Saat itu, aku tidak sampai menyadarinya, ketika semuanya terbongkar, yang kubuat sudah tak ada artinya lagi. Sebercak darah menetes-netes di atap, membanjiri lantai kusam nan dingin dengan warna merah yang memekat. Matanya menyoroti seluruh permukaan, diam dan bisu, yang kukatakan tak bisa keluar dari rongga-rongga, hanya berteriak saja, membuatku takut.
Pria itu. Tidak, lebih bagusnya, Kakek itu telah membunuh seluruh saudara-saudaraku. Termasuk orang tuaku, dan simpelnya, keluargaku, keseluruhannya, dibantai habis olehnya. Bekas cekikan terpapar jelas di leher saudara perempuanku yang terkapar lemas di lantai, menikmati darah yang mencair di sekitar tubuhnya yang kaku. Aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, habisnya, semua itu benar benar nyata.
Kenangan-kenangan yang kubuat bersama keluargaku akan menjadi sebuah sejarah yang tak mungkin terulang kembali. Semua ini karena dia. Kakek berperawakan tegap dengan penampilannya yang rapi memakai jas hitam serta celana hitam. Ingin aku menyerangnya dengan kekuatanku yang mungkin hanya bisa mencakar tubuhnya saja, tapi tubuhku terlalu kaku dan dingin untuk melakukannya.
Semuanya bukan sepenuhnya salah kakek itu, semua ini juga termasuk kesalahanku karena meninggalkan keluargaku di situasi yang mengerikan ini.
Aku ingin menjerit, ya Tuhan!
"Kenapa," ucapku rapuh. "Kenapa kau membunuh mereka?"
"Semua ini atas dasar cinta, Olivia."
"Darimana kau tahu namaku dan tempat tinggalku?" tanyaku sedikit takut.
"Aku mengetahuinya karena kau yang memberitahuku, Olivia."
"Aku tidak pernah ingat pernah memberitahu informasi pribadiku pada orang asing sepertimu!"
"Percayalah, kau akan mengingatnya sebentar lagi."
"Apa yang harus kulakukan pada mayat-mayat keluargaku ini? Aku tak kuat melihatnya!"
"Biar kubantu, aku bisa menghanguskan mereka dengan jentikan jari agar kau tak perlu repot-repot mengangkut mereka ke pemakaman, Olivia."
"Me-Menghanguskan mereka, kau bilang?"
"Aku akan menghargainya jika kau menyetujui usulanku, Olivia."
"Tidak! Aku tidak mengizinkanmu! Berhenti membuat mereka tersiksa lebih dari ini, Kakek Gila!"
"Kau belum tahu namaku rupanya, baiklah, ingat ini, namaku adalah Roselied, aku seorang iblis dari Neraka yang datang ke Bumi karena perintah Tuhan."
"Pe-Perintah Tuhan kau bilang!?"
"Betul, aku ditugaskan untuk menjadi gurumu."
"Guru!? Apa maksudmu!"
"Aku akan mengajarimu berbagai hal tentang bejadnya kebiasaan manusia dalam hidup. Ah, sebelum itu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
****
Olivia Glair. Itu namaku, seorang gadis berambut hitam panjang berkacamata yang hidupnya selalu diliputi kesedihan. Yep, itulah aku. Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan pada semua orang, tentang hal-hal yang membuatku sedih, tentang hal hal yang membuatku sakit. Tapi apalah daya, untuk bicara saja, aku tak mampu. Bukannya bisu atau gagu, aku hanya kaku jika berbicara.
Mungkin dari sekian manusia di dunia ini, yang selalu siap mendengarkan omonganku yang kaku hanyalah mereka, keluarga kecilku, yang beranggotakan mama, papa, dan kakak perempuanku. Mereka selalu siap mendengarkan keluh kesahku tiap aku menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.
Papa yang selalu memberikan nasihat padaku, mama yang selalu menenangkanku, dan kakak perempuanku yang selalu mendukungku, itulah kebahagiaan kecilku yang kudapat jika pulang ke rumah, di saat manusia-manusia di luar menyudutkanku.
