Cemburu Pada Madu

1028 Words
Aku sedih melihat nasibku sendiri. Bagaimana tidak setiap hari aku melihat suamiku bersama maduku. "Mbak Kinan kenapa?" tanya Ana. Mungkin sejak tadi aku melamun sehingga Ana meras heran atas sikapku ini. "Tidak apa-apa," jawabku. "Aku ingin segera berangkat kerja," kataku. "Mbak, biar aku yang antar jemput Kiara sekolah saja. Mbak Kinan bisa fokus kerja," kata Ana. Hah? Dia mau antar jemput Kiara sekolah? Aku takut dia akan mengambil Kiara lama kelamaan. "Bagaimana, Ma? Tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Arfan. Aku hanya mengangguk saja, karena aku tidak mau memperkeruh suasana hatiku. Mas Arfan berangkat kerja lebih dulu. Seperti biasa sebelum berangkat kerja Mas Arfan mencium keningku dan pipi Kiara. Namun, aku merasa cemburu saat hal itu juga dia lakukan pada Ana. Aku ingin protes tapi ku urungkan karena aku yakin Mas Arfan ingin memperlakukan kami sama. "Kiara, papa udah berangkat. Sekarang mama juga berangkat. Kiara sekolah sama mama Ana, ya," kataku mencium pipi Kiara. "Iya, Ma. Mama hati-hati di jalan," ucap Kiara. Aku pergi kerja, namun pikiranku masih di rumah memikirkan Ana dan Kiara. Rasa takut kehilangan suami dan anakku semakin dalam. Sampai di kantor aku pun tidak fokus. Masalah di rumah memang sangat mengganggu pikiranku. Siang itu aku melihat story milik Ana. Aku terkejut saat Ana memosting foto makan siang bersama di kantor Mas Arfan. Air mata seketika luruh, mereka terlihat sangat mesra. "Aku gak boleh kaya gini," ucapku. "Aku harus protes sama Mas Arfan. Kalau kayak gini Mas Arfan pasti akan lebih mencintai Ana." Aku terus menangis hingga temanku datang dan menegurku. "Kinan, kamu menangis?" tanya Erina. Dia langsung memelukku karena dia tahu saat ini aku sedang rapuh. "Sabar, ya. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya," kata Erina. Sore itu aku pulang, sikapku pada Anan dan Mas Arfan berubah Drastis. Aku makin uring-uringan pada mereka. Apalagi ku lihat Mas Arfan lebih sering mengobrol dengan Anan dibanding denganku. "Ma, udah waktunya makan malam. Ayo kita makan!" ajak Kiara. "Kiara makan duluan sama Mama Ana dan Papa ya. Mama belum pengen makan," jawabku. Kiara keluar dari kamarku, dia menuju meja makan. Aku mengintip dan ku dengar mereka makan bersama dengan bahagia tanpa memikirkan perasaanku. "Jika malam ini kamu tidak tidur denganku, berarti janjimu untuk adil itu hanya bohong belaka, Mas," kataku. Mereka selesai makan aku baru keluar kamar. Ku lihat Ana menemani Kiara belajar. Aku makan seorang diri namun Mas Arfan tiba-tiba duduk di sampingku. "Mama sakit?" tanya Mas Arfan. "Kalau sakit biar papa antar periksa," kata Mas Arfan. "Bukan badanku yang sakit tapi hatiku," jawabku lalu meninggalkan meja makan. Padahal masih separo nasi di piringku dan Mas Arfan mengganggu makan ku. Aku masuk ke kamar tanpa menguncinya. Aku masih berharap Mas Arfan menyusulku ke kamar dan membujukku. Nyatanya hingga pukul 21.00 Mas Arfan tidak datang ke kamar. "Mas, kamu tidur di mana?" tanyaku. Aku keluar dari kamar, di ruang keluarga tidak ada Mas Arfan. Aku membuka kamar Kiara dia sudah terlelap. "Sayang, maafkan mama," ucapku mencium kening Kiara. Aku keluar dari kamar Kiara dan menuju ruang kerja Mas Arfan tapi hasilnya nihil. Akh memutuskan mengambil minum di dapur. Dan aku melihat Mas Arfan sedang berdua saja dengan Ana.Ku urungkan niatku ke dapur dan aku sembunyi di balik tembok. "Mas, malam ini kamu tidur sama Mbak Kinan," kata Ana. "Iya, apa kamu mau Mas tidur dengan kamu lagi," kata Mas Arfan. "Jangan, kasihan Mbak Kinan. Dia saat ini butuh Mas Arfan. Aku lihat sejak pagi moodnya lagi gak enak," ucap Anan memberikan kopi pada Mas Arfan. "Terima kasih, sayang," ucap Mas Arfan. Cup Mas Arfan mencium bibir Ana, dan Ana membalas ciuman Mas Arfan. Bibir mereka saling melumat dan aku hanya melihat kemesraan itu dengan air mata berlinang. Tak kuat menahannya, ku putuskan kembali ke kamar. Aku sakit melihat mereka berciuman di depan mataku. Aku tak bisa ikhlas berbagi suami. Entah pukul berapa aku sampai tertidur. Dan ketika ku lihat ponsel sudah jam 00.15 tapi di sampingku tak ada Mas Arfan. "Jahat kamu, Mas!" ucapku. Sakit sekali rasanya melihat Mas Arfan tak lagi adil. Tiga malam berturut-turut mereka tidur bersama. Sementara aku hanya menahan sakit dan cemburu. Aku kembali tidur, dan aku bangun saat merasa ada tangan yang memelukku. Ternyata Mas Arfan tidur di sampingku. "Sudah bangun?" tanya Mas Arfan. "Mandi sana lalu salat subuh berjamaah," kata Mas Arfan. Rambut Mas Arfan sudah basah artinya Mas Arfan sudah mandi besar. Aku segera mandi dan salat subuh berjamaah. Setelah itu aku membantu Bibik memasak di dapur. "Tadi malam ke kamar aku jam berapa, Mas?" tanyaku. "Jam 11 an," jawab Mas Arfan. Deg Hatiku sakit mendengar ucapan Mas Arfan. Ku lihat Ana melirik ke arah Mas Arfan. Pasti Ana juga tahu jika Mas Arfan berbohong. "Oh jam 11 ya," kataku santai. Ku ambilkan makanan untuk Mas Arfa. dan Kiara. Untuk Anan biar dia ambil sendiri. "Iya, semalam nonton bola," kata Mas Afran. Lagi-lagi dia berbohong, padahal jam 00.15 dia tidak ada di kamarku. Dan aku juga tidak mendengar suara televisi menyala. Ku lihat Ana berbisik pada Mas Arfan namun aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. "Mas Arfan yakin jam sebelas masuk ke kamarku?" tanyaku. "Iya, Kinan. Kok kamu kaya gak percaya gitu," jawab Mas Arfan. "Jam 00.15 aku bangun loh, Mas. Tapi gak ada kamu," kataku. Mas Arfan terdiam dan Ana melihat ke arah Mas Arfan. "Kalau betah di kamar Ana bilang aja, Mas. Aku gak keberatan tapi aku gak suka dibohongi," kataku. "Kiara, ayo kita berangkat!" ajak ku. Aku tidak mau Ana mengantar Kiara lagi. Cukup Mas Arfan yang dia ambil. "Kinan, aku minta maaf," ucap Mas Arfan tertunduk. "Mbak, maafkan saya juga. Saya yang salah karena tidak membangunkan Mas Arfan," sahur Kinan. Saat aku berjalan di dekat Mas Arfan sengaja aku berbisik," Kalau ciuman ingat tempat untung bukan Kiara yang lihat." Aku meninggalkan mereka yang masih duduk di meja makan. Biarkan aja Mas Arfan merasa bersalah. Emang dia salah dan melanggar janjimu untuk adil sebagai suami. Jadi aku bisa protes kapan saja. "Mama, jangan bertengkar sama papa ya," kata Kiara. "Kiara gak mau mama sama papa pisah. Meskipun Mama Ana baik tapi dia bukan mama kandung Kiara" sambung Kiara. "Sayang, gak akan ada yang bisa misahin kita. Andaikan mama dan papa pisah, mama akan pertahankan kamu," batinku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD