“Bu, memangnya ibu mau mengajakku ke mana?”
“Nanti juga kamu tahu. Yang terpenting sekarang, kamu tampil cantik dengan senyuman indah di wajahmu yang tidak boleh kamu kurangi sedikit pun untuk ditunjukkan pada seseorang.”
“Untuk seseorang? Apa jangan-jangan ibu mau memperkenalkan aku dengan seorang pria?”
“Tepat sekali.”
“Ya ampun, bu. Sofia kan masih sangat muda. Aku masih mau mencari pengalaman bekerja dulu dan belum kepikiran untuk menikah.”
“Sudah, jangan banyak bicara. Pokoknya kamu nurut saja sama ibu. Toh ini demi kebaikanmu.”
“Kenapa tidak kak Anya saja yang ibu kenalkan dengan pria itu? Usia kak Anya kan sudah seperempat abad.”
“Anya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Lagipula, dia sudah punya kekasih yang akan segera melamarnya. Sedangkan kamu kan masih jomblo.”
“Ibu ini. Terlalu memanfaatkan status singleku.”
“Ayo, cepat kita berangkat sekarang. Jangan sampai kita datang terlambat, agar dia tidak menunggu kita terlalu lama.”
“Tapi bu, aku benar-benar belum mau menikah. Aku masih mau kuliah dulu.”
“Kuliah kan masih tetap bisa kamu lakukan setelah kamu sudah menikah nanti.”
Biar Sofia mau beralasan seperti apapun, Sari tetap mendesaknya untuk menuruti perintahnya. Sofia pun terpaksa menuruti perintah ibu tirinya. Dia akan melihat dulu pria yang akan dijodohkan dengannya nanti, urusan menerima atau tidaknya perjodohan itu akan dia pikirkan kembali. Sofia berpikir seperti itu.
Akhirnya, Sofia dan Sari tiba di tempat tujuan. Mereka tiba di sebuah hotel bintang 5 yang berada di pusat ibu kota.
Kedua mata Sofia meluruh panjang menatap bangunan tinggi di depannya. Hatinya mulai berdebar ketakutan ketika dia mengetahui tempat pertemuan dia dengan pria itu.
“Bu, kenapa bertemunya harus di hotel sih? Biasanya kan kalau bertemu itu di Restaurant, sekalian makan malam.” Bisik Sofia, sambil melirik ketakutan karena feeling yang tak enak.
“Urusan makan gampang. Sekarang, kita bertemu dulu dengan pria itu. Dia ingin sekali melihatmu.”
Sofia mendungus kesal. Tangan kanannya ditarik paksa oleh Sari untuk memasuki hotel tersebut. Mereka menaiki lift bersama dan pintu lift terbuka di lantai 5.
Sepanjang berjalan di koridor hotel menuju ke sebuah kamar, Sofia terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sari. Tapi, Sari malah semakin memegang erat tangan Sofia karena dia tahu kalau anak tirinya itu berniat kabur.
Kamar 505.
Sari menekan bel kamar tersebut.
Ting tong... ting tong...
Pintu kamar itu langsung dibuka oleh seorang pria berjas. Di telinga pria itu ada kabel spiral yang pria itu gunakan sebagai alat berkomunikasi.
“Silahkan masuk.”
Sofia dan Sari diminta untuk masuk ke dalam. Hawa menyeramkan semakin Sofia rasakan ketika dia melihat ada banyak pengawal yang berdiri mendampingi seorang pria tua yang duduk di atas kursi putar. Dinginnya dari ruangan AC bersuhu tinggi juga membuat sekujur tubuh Sofia bergidik, apalagi dia mengenakan gaun yang menampilkan seluruh bagian bahunya yang mulus dan putih bersih.
Langkah kaki Sari berhenti di depan seorang pria yang tengah duduk di sebuah kursi kerja. Pria itu memutar kursi yang didudukinya untuk melihat sosok seorang perempuan muda yang dibawa oleh Sari kepadanya.
“Ini tuan, perempuan yang bernama Sofia.”
“Oh. Jadi, ini anaknya Budi? Cantik juga.” Seringai dari senyuman menyudut tajam terukir di wajah pria tua yang sedang memegang rokok elektrik.
Sofia semakin ketakutan saat melihat sosok pria tua di depannya. Dia meremas kuat pakaian Sari dengan tangan gemetar.
Yang Sofia pikirkan saat ini adalah tentang perjodohannya dengan pria tua di depannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ibu tirinya akan setega ini untuk menyerahkan dirinya pada pria tua bangka yang bertubuh kurus dan hitam.
“Hutang Budi memang hanya 200 juta saja. Tapi, aku akan memberimu lebih dari sejumlah hutang yang Budi punya padaku, atas kecantikan putri Budi yang akan kamu serahkan kepadaku.”
“A-apa?” kedua mata Sofia langsung membeliak membesar begitu dia mendengar ucapan pria tua itu. “Diserahkan?” gumamnya dalam hati. “Apa aku akan benar-benar dijual oleh ibu? Tidak. Tidak mungkin ibu akan setega itu menjualku.” Sofia melirikkan matanya ke arah Sari dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, tuan.”
“Pernikahan itu akan segera dilangsungkan besok pada pukul 4 sore. Aku tidak ingin kamu dan putrimu ini sampai datang terlambat. Kalau lima menit saja kalian sampai datang terlambat, maka perjanjian kita akan batal dan semua hutang Budi tidak pernah lunas sampai kapanpun.”
“Baik, tuan.”
“Sekarang kalian boleh pergi. Aku sudah cukup puas setelah melihat sosok putri dari Budi.”
Sari segera menarik tangan Sofia untuk keluar dari kamar itu.
Tapi, Sofia begitu ingin mengatakan penolakannya pada pria tua itu soal pernikahan yang sama sekali tidak dia inginkan. Namun, mulutnya begitu sulit untuk dia buka, walau hanya sedikit saja. Mendadak mulutnya seperti terkunci rapat dengan sendirinya.
Deras air mata langsung mengalir di seluruh wajahnya. Tubuhnya dia ringkuk karena gaun mini yang dia kenakan membuatnya merasa tidak nyaman.
Sari baru melepaskan tangan Sofia setelah mereka keluar dari hotel itu.
“Ayo, kita cari makan. Kamu pasti sudah lapar, kan?”
“Sofia tidak mau makan.”
“Kenapa? Apa kamu marah sama ibu?”
Sofia tidak menjawab pertanyaan Sari. Dia langsung pada pertanyaan inti yang sejak tadi bergemuruh di dalam hatinya.
“Kenapa ibu tega sekali menjualku pada p****************g itu?”
“Siapa yang menjualmu? Bukankah yang berhutang itu bapakmu? Jadi, sudah jelas kalau yang menjualmu adalah bapakmu bukan aku.”
“Tapi, tidak seharusnya ibu melakukan ini padaku!”
“Kalau bukan dengan cara ini, lalu dengan cara apa lagi agar kita bisa terbebas dari semua hutang bapakmu yang dia tinggal mati!? Bahkan, uang gajimu selama 10 tahun bekerja saja belum tentu bisa untuk melunasi semua hutang itu, karena pria tua itu sengaja memberi bunga pada hutang bapakmu setiap harinya.”
“Lalu, bagaimana dengan nasib Sofia setelah menikah dengan pria tua itu nanti? Sofia takut, bu...”
“Ibu tidak peduli. Yang membuat hidupmu menjadi seperti ini kan bukan ibu, melainkan bapakmu. Karena saat dia masih hidup dulu, dia pernah membuat kesepakatan pada pria tua tadi untuk menjadikan kamu jaminan jika dia tidak mampu membayar semua hutangnya.”
“Bapak itu bisa sampai berhutang banyak karena dia harus memenuhi semua keinginan ibu yang terlalu konsumtif. Sebelum bapak menikah dengan ibu, hidup bapak dan aku baik-baik saja. Kami hidup dalam kesederhanaan sepeninggalan dari kepergian mamaku. Tapi, sejak bapak menikah sama ibu, bapak harus bekerja keras demi keinginan ibu dan kak Anya yang selalu ingin hidup mewah. Seharusnya, bukan aku yang dikorbankan untuk menikah dengan pria itu, melainkan kak Anya. Karena dialah yang pantas untuk dijadikan jaminan, bukan aku!!!”
PLAK!!!
Sari langsung menampar kencang wajah Sofia saking dia geramnya karena terus disudutkan oleh anak tirinya.
“Awas saja kalau sampai kamu berani kabur sebelum pernikahanmu dilakukan, maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu!”
***