Aku senang dan bersyukur bisa hidup di tengah-tengah mereka, atau lebih tepatnya, aku bahagia, sangat bahagia bisa terlahir di antara mereka. Aku selalu menginginkan hari-hari di mana kami selalu berkumpul di halaman rumah, membahas sesuatu yang ringan hingga tertawa terbahak-bahak, melupakan segala sesuatu yang menyesakkan. Makanya, jika hari libur sekolah tiba, aku selalu menikmatinya di tiap-tiap harinya dan jika guruku menyuruhku untuk membuat pengalaman di hari libur, maka akulah satu-satunya murid yang menulis cerita hingga berhalam-halaman membahas kisah liburanku yang menyenangkan.
Namun, itu kemarin. Sekarang, yang kulihat adalah gumpalan mayat mereka yang terbujur kaku di lantai rumah, tepat di hadapanku, mereka seperti bangkai tikus yang ditumpuk-tumpuk untuk dilenyapkan. Aku kaget, tak bisa berkata apa-apa. Seingatku, di jam delapan malam ini, aku izin pergi untuk membeli makanan ke supermarket pada keluargaku dan mereka mengingatkanku untuk tidak pulang terlalu larut.
Aku menepatinya. Hanya dua puluh menit, dan setelah sampai di rumahku, aku terkejut. Lampu-lampu rumah tiba-tiba padam dan pintu depan terbuka begitu saja, lantas, ketika aku masuk, pemandangan mengerikan ini langsung tersaksikan secara langsung. Walau situasinya sedang gelap gulita, tapi aku bisa tahu kalau ada darah dimana-mana, berceceran hingga ke dinding dan atap, seperti ada yang menebas mereka menggunakan kapak atau pedang, tapi, tubuh mereka tidak terpotong-potong, itu artinya, bukan ditebas oleh pedang ataupun kapak.
Aroma darah menyeruak ke dalam hidungku, membuatku sedikit mual ingin muntah, dan suara decitan kaki seseorang yang berjalan semakin memdekat membuatku waspada, karena aku yakin, pembunuh keluargaku masih hidup di rumah ini. Dia masih berada di sekitarku.
Aku tidak mau menjadi korban berikutnya, apa aku harus lari meninggalkan mama, papa, dan kakak untuk menyelamatkan hidupku? Atau tetap tinggal di sini, menghadapi pembunuh gila untuk melindungi mama, papa, dan kakak?
Aku bingung. Benar benar bingung. Untuk mengambil keputusan saja aku tidak bisa. Seluruh tubuhku bergetar, hawa dingin menggelitiki kulitku dengan kengerian. Udara di rumahku menjadi sangat dingin, mungkin penyebabnya karena kehadiran sang pembunuh.
Dan tibalah, sebuah bayangan seseorang yang sedang berdiri selangkah lebih jauh dariku, jika dilihat dari sini, dia seorang pria yang mengenakan pakaian ketat, ah tidak, itu pasti setelan jas. Lalu, cahaya bulan mulai masuk ke celah-celah, menyinari ruangan yang dihuni olehku, dan secara menyeluruh, akhirnya aku dapat melihat wujud sang pembunuh dengan lengkap, dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku menyimpulkan kalau dia hanyalah seorang kakek-kakek.
Tapi mengapa? Mengapa seorang kakek-kakek sepertinya membunuh keluargaku? Aku tak bisa mengakui ini semua. Dia juga tak terlihat membawa senjata apa pun, tapi mengapa! Mengapa ini semua bisa terjadi?
"Kenapa," ucapku rapuh. "Kenapa kau membunuh mereka?"
"Semua ini atas dasar cinta, Olivia."
"Darimana kau tahu namaku dan tempat tinggalku?" tanyaku sedikit takut.
"Aku mengetahuinya karena kau yang memberitahuku, Olivia."
"Aku tidak pernah ingat pernah memberitahu informasi pribadiku pada orang asing sepertimu!"
"Percayalah, kau akan mengingatnya sebentar lagi."
"Apa yang harus kulakukan pada mayat-mayat keluargaku ini? Aku tak kuat melihatnya!"
"Biar kubantu, aku bisa menghanguskan mereka dengan jentikan jari agar kau tak perlu repot-repot mengangkut mereka ke pemakaman, Olivia."
