Meninggalkan Lokalisasi

1380 Words
Andre ingin mengadopsi Ariya sebagai anaknya. "Clara, apa kamu mengizinkan jika saya mengadopsi Ariya sebagai anak saya? Saya akan menjaganya agar keluar dari lingkup pelacuran, saya akan menjaga dirinya," pinta Andre. Manik mata Clara berkaca-kaca. "Benarkah?" tanyanya tak percaya. "Saya akan menjaga Ariya dengan segenap hati saya dan akan menganggapnya sebagai anak sendiri. Saya merasa bersalah, maka dari itu saya akan berjanji akan memenuhi kebutuhan Ariya," ujar Andre. "Baiklah, saya akan mengizinkan Ariya untuk tinggal bersama dengan keluarga Anda, saya rasa dia akan lebih bahagia jika tinggal di sana dari pada di sini yang penuh dengan kemaksiatan," ucap Clara. "Kamu mau kan Ariya?" tanya Clara pada putrinya. Manik mata Ariya berkaca-kaca. "Bagaimana dengan Mama?" tanyanya. "Tidak apa-apa, Nak. Mama akan baik-baik saja. Selama kamu bahagia, mama juga akan bahagia." Clara membelai pelan rambut Ariya. "Mau, kan?" tanyanya lagi. Ariya tak menjawab. Ia hanya mengangguk tanda setuju dengan sang Mama. Clara yang baru mengenal Andre tiba-tiba saja percaya dengan perkataan pria itu tanpa berpikir panjang. "Anak pintar, di sana kamu tidak boleh merepotkan Om Andre, ya." Clara tersenyum. "Iya, Ma," jawab gadis itu dengan tatapan sendu. "Terima kasih, Clara. Kalau begitu, saya akan membawa Ariya hari ini juga. Kamu boleh bertemu dengan dirinya kapan saja kamu mau. Ini alamat rumah saya," ucap Andre sembari menyerahkan secarik kartu nama. "Harusnya saya yang berterima kasih karena sudah membantu Ariya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik," ucap Clara. "Tidak apa-apa. Dia akan menjadi tanggung jawab saya," ucap Andre. Ariya yang mendengar ibunya menyerahkan dirinya kepada pria asing akhirnya menyetujui permintaan sang ibu. Walaupun berat hati, tapi ini demi kebaikan Ariya, sehingga gadis itu pun berdiri untuk menyiapkan pakaian yang akan ia bawa. "Iya, Ma," jawab Ariya sembari melenggang pergi menuju kamarnya. Gadis itu tiba di kamar, ia melihat ke seluruh penjuru ruangan sembari berpikir bahwa sebentar lagi ia akan meninggalkan rumah masa kecilnya. Ada rasa sedih di hati Ariya karena harus meninggalkan sang Mama seorang diri. Akan tetapi, Clara sendiri yang menyetujui adopsi itu, sehingga ia tak bisa menolak dan membuat sang Mama sedih akan keputusannya. Ariya berjalan ke arah lemari, ia membuka lemari tua dan mengeluarkan red ransel miliknya. Gadis itu dengan cekatan memasukkan beberapa potong baju, mukena, Al-Qur'an, dan juga sebuah foto Clara. Hanya dalam lima belas menit Ariya telah siap kerena barang Ariya hanya berupa baju dan seperangkat alat salat sehingga hanya membutuhkan satu ransel saja. Ia segera keluar dari kamar dan menuju orang tua angkatnya dan juga sang Mama. "Sudah siap?" tanya Andre. Ariya mengangguk. "Sudah, Om." Gadis itu menjawab karena ia belum terlalu terbiasa. "Baiklah, kami akan pergi sekarang, Clara," ucap Andre. "Baiklah, hati-hati di jalan," ucap Clara menahan air matanya. Andre segera menggandeng tangan Ariya dan keluar dari rumah Clara. Ia memasukkan Ariya ke dalam sebuah mobil miliknya. Tak berapa lama, mobil itu pun melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya menuju rumah Andre yang berada di ibukota. Selama di perjalanan. Ariya tampak diam, ia tak berani untuk membuka suaranya. Hingga Andre harus mengawali pembicaraan agar keadaan tak menjadi canggung. "Ariya, usia kamu berapa?" tanya Andre berusaha mencairkan suasana. "Usiaku, mau dua belas tahun, Om," jawab Ariya lirih. Andre tersenyum. "Mulai sekarang, kamu panggil Om dengan sebutan Ayah, ya?" pinta Andre. "Iya, Ya--yah," jawab Ariya terbata-bata. Andre hanya tersenyum mendengar ucapan Ariya yang sepertinya masih sangat kaku. Wajar, karena mereka hanya bertemu dua kali setelah hari kecelakaan itu dan saat ini, tetapi hari ini ia sudah mengadopsinya menjadi seorang anak. Tentu saja Andre mengerti jika Ariya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Ia tak sabar untuk memberitahu Aksan, anak tunggalnya tentang Ariya yang akan menjadi keluarga baru mereka. Enam jam perjalanan mereka tempuh sebelum akhirnya tiba di sebuah rumah, suasana sejuk seketika menyambut Ariya begitu ia keluar dari dalam mobil. Rumah ini adalah milik dari keluarga Andre, rumah bercat hijau yang menambah kesan menyejukkan terasa begitu nyaman. Terlebih, pohon dan tanaman bunga yang sengaja ditanam di halaman rumah membuat udara di sekitar rumah menjadi segar. Manik mata Ariya meneliti setiap tanaman yang hidup di sekitar rumah. Namun, pandangannya teralihkan pada sebuah pohon besar yang hidup di belakang rumah. Ia merasa ada sesuatu di