“Ariya dari mana kamu?” tanya seorang pria separuh baya yang berdiri di depan pintu dengan kedua tangannya berkacak pinggang, Adi, Ayah tiri Ariya.
“Pak! Maaf, Pak.” Ariya menunduk ketakutan melihat sang Ayah berdiri dengan mata melotot tajam kepadanya.
“Maaf, maaf atau kamu jangan-jangan ingin mengikuti jejak Mama kamu jadi wanita penghibur.”
Ariya hanya terdiam seribu bahasa. Ia takut menjawab, karena gadis kecil itu tahu betul bahwa sang Ayah memiliki temperamen yang kasar jika ia membela diri.
“Maaf, Pak. Sudah mau pukul tujuh pagi saya mau segera pergi ke sekolah,” pamit Ariya dengan berjalan ke kamar belakang tanpa menatap sang Ayah.
“Dasar anak sama ibu sama saja!” cibir Adi.
***
Satu tahun kemudian,
Ariya berlarian menuju sekolah, karena dia terlambat. Dengan tangan yang gemetar dan bibirnya yang terlihat jelas gadis itu gugup, Ariya pun mengetuk pintu kelas.
“Silakan masuk.” Pak Harjo menengok ketika melihat pintu kelasnya terbuka.
“Maaf, Pak! Saya terlambat,” ucap Ariya ketika melangkah masuk ke kelas.
Pak Harjo menatap jam yang menempel di dinding kelas. Ia menarik napas kuat dan mengempaskan dengan kasar.
“Kamu kenapa terlambat satu jam Ariya?” tanya sang guru.
“Maaf, Pak! Tadi saya bangun kesiangan,” jawab Ariya dengan tangannya yang gemetar.
“Ya sudah nanti kamu ke ruangan saya saat jam istirahat,” sahut Pak Harjo yang diikuti anggukan kepala oleh Ariya.
Senyum sinis dari beberapa teman sekelasnya membuat nyalinya semakin ciut. Pelajaran pun dilanjutkan, hingga beberapa jam kemudian setelah pelajaran berakhir Ariya mengikuti Pak Harjo ke ruang guru.
“Duduk Ariya!” perintah Pak Harjo.
Gadis itu mengangguk dan mengambil kursi yang berada di sampingnya.
“Jelaskan kepada Bapak! Bagaimana kamu bisa terlambat datang ke sekolah hingga satu jam lamanya. Ini bukan pertama kalinya kamu terlambat datang ke sekolah.” Pak Harjo berbicara dengan sedikit nada tinggi.
“M-maaf, Pak! Tadi saya berangkat dari rumah Nenek, sehingga mengalami kemacetan,” jawab Ariya dengan berbohong.
“Bapak mohon tolong kalau kamu tahu bakal kena kemacetan berangkat lebih awal, kali ini Bapak ngasih toleransi ke kamu.” Pak Harjo berdiri sembari membereskan buku di mejanya. Dengan isyarat tangannya.
Ariya yang memahami isyarat sang guru pun akhirnya mundur secara perlahan.
“Apa dia kalau malam ikut ibunya mangkal?” tanya Pak Harjo dalam hati.
***
Sepanjang koridor sekolah, Ariya menundukkan kepala. Banyak pasang mata menatapnya sambil tersenyum dan menyindirnya.
“Mungkin kalau malam dia suka kelayapan, seperti ibunya!” seru seorang anak perempuan yang bernama Santika.
“Apaan sih kamu?” tanya seorang yang lain.
“Kata Mamaku, mamanya Ariya kalau malam suka kelayapan.”
Ariya yang mendengar celoteh mereka pun tiba-tiba menoleh.
“Lihat di belakang kamu ada anak kecil,” ucap Ariya sembari tersenyum.
“Tidak!” Serentak mereka teriak dan berlarian.
Gadis itu kembali melanjutkan menuju kelas. Saat ini jam pelajaran kosong, karena Bu Rahmi tidak masuk sekolah. Kesempatan itu ia gunakan untuk tidur.
Dengan bersandar di meja Ariya memejamkan mata. Selang beberapa saat ia pun terbangun ketika sebuah benda mengenai kepalanya.
Suara gedubrak membuat Ariya yang tertidur tersentak kaget.
"Huu! Pergi sana! Dasar anak gila!" teriak riuh terdengar hingga memekakkan telinga.
Penghapus papan tulis berhasil mendarat di kepala Ariya. Gadis muda itu terbangun dari tidur singkatnya yang bersandar di meja, ia menatap ke arah sekitar. Riuh para siswa yang mengejek dirinya dengan berbagai macam hinaan pun terdengar begitu nyaring dan ia sudah mulai terbiasa dengan kata-kata sampah itu. Ariya merasa sampai kapan pun, mereka tak akan pernah menerima dirinya di sekolah ini, karena menjadi anak dari seorang wanita malam yang bahkan tak jelas siapa ayah kandungnya.
Untuk anak seusia sepuluh tahun tak pernah paham, apa itu wanita kupu-kupu malam. Hanya saja orang tua mereka melarang untuk berteman dengan Ariya.
Gadis itu hanya menghela napas, ia berusaha sabar menerima semua hinaan itu, anak lelaki sudah terbiasa menjadikan dirinya sebagai mainan di kala waktu istirahat tiba.
Ariya cukup berpura-pura tak mendengar semua perkataan mereka walau itu sudah sangat jelas menyakiti jiwa dan raganya. Rasanya ia tak sanggup untuk melawan mereka yang berjumlah tak sebanding.
Seperti biasa, gadis itu hanya duduk sendiri, semua teman kelas menjauhi dirinya bahkan untuk duduk sebangku saja tak ada yang mau, katanya mereka takut karena Ariya adalah anak pembawa sial. Setiap dekat dengannya maka kesialan akan menanti. Entahlah, siapa yang memulai rumor kejam seperti itu.
***
Lonceng sekolah telah berbunyi saatnya mereka yang bersekolah di SD Tunas Harapan 1 untuk pulang. Murid-murid terlihat bahagia, karena hari ini mereka pulang lebih awal. Semua sedang sibuk menata semua perlengkapan sekolah dengan gembira. Berbeda dengan Ariya yang menyambutnya dengan paras wajah biasa saja.
Sepanjang jalan ia hanya berjalan sendirian, hingga akhirnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya.
“Ariya!” seru anak laki-laki yang terlihat tersenyum mengarah padanya.
“Dias!” ucap Ariya menjawab.
“Kamu sendirian saja! Mau pulang bareng gak sama aku,” ajak Dias.
Ariya hanya tersenyum. Namun tiba-tiba wanita muda berambut panjang dengan mengenakan kaca mata hitam yang tepat di hadapan mereka memanggil Dias. Namanya Susan, mamanya Dimas.
“Mama!” teriak Dias.
“Ayo pulang!” ajak sang Mama.
“Ma, Ariya biar pulang bareng sama kita, ya!” pinta Dias.
Wanita itu hanya menatap Ariya sembari sesekali menyibakkan rambutnya yang terurai.
“Tapi, Dias. Kenapa kamu berteman dengan dia. Mama kan sudah bilang kalau dia itu--"
“Ayo, masuk Ariya!” ajak Dias ketika membuka pintu mobilnya.
Mama Dias hanya bisa menghela napas, karena ia tidak menyukai latar belakang Ariya. Dengan terpaksa ia pun memberikan tumpangan kepada Ariya.
“Terima kasih tante, terima kasih Dimas. Aku pulang naik angkot saja.”
“Tuh kan, Dias. Teman kamu gak mau. Ayok kita pulang,” ajak Mama Susan.
“Tante, nyetir mobilnya jangan ngebut hati-hati sama tikungan,” pesan Ariya yang tiba-tiba saja mendapatkan sebuah vision kecelakaan.
“Kamu ini anak kecil tahu apa, sih!” gerutu Susan dengan menutup kaca mobil.
Dimas melambaikan tangan, anak lelaki itu adalah kakak kelas Ariya. Hanya dia yang terkadang menyapanya.
Selang beberapa menit, angkutan umum yang biasa ditumpangi Ariya pun lewat. Segera gadis itu menyapa Pak Sopir dan masuk ke dalam angkutan.
“Pak!” sapa Ariya.
“Depan saja, Nduk!” jawab si sopir dengan membukakan pintu depan. Dengan segera gadis itu naik dan tersenyum.
“Tumben pulang pagi, Riya!”
“Iya, Pak! Gurunya bolos.”
“Ha-ha-ha, ada-ada saja kamu ini!”
Angkot pun berjalan hingga jarak satu kilometer jalanan pun macet. Setelah melintasi ada kecelakaan mobil menabrak tiang listrik.
“Pak, itu mobil Dias, teman Ariya!” ucap Ariya.
“Teman kamu! Tapi penumpang selamat semua, kok Riya.”
“Syukurlah jika begitu.”
***
Setibanya di gang rumah, ia hanya terdiam sembari berjalan melewati lorong lokalisasi. Sesekali ia tersenyum menyapa para penghuni gang sempit itu.
“Cantik sekali anak itu, nanti kalau besar bakal jadi primadona di sini!” seru seorang pria yang biasa nongkrong di sana.
“Jangan ganggu dia! Dia tidak akan seperti kami,” jawab seorang wanita bernama Delia.
"Ariya, ayo cepat makan!" seru Clara dari arah dapur yang mendengar langkah kaki putrinya.
"Iya, Ma!" jawab Riya tak bersemangat. Ia menghela napas panjang, ia membersihkan sisa kapur yang menempel di seragamnya.
"Kapan semuanya berakhir? Aku lelah," lirih Ariya meratapi nasibnya yang kian melelahkan untuk gadis seusianya.
Air matanya menetes tatkala mengingat detik demi detik para siswa lain menjauhi dirinya. Rasa sakit penghinaan itu pun sudah biasa ia rasakan.
"Ariya! Ayo cepat!" seru Clara lagi ketika Ariya tak kunjung datang.
"Iya, Ma." Ariya pun melangkah menuju sang ibu yang sudah bersiap di meja makan.
Gadis itu duduk di kursi meja makan, ia menyendok nasi sedikit karena saat ini ia sedang tak nafsu untuk makan.
"Kenapa hanya sedikit?" tanya Clara heran.
"Masih kenyang, Ma," jawab Ariya.
Suara dering telepon berbunyi. Clara segera bergegas untuk mengangkat telepon dari sang suami, Adi.
"Halo, Pa." Clara menyapa.
"Iya, Ma," jawab si empunya suara di seberang sana.
"Papa minggu-minggu ini pulang, proyek di Sumatra sudah selesai, Papa harap Mama jangan tidak akan pergi ke luar rumah,” ujar Adi.
"Wah, benaran, Pa?" tanya Clara senang karena sudah lama sang suami pergi untuk bekerja di luar pulau.
"Iya, Ma. Usahakan minggu ini jangan kerja, Papa siap-siap mau pulang. Ariya suruh bersih-bersih kamar! Papa siap-siap dulu ya," pamitnya.
"Iya, Pa. Hati-hati di jalan, mama tunggu di rumah," ujarnya.
"Siap, Ma."
Tak berapa lama, sambungan telepon pun terputus. Clara terlihat sangat muram atas kepulangan suaminya. Sebenarnya ia tak pernah menunggu suaminya pulang. Rasa benci dan marah telah ia pendam selama ini. Tak ada rindu pada sang suami walau sudah setahun tak bersua.
Adi adalah seorang tukang bangunan, ia mengikuti setiap proyek yang bernilai besar. Hal itu membuatnya sering terpisah dengan istri dan anak sambungnya. Namun, uang hasil kerjanya ia gunakan hanya untuk bermain judi, hingga berhutang ratusan juta yang membuat Clara jatuh menjadi wanita kupu-kupu malam.