Sang Primadona

1063 Words
Hutan larangan itu adalah hutan Asih, tempat di mana Mbok Ati meninggal. Setelah Ariya dan Aksan bisa keluar dari hutan, segera keesokan harinya Ariya mencari rumah Mbok Ati. Gadis itu ingin menepati janjinya. "Uang yang di simpan di atas plafon adalah uang yang ditabung oleh Mbok Ati selama ia bekerja sebagai peracik obat. Ia menabung uang itu untuk membiayai kuliah Anda, Kak Siti," ucap Ariya. Tanpa terasa setetes bulir bening mengalir di pipi perempuan bernama Siti. Ia memang pernah mengutarakan jika ingin kuliah di luar kota pada sang ibunda. "Saya akan membuktikan bahwa ucapan saya benar adanya," ucap Ariya lagi seraya masuk ke dalam rumah itu dan diikuti oleh Siti yang terdiam. Ariya menuju ke arah kamar Mbok Ati, ia tahu semua karena saat ini arwah Mbok Ati berada bersama dengan dirinya. Ia naik ke atas ranjang bambu dan berusaha untuk membuka plafon. Ia berhasil, tangannya dengan lincah mencari sesuatu di antara sela-sela plafon yang terbuat dari kayu. Tak butuh waktu lama, ia menemukan sebuah plastik hitam di sana. Ariya membawa plastik itu pada Siti. "Ini. Bukalah, ini adalah hak Kakak," ucap Ariya. Siti menerima plastik hitam dengan tangan bergetar. Perlahan, ia mulai membuka plastik itu. Sontak saja air matanya tak bisa ia tahan saat melihat tumpukan uang berjumlah ratusan lembar berwarna merah di sana. Ia tak menyangka jika sang ibu meninggalkan sesuatu yang sangat berharga baginya. "Ibu! Ibu! Siti kangen," ujar Siti sembari menangis sejadinya. Ariya hanya menatap iba. Mbok Ati yang sedari tadi melihat Siti menangis segera memeluk tubuh putrinya walau jelas itu tak akan terasa oleh Siti. "Janjiku sudah usai." Gadis itu bergumam. Ia pun melangkah pergi meninggalkan rumah Mbok Ati setelah semua janjinya terpenuhi. *** Setibanya di rumah, Dewi, ibu Aksan tampak menunggu Ariya dengan wajah yang penuh kesal. “Siang, Bu Dewi!” sapa Ariya dengan senyumnya yang alami. “Kamu ya, Riya! Lain kali jangan ajak-ajak anak-anakku main ke hutan. Aku jadi sangsi kalau kamu ini anak angkat Mas Andre. Jangan-jangan kamu ini anak kandung Mas Andre. Jangan-jangan ibu kamu yang menyebabkan aku dan Mas Andre bercerai!” kesal Dewi. “Enggak, Bu! Aku gak pernah ajak Kakak ke hutan, “ jawab Ariya. Segera Dewi meninggalkan Ariya sendirian di teras rumahnya. Sementara Ariya hanya terdiam dan masuk menuju kamarnya. “Ariya, kemasi barang-barangmu. Hari ini Ayah akan jemput kita!” Suara Aksan yang terdengar lantang. “Kak, aku ikut kakak, ya?” sahut Nindia adik Aksan. “Nanti saja kalau kamu sudah duduk di bangku SMU, kamu bisa ikut kakak. Sekarang kamu temani dulu ibu, ya!” pinta Aksan. “Ariya saja boleh ikut tinggal bersama kalian kenapa aku tidak boleh, Kak!” rengek Nindia dengan menatap sinis ke arah Ariya. “Kasihan Ibu Dik! Kakak janji kalau sudah dapat pekerjaan, akan bawa kamu ke kota,” rayuan Aksan tak membuat Nindia diam. Gadis itu sudah lama ingin ikut sang kakak ke kota. Akan tetapi, Nindia adalah putri Dewi dengan suami barunya, yang membuat mereka harus terpisah. “Kakak lebih sayang Nindia atau Ariya? Kalau kakak tidak membawaku , kakak juga tidak boleh ajak Ariya. “Nindia tidak boleh seperti itu!” *** Clara yang kini tinggal sendirian di rumah belum bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah ia geluti selama lima belas tahun. Sementara Ariya yang telah tinggal di ibukota selama lima tahun lamanya belum pernah mengunjungi ibunya sama sekali. Semua itu bukan Ariya yang mengharapkan, tetapi semua ini demi kebaikan Ariya agar menjauh dari kehidupan kotor yang pernah ia tinggali. “Clara!” teriak Dinda teman selokalisasi. “Iya, sebentar!” sahut Clara dari dalam rumah. Clara beranjak dari ranjangnya dengan langkah yang gontai ia menuju ke pintu. Wajahnya yang masih comel dan rambutnya yang masih kusut Clara berdiri di depan pintu. “Pagi-pagi sudah bangunin orang saja kamu Dinda. Gak liat orang capek apa!” keluh Clara dengan wajahnya yang cemberut. “Ada Job buat kamu nanti malam. Kata Mami kamu harus pakai pakaian yang sudah disiapkan Mami. Nanti Bang Alex yang akan bawa.” Dengan mengambil sebatang rokok yang Dinda bawa sedari tadi lalu ia menawarkan rokok itu kepada Clara. “Kenapa bukan kamu saja, hari ini aku capek banget pengen istirahat! Belum lagi yang semalam gak tau diri.” Ha-ha-ha “Kamu ini kaya anak baru saja, banyak ngeluh. Kata Mami yang ini nanti duitnya banyak. Kamu di suruh menemaninya selama tiga hari. Pukul tiga nanti kamu di jemput Alex,” ucap Dinda seraya pergi. “Aissst!” keluh Clara. “Jangan lupa perawatan, sekalian ke dokter minta obat!” seru Dinda yang telah berjalan dengan melenggak-lenggok ke depan. Baru dua jam yang lalu Clara pulang dan tidur di rumah. Namun, kali ini ia tidak akan bisa menikmati istirahatnya. Dengan mengenakan piyama bermotif batik, Clara mengambil tas yang tergelatak di meja dan berjalan ke luar untuk melakukan perawatan tubuh. “Bram! Antarin ke salon langgananku,” pinta Clara ketika bertemu dengan pria yang berprofesi sebagai tukang parkir. “Siap, Mbak Clara! Mbak ini hampir tiap hari ke salon laris manis ya, Mbak. Kalau bisa jaga kesehatan, Mbak!” tutur Bram yang hampir setiap hari mengantar Clara. “Biasa, Mami gak kasih aku libur!” jawabnya singkat. Setibanya di salon, Clara melakukan perawatan hingga sore hari. Dengan mengenakan dress pendek di atas lutut berwarna biru muda, Clara yang masih berusia tiga puluh tahun masih tampak terlihat cantik dan muda. Wanita ini selalu tampil dengan elegan, rambut panjangnya yang terurai dengan japitan rambut berbentuk mawar merah itu terselip dengan begitu indahnya. Riasan yang natural dengan olesan lipstik di bibirnya membuat semua mata yang memandang terfokus kepadanya. Banyak pria yang ingin memilikinya, tetapi ia lebih memilih menjadi artis kupu-kupu malam. Honda Brio hijau terparkir di halaman penginapan edelweis telah siap mengantarkan sang primadona. “Sore, Mbak!” sapa Alex yang dengan begitu tampannya menunggu Clara. “Cantik sekali kamu Clara! Andaikan aku memiliki uang banyak akan aku tebus kamu dari sini dan menjadi istriku,” gumam Alex sembari tangan membuka pintu mobil. “Makasih Alex!” ucap Clara tersenyum. “Cantik sekali Clara, andai saja kamu bisa kumiliki!” goda Alex dengan wajahnya menatap Clara. Sementara itu, Clara yang mengetahui cinta terpendam Alex, tiba-tiba saja mengecup bibir pria itu. “Bayaran kamu hari ini.” Alex yang mendapatkan kecupan pun menarik kepala Clara dan mencium bibirnya. Clara yang mendapatkan serangan pun hanya bisa terdiam sesaat hingga akhirnya Ia melepaskan bibirnya secara perlahan. "Habis ntar lipstikku," ucap Clara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD