“Ema ... Ema!” Suara teriakan memanggil Ema. Namun tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan gadis berambut panjang dan ikal itu.
Ariya masih berkonsentrasi untuk mengetahui keberadaan Ema, ia menduga menghilangnya Ema karena hal mistis. Sementara Pembina dan beberapa temannya sudah berjalan jauh di depan Ariya, sedangkan gadis itu masih mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
“Ariya! Kamu kenapa di situ. Nanti kamu ikut hilang seperti yang lain,” panggil Dimas Kakak kelas Ariya.
“Iya, Kak.”
“Ayo cepat kita susul mereka sebelum lampu minyak di sini mati,” ajak Dimas dengan menarik tangan Ariya.
Terpaksa konsentrasi Ariya pun buyar. Kini Dimas dan Ariya yang tertinggal di belakang menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi tanaman pinus. Senter yang mereka gunakan pun mulai redup.
“Kak, senter aku!” seru Ariya mengguncangkan senter berharap bisa menyala.
“Sudah pakai senterku saja,” ucap Dimas dengan menarik tangan Ariya untuk membawanya mendekat.
Dengan bergandengan tangan mereka berlari kecil walau hanya dalam penerangan satu senter, berharap bisa segera bergabung dengan team yang lain.
Namun tiba-tiba, Ariya melihat sebuah bambu yang tiba-tiba mentiung ke bawah setelah mereka melewatinya.
“Baru tahu aku, kalau ada pohon bambu di antara hutan pinus.” Ariya segera melepas pegangan tangan Dimas dan berbalik arah menuju pohon bambu.
“Riya!” seru Dimas.
“Kak, ada tali kah?” tanya Riya tanpa menatap wajah Dimas.
“Untuk apa!” seru pria itu dengan penuh rasa penasaran.
“Nanti aku jelaskan. Tolong bantu cari Kak!”
Tas pinggang berwarna coklat milik Dimas menyimpan tali rotan yang tidak begitu panjang.
“Ini, cukup!”
“Alhamdulilah cukup, Kak!”
Ariya mengambil tali yang berada di tangan Dimas, dan mengikat ujung pohon bambu tersebut dengan tali simpul. Tiba-tiba saja ada suara mengerang yang membuat Dimas kaget.
“Suara apa itu!”
“Kakak, tidak perlu takut,” ucap Ariya.
Suara yang tadinya lirih kini semakin keras terdengar, jeritan minta tolong terasa menggema. Sosok penghuni bambu itu menangis.
“Lepaskan, tolong lepaskan aku.”
Ariya hanya terdiam, sementara Dimas ketakutan dan bersembunyi di balik gadis itu.
“Aku akan melepas ikatan itu, asal kau beri tahu kami di mana keberadaan temanku.”
“Aku tidak pernah menyesatkan temanmu. Dia sendiri yang salah jalan.” Sosok gendruwo itu terperangkap dalam ikatan pada bambu.
Bambu mentiung, adalah bambu berpenghuni makhluk gaib terkadang mereka sengaja meniungkan bambu untuk mengganggu siapa saja yang melintas.
“Ariya dari mana kamu tahu ini semua?” tanya Dimas yang masih ketakutan mendengar suara tanpa wujud itu.
“Dari acara televisi,” jawab Ariya.
“Lepaskan aku anak kecil!” teriakan itu membuat Dimas kaget dan ketakutan.
“Kak Dimas! Kakak tidak apa-apa?”
“Ri-Riya, ayo pergi dari sini!” ajak Dimas dengan gugup.
“Aku akan melepas ikatan ini tapi beritahu aku di mana temanku berada!” teriak gadis berambut lurus itu.
Kesepakatan pun terjadi, Ema yang menghilang begitu saja ternyata tersesat. Jalan yang harus ia lalui terhalang bambu yang tiba-tiba melengkung menghalangi jalan. Ia tersesat hingga terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ariya dan Dimas masih mencari keberadaan Ema tanpa memanggil yang lain. Jalan yang mereka tempuh sangatlah gelap, suara binatang malam pun semakin nyaring terdengar.
“Ema ... Ema!”
“Sebaiknya kita memanggil bantuan,” ucap Dimas.
“Baiklah, Kak!”
Ariya pun menyetujui. Namun, ketika beberapa langkah, terdengar suara memanggil lirih namanya.
“Kak, kakak dengar tidak?” tanya Ariya menghentikan langkahnya.
Mereka berdua terdiam sesaat, berharap suara itu terdengar kembali.
“Ri ... ya!’’
“Kak itu suara Emma. Ayok kita cari.”
Emma yang terkilir kakinya tak dapat melanjutkan perjalanannya.
“Dimas ... Ariya ... Ema!”
“Kami berada di sini!” Dengan lantang Dimas berteriak.
Beberapa bantuan akhirnya berdatangan, mereka membawa Ariya dan teman-temannya menuju perkemahan! Sementara Emma di larikan ke rumah sakit terdekat.
***
“Clara, nanti malam ada yang menunggumu di Hotel Bollywood,” sapa Dinda, teman sekomplek Clara.
“Siapa, Dinda. Yang sudah boxing aku?” Clara mengernyitkan dahi lantaran dua hari ini dia kelelahan menemani bos kayu dari kota Balai Kambang.
“Katanya, sih, dia pengusaha muda dari pulau seberang. Mami bilang dia masih perjaka dan meminta kamu untuk mengajari dan memuaskannya.” Dinda berdiri dan menepuk bahu Clara sembari melangkah keluar kamar.
“Jangan bilang kalau dia lelaki lemah, Din!” seru Clara. Namun, Dinda berlalu tanpa menjawab.
Malam pun menjelang, pertemuan yang dijanjikan di hotel, berubah haluan. Selembar kertas bertuliskan alamat rumah, Mami berikan kepada Clara.
Tanpa Alex kini Clara harus pergi sendirian. Dengan menaiki taxi berwarna merah muda wanita muda ini meluncur ke lokasi.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Clara yang kelelahan harus menerima kenyataan bahwa pria yang ia kencani malam ini adalah pria psyco. Clara yang tak tahan dengan perlakuan kasarnya, mencoba melarikan diri.
“Tolong jangan kasar!” teriak Clara.
Namun pria itu hanya tertawa. Sikap menyimpang yang ia lakukan seakan dipenuhi dengan dendam.
“Lepaskan saya sudah gak kuat lagi.” Tamparan yang keras justru Clara dapatkan.
“Aku sudah membayarmu, mahal.”
“Tapi,” sahut Clara.
Pria muda berhidung mancung itu pun menyeret Clara. Wanita muda itu memukulnya dengan keras tepat di kepala.
Darah pun mengalir dari pria yang meninggalkan memar di badan Clara. Segera ia berlari keluar mencari pertolongan.
Jalanan sangat begitu sepi karena letak rumah yang di datangi Clara terletak di pinggiran kota berada jauh dari pemukiman.
Pelarian Clara tak berhasil dengan baik, di tengah jalan ia telah dihadang para preman yang bekerja dengan si bos Psyco yang bernama Paul. Paul menarik rambut Clara dan menggiringnya masuk ke rumah.
Rafka yang melewati jalanan sepi, melihat Clara yang tengah diseret paksa oleh Paul. Rafka pun meminta sopirnya berhenti. Tanpa banyak tanya ia hanya meminta kepada Paul untuk melepaskan wanita yang bersamanya.
“Ampun! Lepaskan saya!”
Rafka yang tak tahan melihat perilaku pria itu akhirnya geram juga, dan mereka kini sedang berkelahi.
Sopir Rafka yang ternyata seorang ajudan berhasil membawa pergi Clara ke dalam mobil. Saat musuh sedang lengah, Rafka segera masuk ke mobil dan meminta Alvian sang ajudan untuk naik.
Clara hanya bisa menangis, sementara Rafka yang sedang menyetir mencoba bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu saya bawa ke kantor polisi, ya?"
"Untuk apa, Pak?" tanya Clara yang masih dalam isak tangisnya.
"Kamu harus melaporkan diri!" seru Alvin.
Clara yang takut jika identitasnya terbuka, memilih untuk tidak melaporkan. Oleh sebab itu Rafka membawa Clara ke rumah sakit.
Setelah mendapatkan perawatan, Rafka dan Alvin segera pergi meninggalkan Clara.
"Bapak juga terluka, kenapa tidak diobati terlebih dahulu."
"Tidak usah, Vin. Kita terburu-buru." Rafka berucap sembari tangannya memegang lengan kanan.
"Baiklah, Pak. Besok ada rapat pagi hari, semoga kita bisa merawat luka bapak terlebih dahulu."
Segera Alvin dan Rafka pun pergi meninggalkan Clara setelah berpamitan.