"Me-Menghanguskan mereka, kau bilang?"
"Aku akan menghargainya jika kau menyetujui usulanku, Olivia."
"Tidak! Aku tidak mengizinkanmu! Berhenti membuat mereka tersiksa lebih dari ini, Kakek Gila!"
"Kau belum tahu namaku rupanya, baiklah, ingat ini, namaku adalah Roselied, aku seorang iblis dari Neraka yang datang ke Bumi karena perintah Tuhan."
"Pe-Perintah Tuhan kau bilang!?"
"Betul, aku ditugaskan untuk menjadi gurumu."
"Guru!? Apa maksudmu!"
"Aku akan mengajarimu berbagai hal tentang bejadnya kebiasaan manusia dalam hidup. Ah, sebelum itu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
Aku tercekat seketika, ini sama sekali tidak terpikirkan olehku, dia, dengan santainya, mengatakan kalau dia sudah mengenalku dan merupakan iblis dari Neraka yang ditugaskan untuk menjadi guruku? Konyol sekali. Bahkan, aku tidak bisa tertawa mendengar ucapan santai dari kakek b******k itu.
Dia, setelah kulihat-lihat, tidak ada rasa bersalahnya sama sekali telah menghabisi nyawa anggota keluargaku! Sebaliknya, Kakek Roselied ini malah mengajakku ke suatu tempat dengan wajah tenangnya.
Sudah cukup, hentikan omong kosong ini. Aku sudah tak tahan lagi!
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi dari sudut pandangku, kau adalah seorang b******n!" Aku langsung meraba-raba meja hiasan yang berada tepat di samping tempat berdiriku, dan ketemu, aku menemukan benda-benda hiasan yang terbuat dari batu. Langsung saja kupegang dan kuraih benda itu dan kulemparkan ke arah Kakek sialan itu.
BRUK!
Dia berhasil menghindarinya, yang membuat dinding di belakangnya terkotori oleh hiasan batu yang terpecah belah. Masih belum, aku harus bisa membuatnya merasakan bagaimana rasa sakit ketika dibunuh oleh orang lain. Kakek itu harus menanggung balasannya.
"Tenanglah, Olivia--"
"BERISIK KAU, KAKEK SIALAN!"
Teriakanku memecahkan keheningan di rumah ini dan sempat memotong ucapannya, aku sudah tak bisa mengontrol emosiku dengan baik, semuanya sudah keluar, dan ini sudah terlanjur sakit. Karena itulah, mulai detik ini,
Aku akan membunuhnya.
Mataku melotot dengan sempurna, gigiku bergemeretak saling tindih, dan pernapasanku mulai kembang kepis tak karuan, keringatku bercucuran, membasahi pakaian yang kukenakan, dan air mataku pun ikut jatuh ke lantai, mengalir dan menyatu dengan darah dari keluargaku di lantai yang dingin itu.
Sekarang, di meja hiasan, masih terdapat hiasan-hiasan yang terbuat dari batu, tapi aku pikir, menyerangnya dengan benda dan cara yang sama hanya akan membuatnya bosan. Jadi, terpaksa, aku akan menyerangnya menggunakan tongkat bisbol papa yang menggantung di dinding.
Setelah kuambil tongkat itu, ternyata berat sekali, tapi tidak apa-apa, walau berat, setidaknya, benda ini bisa digunakan untuk menghabisi kakek gila itu sampai mati!
"Olivia Glair," tiba-tiba Kakek gila itu berkata, "aku tidak keberatan dengan sikapmu yang hendak membunuhku, tapi biar kuberitahu kau satu hal, aku ini abadi."
"A-Abadi," Aku tergopoh-gopoh membawa tongkat bisbol itu sambil kaki berjalan mendekati kakek itu dengan pelan. "Lalu, memangnya kenapa?"
"Tentu saja aku tidak bisa mati, Olivia."
"Jika belum dicoba," Setelah kami sudah mulai berdekatan, aku langsung meloncat dan tanganku kuangkat tinggi-tinggi hendak menghantamkan pemukul bisbol ini pada kepalanya. "Kita tidak tahu, kan?"
BUCRAT!!!