Ariya Sakit Jiwa

1013 Words
Sang Ayah masih tak percaya dengan perkataan putrinya. Bahkan ia tak tahu bahwa Dukun yang telah ia undang adalah dukun palsu. Beberapa arwah gentayangan tengah berkumpul tanpa Adi dan Mbah Aryo sadari. Salah satu arwah itu pun meniup tengkuk sang dukun hingga sekujur tubuh Mbah Aryo tiba-tiba merinding. Lelaki itu terdiam, wajahnya pucat, ia ketakutan. Akan tetapi, ia tak menyerah dan kembali mencipratkan air suci ke seluruh ruangan. Niat jahil para arwah kecil itu pun bangkit, mereka mengelilingi dukun itu hingga udara di sekitar sang dukun menjadi sangat panas. Mbah Aryo segera beralih tempat karena ia merasakan ada sesuatu yang mengganggunya. Ia sedikit bergetar karena tahu ada makhluk gaib asli bukan karangannya di sekitar dirinya saat ini. Namun, saat Mbah Aryo hendak mencipratkan air lagi, salah satu arwah bocah menarik kendi itu hingga jatuh berantakan. Kendi itu hancur, hingga air suci yang ternyata adalah air kran itu pun menggenang di lantai rumah. Wajah Mbah Aryo seketika berubah pucat, mungkin ia terkejut karena tiba-tiba saja kendi itu jatuh tanpa sebab. Ia berusaha bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Namun, sikap Mbah Aryo telah ditangkap oleh Ariya. "Ah, sepertinya makhluk di rumah ini cukup kuat, saya butuh ketenangan dan juga waktu," ucapnya berpura-pura. Ariya tersenyum mendengar ucapan sang dukun abal-abal. Ia mendekat ke arah sang dukun dan mengambil pecahan kendi itu dan menyerahkannya ke Mbah Aryo. "Mbah ini, dukun abal-abal, ya?" tanya Ariya langsung. Sontak saja pertanyaan itu membuat dukun terkejut bukan main. "Hei, seenaknya sendiri kamu berbicara!" bentak Mbah Aryo menutupi kebohongannya. "Ariya! Kamu kurang ajar! Berani sekali kamu berbicara seperti itu!" bentak Adi. Ariya mundur selangkah. "Apa buktinya kalau Mbah ini orang indigo?" tanya Ariya seolah menantang pria paruh baya itu. "Sepertinya kamu meremehkan aku, Anak Kecil," ucapnya, "aku akan menerawang dirimu," ujar Mbah Aryo. Pria itu mengarahkan dari tangannya ke arah Ariya. Kelopak matanya terpejam, dengan mulut berkomat-kamit layaknya membaca sebuah mantra. Cukup lama Mbah Aryo melakukan hal itu sebelum membuka mata dengan napas terengah-engah. "Akting yang bagus," batin Ariya sembari tersenyum. "Saya melihat kamu memiliki sebuah masalah yang membuat kamu sedih selama beberapa hari," ucapnya lirih. "Wow," ungkap Ariya pura-pura terkejut. Memang benar, ia selalu mengalami kesedihan di sekolah karena pekerjaan sang Ibu. Akan tetapi, penerawangan semacam itu tak mampu membuktikan bahwa ia adalah seorang dukun beneran, karena setiap orang pasti punya masalah pribadi yang membuat murung selama beberapa hari. "Hebat," ucap Ariya, "kalau begitu, sekarang giliran aku yang akan menerawang," ujar gadis itu sembari terdengar. Ariya memejamkan mata. Ia berusaha untuk memfokuskan seluruh konsentrasi pada pria paruh baya di hadapannya. Beberapa detik kemudian, kilatan cahaya terlihat di manik mata Ariya yang terpejam. Dari alam bawah sadar, ia bisa melihat hal tersembunyi dari sang dukun abal-abal. Ariya melihat, ada sisik-sisik yang menempel di kulit bagian punggung Mbah Aryo. "Sisik apa itu?" tanya Ariya di dalam batin. Ia kembali memfokuskan konsentrasinya untuk mencari tahu apa penyebab sisik di tubuh Mbah Aryo. "Sawan ular?" tanya Ariya lirih ketika mendapatkan petunjuk. Sawan ular adalah virus yang berasal dari siluman ular yang bisa membuat tubuh penderita bersisik seperti ular dan itu terasa sangat gatal. Virus itu memang susah untuk di sembuhkan, terlebih bentuknya yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa jijik. Pantas saja Mbah Aryo menyembunyikan penyakit itu. Ariya membuka kelopak matanya dan menatap ke arah Mbah Aryo. "Apa yang kamu lihat dari saya?" tanyanya seakan yakin bahwa Ariya tak akan bisa menerawang. Senyum tersungging di wajah Ariya. "Aku tahu, Mbah terkena sawan ular. Di tubuh Mbah ada sisik kaya ular kan?" tanya Ariya memastikan. Sontak jawaban Ariya membuat Mbah Aryo terkejut. "Bagaimana dia bisa tahu?" batinnya bertanya. Ia gugup karena gadis itu bisa tahu penyakit yang selama ini ia sembunyikan. Akan tetapi, ia berusaha membantah dengan cara menyudutkan Ariya dan mengatakan bahwa semua itu tidaklah benar. "Kamu sembarangan! Tidak mungkin saya punya penyakit seperti itu!" bantah Mbah Aryo. "Pak Adi! Saya tidak terima anak bapak memfitnah saya mempunyai penyakit menjijikkan seperti itu!" ujar Mbah Aryo marah ke Adi. Adi kelabakan karena melihat Mbah Aryo yang tak terima di katakan mempunyai sawan ular. "Tenang, Mbah. Ariya! Kamu minta maaf sekarang!" gertak Adi pada gadis itu. Ariya menggeleng, tentu saja ia tidak mau meminta maaf karena hal yang bukan kesalahannya. "Saya tidak terima ini! Bagaimana bisa dia menuduh hal seperti ini? Dia sakit jiwa! Harusnya dia tak dibiarkan berkeliaran di sini! Bawa dia ke rumah sakit jiwa!" Mbah Aryo marah, ia berusaha menutupi omongan Ariya dengan menuduhnya sebagai orang gila. Di sela-sela amukan Mbah Aryo, Ariya terkejut saat cahaya putih menghampiri retina matanya. Cahaya putih itu masuk ke dalam pikiran Ariya hingga gadis itu tak bisa melihat apa pun selain warna putih. Tak berselang lama, sebuah lintasan waktu masa depan terlihat samar di mata Ariya. Sontak gadis itu terkejut ketika melihat motor yang di naiki oleh Adi mengalami kecelakaan parah. Napas Ariya terengah-engah. Ia membuka mata dan masih melihat Mbah Aryo yang marah pada Adi, kemudian pria itu meminta untuk pergi dari rumah Ariya secepat mungkin. "Baik, Mbah. Saya akan mengantar Mbah ke rumah, bayaran sudah saya siapkan," ucap Adi. Mbah Aryo mengangguk tanda bahwa ia setuju. Akan tetapi, tidak dengan Ariya, gadis itu memiliki perasaan yang buruk jika sang ayah tiri keluar malam ini. "Pak! Jangan pergi!" cegah Ariya pada Adi yang hendak keluar rumah. "Hei! Apa yang kamu lakukan? Berani sekali kamu memerintahku!" bentak Adi. "Jangan pergi malam ini, kalian bisa saja celaka," ucap Ariya memperingatkan. "Ha-ha-ha! Hei, Bocah! Apa kamu membual lagi? Dari mana kamu tahu dia akan kecelakaan? Omong kosong! Kamu sudah menuduh saya dan sekarang berbicara seperti itu! Berhentilah bertingkah seperti tahu segalanya. "Harusnya Anda yang diam, Dukun abal-abal! Saya tidak membual! Itu semua benar. Pak jangan pergi malam ini, Bapak bisa saja celaka," cegah Ariya. "Diamlah! Aku tidak percaya lagi denganmu!" seru Adi, "ayo, Mbah. Kita pergi," ajak Adi yang telah bersiap menuju keluar rumah dan meninggalkan gadis itu sendiri di dalam rumah. Ariya yang ketakutan dengan sengaja mengambil wajan di dapur, lalu ia pukul kan di kepala ayahnya. Sontak Adi kaget dan pingsan. Sementara Mbah Aryo yang melihat tingkah Ariya, ia lari tunggang langgang hingga terjatuh dua kali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD