentuk penolakan. "Syut..." Sesegera mungkin Indra kembali menarik pinggang Tasya. Pandangannya mengedar, benar saja apa yang dia duga. Beberapa orang suruhan Farhan atau mungkin Hanung tadi seketika semakin terfokus pada pergerakan Indra dan Tasya. "Lo bisa diem enggak sih?" kesal Indra karena Tasya tidak bisa menahan mulut lebarnya. "Ya gue enggak mau menerima perjodohan ini." balas Tasya sambil berbisik lagi. "Mau lo menerima atau enggak, kita tetap bakal menikah." Indra meyakini hal ini, karena dia tahu bagaimana tipe Farhan selama ini yang tidak suka akan kegagalan dan penolakan. Langkah kaki mereka belum juga berhenti, kini Indra mengajak Tasya menaiki lift menuju lantai yang lebih atas agar rencana menonton terlaksana dan mereka tidak dicurigai. Beberapa orang suruhan para tetua tadi juga ada di dalam lift. Antara Indra dan Tasya saling diam karena ruang sempit, memungkinkan setiap kata-kata akan lebih mudah terdengar oleh orang lain meski hanya berbisik. Sampailah mereka di lantai tujuan. Setelah membelah jalan beberapa orang suruhan yang berdiri di depan Tasya dan Indra, mereka akhirnya berhasil keluar lift. Hal yang semakin membuat Indra yakin bahwa para lelaki tadi memang membuntutinya dan Tasya, ternyata mereka semua ikut keluar lift. Padahal tadi awalnya, mereka seperti orang yang tidak berniat turun dari lift. "Tenang saja, gue ada duit kok buat beliin tiket nonton sama beli popcorn sekaligus minumannya." Indra kembali meyakinkan. "Dengan begini, mereka akan memberikan laporan yang baik ke orang tua kita sebelum kita nikah." sambung Indra sambil berjalan ke loket penjualan tiket. "Pokoknya gue enggak mau nikah sama lo." tolak Tasya mentah-mentah. "Gue tadi sudah bikin lo bisa ketemu sama Virgo ya, jangan ngadi-ngadi lo." gertak Indra seraya memilih film mana yang akan mereka tonton. "Lo yang jangan ngadi-ngadi." "Setiap apa yang sudah dilakukan itu tidak ada yang gratis ya." desah Indra tetap tak mau kalah. "Cis... Jadi lo minta imbalan?" kekeh Tasya. "Tapi pernikahan itu bukan untuk dijadikan imbalan." lanjut Tasya tegas. "Siapa yang bilang gue minta imbalan pernikahan? Gue minta lo melakukan apa yang gue katakan dengan baik." "Lo kurang kerjaan ya jadi orang." Belum sempat Indra membalas kata-kata Tasya, seorang penjaga loket sudah lebih dulu menyela seraya memberikan dua tiket nonton pada Indra. Mereka lanjut membeli popcorn dan minuman agar nanti tidak berdesakan. Beberapa orang dengan pakaian jas serba hitam masih ada di sekitar. Setiap kali Indra melihat ke arah mereka, selalu saja mereka mengalihkan pandangan seolah sedang sibuk masing-masing. Seperti saat ini, salah satu dari mereka berlutut menggunakan satu kaki seolah sedang membenahi tali sepatunya. Padahal bisa Indra lihat dari tempatnya duduk, sepatu pantofel lelaki itu tidak bertali. *** "Terima kasih ya sudah mengantar Tasya pulang dengan selamat." Vidya tersenyum ramah pada calon menantunya saat kedua remaja itu baru saja pulang. Kalau tidak menghargai Vidya, malas sekali Tasya berada di sana lebih lama lagi. Padahal tadi Tasya sudah mengusir Indra agar langsung pulang, tapi malah lelaki itu bersikeras ingin mengantarnya sampai rumah. Jadilah ada drama begini antara Vidya dan Indra. "Sudah seharusnya saya mengantar Tasya pulang, Tante. Kan Tasya tunangan saya, jadi saya juga tidak mau Tasya kenapa-napa." kekeh Indra sopan. "Cih... Siapa juga yang seneng tunangan sama dia. Harus begini banget ya buat ngambil hati nyokap gue." Desis Tasya dalam hatinya. Ketiga manusia beda generasi itu masih berdiri di depan rumah. Ini belum terlalu sore sebenarnya, masih jam dua siang. Dan cuaca di luar bisa dibilang panas. "Ayo mampir dulu, pasti capek ‘kan habis jalan-jalan. Sudah makan?" ajak serta tanya Vidya, takutnya kalau Indra belum makan. Lagi pula tadi asisten rumah tangga juga masak banyak. "Emm... Ma, Indra tadi bilang mau langsung pulang. Jadi dia enggak bisa mampir dulu." sela Tasya sebelum Indra mengiyakan ajakan Vidya. Dalam hati, Indra hanya tersenyum sinis melihat reaksi Tasya. Gadis itu benar-benar muak kepadanya. Tapi apa peduli Indra, yang paling penting sekarang adalah Tasya tidak bisa mendekati Virgo. "Iya Tante, saya harus pulang sekarang. Maaf sekali untuk kali ini saya tidak bisa mampir dan makan bareng calon Mama mertua. Mungkin lain kali bisa, Tante." Indra mengikuti saja apa mau Tasya, terlebih juga dia sudah lelah dan ingin segera beristirahat. Vidya mengerti, dia mengantar Indra sampai mobil setelah calon menantunya itu berpamitan. Sedangkan Tasya, dia sudah kembali ke kamar tanpa menghiraukan Indra maupun Vidya lagi. Nanti kalaupun ditanya, Tasya akan menjawab dia kebelet ke toilet. Gadis itu sudah sampai kamar, dia membuang tasnya ke sembarang arah lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Badannya terasa pegal-pegal, dan berkoar-koar minta diistirahatkan. "Hah... Seneng banget gue hari ini bisa ketemu Virgo lagi." gumamnya pelan, takut kalau ada Vidya di luar dan mendengar apa yang dia katakan. Hari pertama bertemu lagi dengan Virgo, membuat Tasya teramat bahagia. Kenangan masa lalu kembali berkelebat di dalam pikirannya. Saat-saat dulu mereka masih menjalin kasih, ke sana sini selalu bersama dan banyak hal yang mereka lewati berdua. "Kenapa semesta tidak berpihak pada kita?" desah Tasya. Penyesalan karena sudah meninggalkan Virgo waktu dulu terus menghantui Tasya. Dia tidak bisa melupakan raut kesedihan Virgo saat lelaki itu tahu bahwa dirinya harus melanjutkan kuliah dan pindah ke Palembang. "Andaikan waktu bisa diulang, gue enggak akan pernah ninggalin lo, Virgo." rasa sakit hatinya tidak bisa sirna begitu saja. Orang bilang, siapa yang meninggalkan di dalam suatu hubungan. Maka dialah yang akan tidak akan merasa sakit hati dan semua akan baik-baik saja. Tapi nyatanya, Tasya tidak merasakan hal seperti itu. Rasa sakit di hatinya malah tidak bisa musnah dengan mudah. Terlebih saat melihat Virgo hidup baik-baik saja bersama kedua istrinya, itu membuat Tasya semakin sakit. "Pada akhirnya, gue yang akan terluka sendirian." Wajah Tasya sudah dipenuhi oleh air mata. Gadis itu selalu saja menangis apabila ingat bagaimana dulu dia mengatakan putus pada Virgo. Seolah-olah, Tasya sangat tidak memiliki hati. Padahal Virgo sudah memohon padanya agar tidak pergi. Kini, penyesalan hanya tinggal nama belaka. Orang yang ingin Tasya kejar, sudah menjadi milik wanita lain. *** Perlahan-lahan Indra menaiki tangga rumah, menuju ke kamarnya. Seperti biasa, di belakang Indra selalu ada dua belas maid yang siap membantu Tuan Mudanya kapan saja. Della tersenyum, melihat wajah Indra yang bahagia. "Bagaimana acara jalan-jalan kalian?" pertanyaan Luna barusan, mampu mencegat langkah kaki Indra. Sebagai seorang anak, tentu saja Indra akan menghentikan langkah kakinya dan memberi salam kepada sang mama tercinta meski Luna begitu cerewet. Dari pertanyaan Luna tadi, Indra jadi tahu siapa yang mengirim para lelaki berbalut jas serba hitam tadi. "Kami enggak jalan-jalan, Ma. Tapi kami pergi ke acara nikahan temen." Indra sengaja tidak mengatakan bahwa tadi dia mampir nonton ke bioskop. Wajah Luna memancarkan kebahagiaan, wanita paruh baya itu tersenyum karena setidaknya Indra bisa melakukan pendekatan dengan Tasya tanpa harus dipaksa-paksa seperti akan menjodohkan kemarin. "Ya sudah, kamu pasti lelah. Cepat istirahat." Luna tak kuasa menahan rasa senangnya, dari suara saja terdengar jelas bahwa Luna sangat bahagia. "Mama juga istirahat." balas Indra sopan. Setelah memastikan Luna tidak ada di sana, Indra lanjut berjalan menuju kamar. Sesampainya di depan pintu, Indra membalikkan badan sambil menatap Della yang menunduk sopan. "Mbak Della..." panggil Indra seperti biasa. "Iya Mas, ada apa?" Della lebih mendekat ke Indra agar Indra bisa lebih nyaman saat harus mengatakan apa saja yang terucap dari bibirnya. "Aku capek, pengen dipijat." keluh Indra yang memang tidak sedang berbohong. "Tapi aku mau, di antara mereka jangan ada yang menunggu di depan pintu. Cuma Mbak Della yang aku izinkan masuk." titah Indra lagi. Segera, Della memberi perintah pada maid yang lain agar lebih baik menjaga jarak terlebih dahulu. Semuanya bubar satu persatu. Sedangkan Della, dia masuk ke kamar Indra dan melayani putra majikannya seperti biasa. Menyiapkan baju ganti, menuangkan minum dan memijat kalau Indra menginginkan. "Apa tunangannya Mas Indra cantik banget?" tanya Della di sela-sela pijatan tangannya di kaki Indra. "Enggak..." jawab Indra jujur, baginya Tasya sangat biasa saja. Della menghela nafas, dia pikir setelah melihat dan pergi ke kondangan bersama maka bisa merubah hati Indra, sayangnya tidak bisa. Lelaki itu menikmati pijatan pada kakinya. Tangan Della bagi Indra benar-benar ajaib, terasa enak dan bisa menghilangkan rasa pegal. Karena sudah mengantuk, Indra memilih memejamkan mata tanpa menghiraukan Della. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD