Cup "Terima kasih." Mematung, tak bisa bergerak. Rasanya semua syarafku gagal mengirimkan impuls ke otak hingga aku menjadi telat berpikir. Apa yang baru saja Aruna lakukan? Dia mencium pipiku? Aku pun menoleh dan menatapnya heran. "Aku ... hanya melakukan hal yang kusuka." Kutatap dirinya dengan pipinya memerah. "Ayo kita makan," lanjut Aruna. Makanan ini sangat enak, namun tangan dan lidah ini terlalu kaku untuk berkoordinasi agar menyuapkannya ke dalam mulutku. Suapan demi suapan, kunyahan demi kunyahan, kami telah menghabiskan makanan tanpa bersuara. Hanya dentingan alat makan dan cecapan saat menelan yang terdengar. Kembali hening, kami melalui waktu berdua dalam kecanggungan. Seperti yang kulakukan tadi siang, aku mengambil piring-piring kotor dan merapikan kembal