8 bulan kemudian...
“Ambil uang ini.” Miya memberikan sebuah amplop putih berisi uang miliknya.
“Kenapa uang bonus bulan ini kamu berikan padaku?”
“Usia kandunganmu sudah memasuki bulan ke delapan dan sudah waktunya kamu melakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui perkembangan bayimu. Di zaman sekarang, hanya dengan memeriksakan kandungan tanpa USG sangatlah rentan, apalagi kamu bekerja terlalu berat selama masa kehamilanmu. Jadi, terimalah uang ini. Aku ikhlas, tanpa harus kamu menggantinya.”
“Tapi...”
“Aku tahu dengan kesulitan finansialmu. Tapi kamu tetap bertahan mengandung bayimu tanpa seorang suami yang mendampingimu selama kehamilanmu. Anggap saja uang ini sebagai hadiah untuk kelahiranmu nanti. Asalkan tidak minta double saja saat kamu melahirkan nanti.” Canda Miya, teman kerja sekaligus teman satu kosan Sofia.
Kebaikan Miya membuat Sofia sedih dan menitikan air matanya. “Terima kasih Miya, kamu selalu baik padaku. Entah dengan cara apa aku bisa membalas kebaikanmu ini.”
“Biar Allah saja yang membalas kebaikanku nanti. Fokusmu sekarang adalah kesehatanmu dan juga calon bayimu. Aku dengar, bayimu kembar ya?”
“Iya. Bidan memberitahuku tiga bulan yang lalu, kalau bayiku kembar.” Sofia menyeka air matanya. Kini senyuman bahagia hadir kembali di wajah kalemnya.
“Kamu hebat Sofia. Kamu sama sekali tidak berniat untuk menggugurkan kandunganmu apalagi sampai ingin mengakhiri hidupmu. Kalau aku yang berada diposisi kamu, bisa-bisa aku stres berat.”
“Aku bisa bertahan sampai sejauh ini karena bayi ini. Setiap gerakan mereka di dalam perutku seperti mereka sedang bicara padaku, supaya aku tidak menghilangkan mereka dari hidupku. Makanya, aku mau mempertahankan bayi ini meski awalnya aku menolak mereka.”
Miya tersenyum mendengarnya. Setidaknya, dia bisa merasa lega karena selama ini Sofia selalu berusaha tidak merepotkannya dengan melakukan apapun sendirian.
“Ayo, kita kembali bekerja. Biar bos tidak sampai memecatku karena kandunganku yang sudah besar.”
Miya mengangguk. Mereka pun kembali ke tempat kerja mereka usai makan siang mereka selesai.
Mereka kembali ke tempat kerja dengan berjalan kaki. Saat di tengah perjalan menuju ke sebuah Mall, tanpa sengaja Sofia bertemu kembali dengan orang yang paling tidak ingin dia temui selama ini. Orang itu adalah Yesaya.
“Sofia?!!!” Yesaya langsung mendelik kuat ketika dia bisa bertemu dengan Sofia kembali.
Sofia langsung menghindari Yesaya dengan berlari ketika Yesaya ingin mengejarnya. Akan tetapi perutnya yang sudah sangat besar membuat Sofia tidak mampu berlari dengan baik, yang terjadi justru dia tersungkur di atas aspal.
Saat itu juga rintihan kesakitan langsung terdengar dari suara Sofia sambil memegangi perutnya. Dia tidak mampu lagi menghindari Yesaya saat Yesaya sudah berada di dekatnya.
“Aku mohon, kamu menjauh dariku!” Sofia langsung mengarahkan telapak tangannya ke arah Yesaya ketika Yesaya ingin menyentuhnya.
“Sofia?”
“Aku... aku...” tiba-tiba saja Sofia kehilangan kesadarannya. Dia pun pingsan dan menjatuhkan kepalanya di atas tangan Yesaya.
Yesaya melihat ada banyak darah yang keluar dari kaki Sofia. Dia pun bergegas membawa Sofia ke rumah sakit terdekat.
**
Hari itu...
Dooorrr!!
Sofia mendengar suara tembakan ketika sebuah peluru menembus tubuh seorang pria yang baru saja keluar dari sebuah pistol di tangan Yesaya.
Tubuh Sofia langsung terasa lemas seketika, saat melihat kejadian tidak terduga dengan mata telanjang olehnya. Sofia syok bukan main, melihat Yesaya yang tampak biasa ketika membunuh seorang pria hingga pria itu dibiarkan tergeletak begitu saja sampai sekarat dan mati.
“Siapa Yesaya yang sebenarnya? Kenapa dia begitu mudah membunuh orang tanpa ada rasa takut sedikit pun? Seminggu menikah dengannya, dia tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kalau dia orang yang jahat. Apa mungkin, satu buan yang dia maksudkan dari perceraian kami adalah bagian dari rencananya untuk menghabisi nyawaku?”
Rasa ketakutannya melebihi rasa pedulinya pada Yesaya. Dia langsung kabur dan pergi dari kehidupan Yesaya setelah kejadian di hari itu. Hanya membawa beberapa helai pakaian di dalam kopernya dan juga uang simpanan yang dia miliki, Sofia menghilang dari Yesaya.
Tidak ada satu pun anak buah Yesaya yang berhasil menemukannya, karena Sofia membuat identitas baru agar dirinya tidak sampai ditemukan oleh siapapun yang berhubungan dengan Yesaya.
**
Rumah Sakit
Miya memberikan secangkir teh hangat untuk Yesaya, saat sedang menunggu Sofia yang masih berada dalam penanganan dokter di ruang IGD.
“Terima kasih.” Ucap Yesaya sambil menerima minuman itu.
Miya duduk di samping Yesaya sambil sesekali menegukkan minumannya. “Siapa kamu?”
“Aku suaminya.” Jawab Yesaya, singkat.
“Sofia sudah tidak ingin bertemu lagi denganmu. Dia ingin menghilang dari hidupmu.”
“Bukan urusanmu jika dia ingin melakukan itu padaku.” Ucap Yesaya ketus.
Dia bangkit dari kursi dan berjalan meninggalkan Miya.
Yesaya menghubungi anak buahnya yang sejak tadi terus menghubunginya.
“Ada apa kamu menelponku?”
“[Ronald ingin bertemu dengan anda malam ini juga.]”
“Aku tidak bisa.”
“[Tapi dia memaksa bos. Dia mengancam akan menghabisi anggota geng kita kalau bos tidak mau menemuinya malam ini juga.]”
“Apa dia mengatakan padamu alasan dia ingin menemuiku?”
“[Katanya, dia ingin melakukan gencatan senjata dengan menawarkan sebuah kerja sama pada anda.]”
“Mustahil dia ingin melakukan gencatan senjata denganku. Yang dia inginkan selama ini adalah menghabisi nyawaku.”
“[Aku juga tidak percaya itu, bos. Tapi dia mengatakan itu dan dia memaksa.]”
“Baiklah. Aku akan menemuinya jam 12 malam nanti. Katakan padanya, kalau kita akan bertemu di tempat biasa.”
“[Baik, bos.]”
Satu masalah belum selesai, Yesaya sudah harus menghadapi masalah yang lainnya.
Tak lama telpon dengan anak buahnya berakhir. Retha, mamanya, juga menghubunginya. Untuk panggilan telpon yang satu ini, Yesaya tidak pernah bisa menolaknya. Dia terpaksa menerima telpon dari mamanya di saat dia dalam kondisi yang tidak stabil.
“Halo, ma.”
“[Kapan kamu akan pulang?]” Retha langsung menodongnya dengan pertanyaan itu.
“Aku masih ada banyak pekerjaan di Kantor.”
“[Bohong. Niko bilang, kalau kamu sudah meninggalkan Kantor dari siang. Sekarang, kamu ada di mana?]”
Yesaya kesulitan untuk beralasan pada mamanya. [I-itu. Aku...]”
Saat Yesaya ingin memberitahu keberadaannya pada mamanya, Miya datang memanggilnya dengan suara kencang.
“Yesaya! Dokter suah keluar. Dia ingin bicara denganmu mengenai kondisi Sofia.”
“[Yesaya. Siapa yang sedang bicara denganmu itu? Lalu, siapa Sofia?]”
Saat itu juga, Yesaya langsung memutus panggilan telpon dari mamanya. Dia tidak bisa mengatakan apapun pada mamanya saat ini tentang persoalan yang dia sembunyikan dari mamanya selama ini.
Yesaya bergegas menemui dokter yang sedang menangani Sofia.
“Apa anda adalah suami dari ibu Sofia?”
“Iya, dokter.”
“Istri anda harus melahirkan sekarang juga. Kami akan segera melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi kembar anda, melihat dari kondisi ibu dan bayinya yang harus segera dilakukan tindakan secepatnya. Kalau tidak segera dilahirkan, maka resiko kematian akan bisa terjadi pada bayi kembar anda.”
***