Bayangkan bagaimana reaksi Rahi saat kakinya menginjak rumah Sean. Atau gini deh, tampang Samudra dan Irina ketika mobil mereka tidak muat memasuki gang sempit menuju kediaman Sean, lalu mereka berjalan nyaris 100 meter. Kebayang nggak tuh ekspresinya?
“Pulang dari sini langsung panggil tukang urut,” gerutu Irina yang kesulitan akibat sepatu hak tingginya.
Sedangkan masyarakat di kampung halaman Sean memancarkan reaksi berbeda. Berbondong-bondong mereka keluar demi memenuhi rasa penasarannya akan kedatangan dua mobil mewah yang warnanya mencolok di desa mereka.
“Orang kaya baru bukan, tuh?” celetuk salah satunya.
“Ada apa sih rame-rame gini?” Bu RT juga kepo layaknya monyet dora.
Terlebih di kampung itu Sean merupakan bujangan tertampan, kalau cewek biasa disebut kembang desa, tapi ini cowok. Pokoknya Sean most wanted. Selain ketampanan yang Sean punya, pribadinya juga penuh pesona, jago bela diri, dan sejauh ini Sean merupakan lelaki yang memuliakan wanita.
Jadi, mana ada yang percaya ketika secepat kilat rumor Sean menghamili gadis kota menyerbak di kampung itu.
“Gak mungkin gimana, Bu? Kalo gak mungkin terus kenapa tiba-tiba datang rombongan orang kaya ke kampung kita yang aroma-aromanya mau minta tanggung jawab!” Biang gosip di kampung mereka memperkuat argumennya.
Ibu-ibu baik hati yang di setiap do'anya terselip nama Ocean Wiliam untuk anak perempuan mereka kelak pun angkat bicara, “Jangan suudzon mulu, Bu. Belum tentu omongan Ibu bener, entar malah fitnah jadinya. Dosa besar itu!”
Begitulah keramaian di luar rumah Sean atau lebih tepatnya di sepanjang gang sempit.
Sementara di dalam rumah, Sean yang sudah bilang salam dan dibalas salam oleh ibunya, telah memperkenalkan satu sama lain hingga kini mereka duduk di ruang utama.
“Gak ada sofa nih, atau kursi deh yang murahan dikit?” celetuk Samudra.
Untung ibunya Sean sudah terlatih menghadapi orang-orang yang seperti itu.
“Air putih doang suguhannya? Jus jeruk peras gak ada?” Irina turut berkomentar.
Jefri menaikkan sebelah alisnya. “Hidup di zaman kapan nih makanannya ubi sama singkong rebus doang?”
Baim sabar, Ya Allah. Sean meringis dalam hati. Dia menggenggam erat tangan ibunya dan bertelepati: Maklumi aja, Bu, sabar.
Sedangkan Rahi masih sibuk meneliti tiap sudut rumah Sean. Sebenarnya rumah itu tidak terlalu buruk, bisa dibilang tidak miskin, hanya saja golongannya menengah ke bawah, tapi di mata jajaran sultan sejenis keluarga Martapatih, kalompok minoritas macam Sean adalah orang miskin.
“Jadi, ada apa gerangan datang kemari?” Ibunya Sean mulai bicara. Rahi mengalihkan atensinya.
Sebelum memulai maksud dan tujuan, Samudra berdeham. “Langsung saja ya, Bu. Ini demi kebaikan putri saya, maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk meminta tanggung jawab putra Ibu buat menikahi Rahi.”
Sean lagi-lagi meremas tangan ibunya, seolah berkata: Nanti Sean jelasin. Mereka suka main kode-kodean begitu.
“Memang apa yang dilakukan Sean terhadap putri Bapak?”
“Dia gerepein anak saya, Bu!” semprot Irina. Rahi meringis, sedangkan Jefri menguap. Mereka orang punya, tapi miskin sopan santunnya.
“Sebagai orang tua, saya merasa gagal dan menyesal menjadikan lelaki seperti Sean sebagai pengawal. Tapi karena sudah terjadi hal buruk, saya harap pihak lelaki mau bertanggung jawab atas keburukan yang telah dilakukan.” Samudra mencoba untuk bijaksana.
Sejujurnya Sean tidak terima namanya tercoreng seperti ini karena ulah Rahi. Kebohongan gadis itu fatal sekali. Tapi dipikir-pikir, mungkin inilah cara Tuhan memberikan jodoh padanya, seperti ini dan begini adanya. Dia terlalu naif.
“Sean, bener yang mereka katakan?”
“Mau bener atau nggak, saya terima tanggung jawab itu.”
Jawaban Sean dicibir oleh Rahi dan disahuti oleh Irina. “Masih gak ngaku juga kamu!”
Sean abaikan, dia menoleh kepada sang ibu. “Bu, Sean akan menikahi Rahi.”
Ada banyak hal yang ingin ibunya Sean katakan perihal ketidaksetujuannya, tapi itu bukan jalan terbaik. Dia percaya dengan Sean, maka kini seluruhnya akan dia serahkan kepada sang purta.
“Kalo gitu, kapan baiknya tanggal pernikahan mereka?” tanya ibunya Sean.
“Minggu depan aja, keburu buncit anak saya,” tutur Irina.
Jefri mendelik kepada Rahi. Serius adiknya bisa melakukan itu? Bikin dedek bayi kan nggak gampang. Tapi saat dia melirik Sean, Jefri mendesah: Pantes aja, lawan mainnya gak kira-kira.
“Gak terlalu cepet, Mi? Rahi masih sekolah, lagian sebenernya gak usah nikah juga gak pa-pa.”
Mendengar fakta itu ibunya Sean terkejut, perlu digarisbawahi: masih sekolah katanya. Dia melirik Sean dan melemparkan tatapan galaknya. Tolong ingatkan dia untuk memarahi putranya nanti!
“Gini aja, karena Rahi masih sekolah, minggu depan saya akan melamarnya secara resmi. Lalu setelah kelulusan, saya nikahi dia.”
“Gak usah lamar-lamaran! Nikahan kalian kan gak normal, terjadi karena kecelakaan, yang ada nanti malu-maluin. Mending langsung nikah aja secara kekeluargaan,” timpal Samudra. Dia perlu menjaga image keluarga, ini juga Kakek Sebas belum tahu.
Sean paksakan senyuman. Niat dia baik, dia menjunjung tinggi harga diri wanita, tapi malah diseperti inikan. Bukan salah Sean, kan?
“Ya udah, gimana baiknya aja.” Akhirnya itu putusan Sean.
Tiba-tiba Rahi protes. “Pernikahan itu sekali seumur hidup. Aku gak mau kalo nikahnya kayak gitu!”
Nggak tahu diri memang. Coba siapa yang membuat semuanya jadi runyam?
Sean ingin menyentil Rahi. Oke, sabar, akan dia lakukan itu ketika Rahi sah menjadi istrinya. Mungkin alasan Tuhan menjadikan Rahi sebagai jodohnya adalah amanah untuk Sean didik agar menjadi pribadi yang baik. Positive thinking saja.
“Terus Neng Rahi maunya gimana?” tanya ibunya Sean.
Rahi menunduk, bingung juga. Kalau dia mengatakan pernikahan impianya adalah ala-ala disney, itu nggak tahu diri maksimal namanya. Sudah tahu calon prianya miskin, mana bisa mewujudkan wedding dream kurang ajar Rahi.
“Urusan ini biar saya dan Rahi yang diskusikan nanti, yang penting saya mau tanggung jawab,” meski gak salah.
Hingga pertemuan dua keluarga itu pun berakhir. Rahi dan sebangsanya meninggalkan kediaman Sean. Mulai hari ini Sean sudah diberhentikan dan itu artinya Sean tetap tinggal di kampungnya.
***
“Jelasin sama Ibu sekarang!”
Baru juga beres mandi saat sore datang, ibunya sudah nangkring saja di kasur dan menuntut penjelasan. Sean menghela napas pelan. Lalu dia mulai menceritakan kronologisnya sampai pada kebohongan-kebohongan Rahi yang membuat mereka terjebak di situasi sekarang.
“Kalo gitu kamu gak berhak tanggung jawab! Udah gak usah nikah sama dia, masih kecil juga, keluarganya kayak yang gak berpendidikan. Keliatannya aja orang punya, tapi miskin tata krama.”
Sean sebisa mungkin menenangkan sang ibu. Dia juga menjelaskan perihal kehadiran Rahi dalam kehidupannya melalui cara seperti ini mungkin sudah kehendak Tuhan. Alhasil, ibunya Sean bungkam. Dia menjitak kepala putranya sampai berbunyi.
“Sakit, Bu.”
“Makanya, jadi orang jangan baik-baik amat! Kita emang orang gak punya, tapi harus bisa mempertahankan harga diri biar tetep di puncak, jangan biarkan diinjak-injak. Ngerti nggak sih kamu, Yan?!”
“Iya, Bu, iya.”
Sang ibu naik pitam. “Kalo kamu gak pegangin tangan Ibu tadi, udah Ibu siram itu mulut pakai air kobokan!”
***
Sampai kemudian waktu berjalan begitu cepat. Satu minggu telah dilampaui dan sampai detik itu belum ada kabar atau perkembangan tentang pernikahannya dengan mantan pengawal.
Rahi sih B saja. Dia malah senang kalau batal, atau gak apa-apa deh Sean kabur sekalian. Dia masih ingin bebas dan menggapai cita-citanya untuk debut di bawah naungan SM Entertainment. Kemustahilan yang hakiki.
“Anjir, anjir, lo udah liat belum?! Sehun Ceye yang di Super Elle. Gila, killing me ini mah!” tutur Misa, lalu menunjukkan foto terbarunya.
“Ya Tuhan, mimisan gue!” heboh Rahi.
“Ada lagi nih liat!” ucap Misa seraya menunjukkan foto Sehun--idola mereka--yang badai.
“Yang kayak gini nih. Gimana bisa berpaling coba? Kayak gak boleh banget gitu gue melipir ke Jaehyun, Lucas, Mark dan jajarannya.” Lemah Rahi.
Misa terkikik. “Gue aja yang idola utamanya bukan Sehun sampe kejang-kejang gini liatnya, apalagi lo?”
“Eh, tapi itu Chanyeol mantan gue makin aduhai aja.”
“Yang namanya cowok kalo udah jadi mantan emang suka gitu, Ra! Bikin nyesel udah pernah mutusin dia aja. Sama kayak gue ke Jimin.”
Lalu mereka lanjutkan aktivitas keramatnya, halu kuadrat. Sampai titik di mana ponsel Rahi berdering. Tertera nama Om Sean di layar.
“Halo?”
“Saya di rumah kamu sekarang.”
“Iya, terus?”
“Kamu di mana? Cepet pulang, saya mau ngelamar.”
“Gak usah buru-buru, Om.”
Terdengar helaan napas berat di sana. Pasti Sean.
“Kamu kayak gini, saya gak rugi. Yang malu bukan saya.”
Rahi bangkit menyentak kesibukan Misa di depannya. “Siapa sih, Ra?”
“Om ngancam saya?” Kalimat Misa tak Rahi indahkan.
“Satu jam. Saya kasih kamu waktu satu jam, kalo nggak pulang, sisanya kamu yang bereskan.”
Telepon pun dimatikan dari pihak sana. Rahi geram. Dia memekik tertahan. Oke lah, Rahi menyesal sudah berbohong dan mempermainkan orang tuanya sejauh ini. Tapi apa itu saja gak cukup?
Yang tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang memotret sosok Rahi di sana.
“Eh, anjir gue ditinggal. Rahi!” teriak Misa yang tentunya Rahi sudah pergi.
***