belakang sana. Akan tetapi, ia tak bisa melihat makhluk apa yang bersemayam di pohon itu. "Ariya, kok diam? Ayo masuk," ajak Andre pada gadis itu seraya membawanya masuk ke dalam rumah yang berukuran cukup besar. "Kamu duduk di sini dulu, ya! Ayah akan panggilkan Kak Aksan, kakak baru kamu," ucap Andre. "Iya, Om. Eh, Yah," jawab Ariya gugup. Andre segera menuju kamar anak lelakinya. Ia memanggil satu-satunya putra yang ia cintai dan menyuruh pemuda itu untuk menemui adik angkatnya. Tak lama, Andre dan Aksan datang secara bersama dan mendekat ke arah Ariya yang terdiam di sofa. "Ariya, ini kenalkan, Aksan. Dia akan menjadi kakak kamu," ucap Andre dengan mengulurkan tangan kanannya. "Aksan," ucap pemuda itu cuek. Aksan adalah tipe pemuda dingin, ia tak begitu suka dengan kedatangan Ariya ke dalam rumah ini. Sendiri adalah hal terbaik menurut pemuda yang usianya lima tahun di atas Ariya. "Aku ... Ariya, Kak," ucap Ariya memperkenalkan diri. “Ayah berharap kalian bisa menjadi saudara yang saling menyayangi." Andre tersenyum lebar. "Iya, Yah. Aku ke kamar dulu," ucap Aksan sembari meninggalkan kedua orang itu di ruang keluarga. "Ariya, ayo antar ke kamar kamu." Andre membawakan ransel milik Ariya. Mereka pun menuju kamar yang ada di sebelah kamar milik Aksan yang kini akan menjadi milik Ariya sebagai anggota baru keluarga ini. *** Malam pun tiba. Udara dingin begitu terasa, semilir angin malam memasuki jendela kamar yang sengaja Ariya biarkan terbuka. Suara burung dan binatang malam terdengar begitu jelas hingga menambah kesan sunyi di rumah ini, terlebih banyaknya pohon rindang yang hidup membuat mahluk halus senang berada di antara pepohonan. Ariya terhenyak saat Andre memanggilnya. Ia pun segera keluar dari kamar dan menuju sumber suara. Rupanya Andre telah menyiapkan makan malam untuk kedua anaknya. Ia segera menyuruh Ariya dan Aksan untuk segera menyantap hidangan malam ini. Dari apa yang Ariya lihat, Aksan adalah tipe pemuda pendiam yang tak suka banyak bicara. Maka dari itu, Ariya memilih untuk tak banyak bertanya padanya. "Ariya, Aksan. Kalian bisa kan di rumah sendiri? Papa mau pergi sebentar, ada urusan pekerjaan. Aksan kamu jaga Ariya, ya," pinta Andre pada putranya. "Iya, Pa." Aksan menjawab seadanya. "Habiskan makan malamnya. Papa pergi dulu," pamit Andre seraya meninggalkan kedua putra dan putrinya di rumah. Makan malam terasa hening. Hanya terdengar suara dentingan piring dan gelas. Cukup lama mereka terdiam sebelum akhirnya Aksan membuka suaranya. "Ambilkan air," perintah Aksan pada Ariya dengan nada tak suka. Gadis itu tersentak kaget. Buru-buru ia menyanggupi permintaan kakak angkatnya. "I-iya, Kak." Gadis itu menjawab dan segera menuju dapur yang berada di belakang. Ariya segera mengambil air di gelas untuk sang kakak. Akan tetapi, pandangan Ariya teralihkan pada jendela yang di biarkan terbuka. Hembusan angin dan udara dingin menerpa dirinya yang berada di dalam dapur. Manik mata gadis itu menatap tajam ke arah luar, ia dapat merasakan sesuatu janggal di luar ruang ini. Aura kelam begitu kental terasa, wewangian khas para lelembut tercium semerbak. Ariya mematung, ini bukan pertama kalinya ia merasakan hal seperti ini. Rada penasaran seketika merasuk ke dalam tubuhnya. "Apa itu tadi?" tanyanya kebingungan. Udara dingin menyebar di sekitar tengkuk, gadis itu kedinginan. Ia menelan ludahnya beberapa kali saat melihat bayangan seram di pohon tua itu. "Aaarggghh!" pekik Ariya saat tiba-tiba wajah mengerikan muncul dari balik kaca jendela. Wajahnya telah busuk, hingga perlahan kulit mulai terlepas menyisakan daging hitam bercampur dengan cairan kental berwarna kehitaman dan jangan lupakan belatung kecil yang menari di atas setiap luka itu. "Hihihi!" Tawa arwah dengan wajah tak karuan. Tangan arwah itu menempel di kaca jendela hingga darah serta belatung yang ada di telapak tangannya ikut tertempel di kaca dengan membentuk sebuah telapak tangan. Manik mata Ariya membulat sempurna. Ia terkejut setengah mati karena kemunculan sosok arwah yang membuat jantungnya berpacu dengan sangat kencang, sedangkan napasnya terengah-engah. Peluh menetes dari wajah Ariya, ia tak pernah terbiasa dengan penampakan seram seperti ini. "Aku mohon, tolong aku." Arwah gadis itu meminta dengan manik mata berkaca-kaca. Namun, Ariya terlalu takut. Tubuhnya bergetar hebat. Perlahan, gadis itu melangkah mundur untuk menjauhkan diri dari jendela dapur. "Tolong aku! Tolong." Lagi dan lagi sosok gadis arwah itu meminta kepada dirinya. Ariya menggeleng cepat. "ma-maaf." Gadis itu berucap lirih. Ia tak bisa membantu sosok-sosok gaib itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD